Bab 19: Helen of Troy

MEILI tidak pernah membalas chat Deandra terakhir. Meski, Deandra baru menyadari hal ini setelah dua hari Meili tidak masuk kuliah. Pikirannya belakangan ini dipenuhi oleh Skye. 

Skye. Skye. Skye. Skye. 

Selama beberapa hari terakhir Skye dan Deandra hampir saling bertukar chat setiap malamnya. Di kelas, mereka terlihat biasa saja. Namun, tanpa orang lain melihat mereka semakin sering bertukar pandang yang penuh arti. Seperti ada percikan di mata mereka yang beradu. 

Deandra juga semakin tertawa dan tersenyum sendiri selayaknya orang gila. Mood Deandra sedang bagus-bagusnya hingga ia sebenarnya merasa sedikit tidak rela harus mengurusi kehilangan Meili–

Tidak. Tidak. Tidak.

Deandra menggelengkan kepalanya. Ia melarang dirinya berpikiran seperti itu.

Meili sahabat gue. Gimana kalau dia kenapa-kenapa?

Ketika pikiran itu muncul, barulah Deandra merasa khawatir. Jujur, ia merasa dirinya adalah teman yang buruk sekarang. Tapi memangnya salah bila ia ingin menaiki awan bahagia karena Skye lebih lama? Salahkah ia bila memilih kebahagian dirinya sendiri daripada mengkhawatirkan temannya yang sudah dewasa?

Tentu, tidak salah ... Tapi itu jahat ....

Apalagi Meili termasuk salah satu orang yang akan langsung memborbardir ponsel Deandra bila ia menghilang sehari saja tanpa kabar. Meili dan tiga sahabat lainnya. Bahkan bila salah satu dari mereka ga aktif di chat seperti biasanya saja mereka langsung saling menanyakan kabar.

Sejak kapan? Sejak kapan kita sudah ga sedekat dulu ...?

"Chil," panggil Deandra di kelas suatu pagi. "Meili ke mana sih?" Deandra memasang tampang khawatir. 

Anchilla yang sembari tadi sibuk dengan laptopnya sendiri hanya menatap Deandra dengan datar. Bagi orang lain, tatapan Anchilla terlihat biasa saja. Tapi bagi Deandra yang sudah dekat dengan gadis pintar ini, Deandra tahu... ketika Anchilla kesal atau kecewa, gadis itu memilih untuk diam. Dan sekarang, tatapan Anchilla yang tenang terasa menusuk hati Deandra. 

Kenapa? Ada apa?

"Memangnya ada apa?"

Deandra akui, ia belum membuka grup chat mereka berlima selama beberapa hari ini. Sehingga ia tidak up to date dengan berita terbaru. Setiap kali membuka ponsel, ia kian membaca dan membalas chat Skye saja. Dan dengan banyaknya tugas organisasi serta akademis, ia tidak begitu memerhatikan grup chat. Meski... belakangan ini grup chat mereka sepi.

Saat itu wajah Anchilla berubah masam. Gadis yang biasanya terlampau santai itu mendecak tidak suka. Deandra tidak bisa berhenti berpikir apakah ada tindakannya yang salah? Kenapa raut tidak suka Anchilla ditujukan pada Deandra? 

Hilang sudah rasa terbang di awannya karena kedekatannya dengan Skye selama beberapa hari ini. Deandra dilanda kebingungan dan perasaan tidak enak.

Anchilla akhirnya berkata dengan dingin, "Meili butuh waktu."

"Waktu bua–"

Sebelum Deandra sempat menyelesaikan pertanyaannya, Meili, Flo, dan Lizzie memasuki ruang kelas. Langkah kaki mereka bertiga berhenti ketika menangkap tatapan Deandra. 

Lizzie membisikkan sesuatu kepada Meili. Tatapan mereka bertiga terlihat ... kaku, seperti menyembunyikan sesuatu dari Deandra. Meili kemudian menggeleng pelan pada Lizzie. 

Rasa perih mulai muncul dalam tubuh Deandra. Ia tidak kuasa menahan ansietas dirinya yang mulai menyerbu. Seperti semut yang satu per satu mengerumuni sumber gula. Hati Deandra seperti dirubungi semut-semut kecemasan. 

Ia merasa ter-alienasi dari grup persabatan mereka. Kenapa hanya dirinya yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada Meili? Kenapa mereka menatapnya seakan Deandra yang bersalah? Deandra bahkan tidak tahu apa yang terjadi ... jadi kenapa. ...?

Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya sendiri. Kedua tangan di sisinya sudah mengepal. 

"Gue ga apa-apa kok, De," kata Meili akhirnya. 

Ga apa-apa? Kalau gitu kenapa wajah lu masam begitu? 

"Anchilla bilang lu butuh waktu," mulai Deandra, "Waktu buat apa?"

Meili tampak enggan menjawab. Flo, Lizzie, dan Anchilla –semuanya.... Mereka menatap Deandra seakan Deandra-lah alasan Meili butuh waktu. Tapi kenapa? Apa yang telah Deandra lakukan? 

Kenapa rasanya mereka menyalahkan gue padahal gue ga tahu apa-apa?!

"Waktu buat apa, Mei?" Tanya Deandra. Suaranya terlampau lebih keras dari intensinya. Semua mahasiswa di kelas mulai melihat ke arah mereka. 

"De, shhh ...," kata Lizzie. 

Sebelum Deandra memprotes kembali, Flo sudah menarik lengan Deandra. "Mending kita omongin ini di luar."

"Bolos kuliah nih?" Tanya Lizzie dengan polosnya. 

"Bolos kuliah sekali-kali ga akan kenapa-kenapa," jawab Flo.

Anchilla juga kian mengangguk (Author: Yak, soalnya nih orang ga pernah masuk kuliah aja masih bisa lulus ujain WKWK).

Akhirnya, kelima sahabat itu menyelinap keluar kelas sebelum lebih banyak orang tertarik dengan pembicaraan mereka. Tempat yang mereka tuju adalah sisi belakang gedung kuliah mereka, di mana tidak banyak orang yang melewati. 

"Jawab gue," kata Deandra setibanya mereka berhenti berjalan. Deandra sudah tak kuasa menahan perasaan ansietas yang kini menumpuk di dadanya. Ia perlu sebuah jawaban.

Deandra memerhatikan mata Meili yang terlihat kelelahan. Guratan hitam di bawah matanya terlihat tebal. Dan secara samar ia dapat melihat mata Meili yang besar sedikit lebih bengkak. 

"Gue butuh waktu dari lu," sembur Meili. 

Deandra tersentak telak. Karena terlalu kagetnya dengan perkataan itu, Deandra tanpa sadar mengambil setengah langkah ke belakang. Posisinya masih sama seperti di kelas. Dirinya seorang diri di satu sisi, empat sahabatnya menatap Deandra di sisi lain. Dia merasa seperti terpojokkan. 

Melihat wajah Deandra yang kebingungan, Meili kian menjawab lagi, "Lu ... baru menyadari sekarang ya?"

Lagi-lagi tatapan kecewa itu....

"Lu beneran ga sadar ...," kata Meili dengan nada kecewa, "Lu terlalu sibuk chatting bareng Skye terus sih."

"Ap– apa hubungannya Skye dengan–"

Sebelum Deandra sempat menyelesaikan pertanyaannya, Meili sudah bertaya kembali, "De, lu ga tau kan apa yang terjadi ama gue dan Rangga?" 

Deandra mematung. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi antara Meili dan Rangga. Ia beranggapan bahwa semuanya baik-baik saja. Beranggapan bahwa... ketika itulah Deandra sadar kesalahannya. 

"Lu bahkan ga pernah tanya ke gue."

"Gue chat lu hari itu!"

"Dan ketika gue ga bales chat lu, lu ga berpikir something was definitely wrong?"

"I– itu..."

Deandra tidak punya kata-kata untuk dijadikan alasan. 

"Gue bener, lu terlalu sibuk ngurusin Skye sekarang."

Meili tersenyum miris, "Gue lagi kacau, De. Mungkin ini efek santet atau bukan. Tapi beberapa hari belakangan ini gue kacau banget. Gue ga nyalahin lu ... And don't get me wrong, gue seneng lu sekarang dekat ama Skye."

Mata Meili mulai berkaca-kaca. "Tapi gue sadar it's starting to be not healthy for me..."

"Lu tahu De... we all like Skye... da– dan kita seneng kok. Cuman semakin lama jadi semakin susah buat... Apalagi buat gue..."

Pupil mata Deandra bergetar. Sudah berkali-kali ia mengepalkan dan membuka jemarinya. 

"Kan kalian sendiri yang bilang ka– kalian ga akan ...." Tenggorokan Deandra tercekat. Berat sekali rasanya untuk mengeluarkan kata-kata. Sementara matanya memanas. "Kalian yang meyakinkan gue kalau ... kalian ga akan kebawa perasaan dengan Skye."

"Dan kita sudah melakukan itu selama sebulan ini!" Seru Flo. "Setidaknya mencoba, ini kan bukan kemauan kita juga. Tapi selama sebulan ini. rasanya menderita, tahu!"

Mata Flo kini juga berkaca-kaca. Deandra hampir tidak pernah melihat Flo menangis. Gadis itu selalu tenang dan terlihat sangat dewasa di depan banyak orang. Meski sebenarnya Flo adalah orang yang cukup sensitif, gadis itu lebih memilih untuk mengunci diri di kamar daripada menunjukkan kelemahannya pada orang lain. 

"Lu ga tahu seberapa susahnya gue mempertahankan hubungan gue dengan Galih selama ini. Hati gue terus goyah gara-gara efek santet bego itu."

Flo tidak berhenti di situ. "Lu ga pernah nanya gimana kabar kita. Setiap kali kita ketemu membahas santet ini, yang ada cuma kita mengibur lu. Menghibur lu kalau Skye tetap target lu sementara kita harus mengabaikan perasaan menjengkelkan ini!"

Napas Flo menjadi tersengal-sengal setelah mengatakan hal itu. Setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah terlalu lama terpendam dalam dirinya. 

Meili hendak mengelus pundak Flo tetapi Flo menepisnya. Matanya menjadi garang ditujukan kepada Meili.

"Dan ini semua gara-gara lu yang menyarankan santet!" Flo membentak Meili. Meili yang tidak menduga hal itu tersentak.  

"Eh, tunggu," kata Lizzie menimbrungi percakapan, "Kan lu yang setuju pertama kali hari itu. Lu bilang lu suka tantangannya!"

"Trus maksud lu apa?"

"Don't be a hypocrite!"

Melihat Lizzie dan Flo yang tengah beradu mulut, Deandra berusaha menengahi. "Stop, stop. Jangan berantem. Ayo kita selesaikan dengan kepala dingin–"

Tetapi kali ini Lizzie menyembur Deandra sebelum Deandra sempat menyelesaikan perkataannya. "Gampang banget lu bilang gitu, De! Ketika lu udah menyita perhatian Skye, lu lupa sama kita. Lupa kalau kita masih struggling dengan perasaan kita masing-masing." 

"Lu mah sekarang tenang aja karena Skye udah memilih lu. Tapi kita ... Apa perasaan kita tak sepenting perasaan lu sendiri?"

Perkataan Lizzie sangat menusuk Deandra. Gadis itu berusaha mengelak, "I– itu tidak benar...." Tapi suara yang keluar dari tenggorokan Deandra terdengar kecil dan tak meyakinkan. 

Lizzie tertawa masam mendengar respon Deandra. Meili menghindari tatapan Deandra dan Flo membalikkan badannya. Hanya Anchilla yang masih membisu sedari tadi. 

"Jadi mau kalian apa?" Tanya Deandra akhirnya dengan lemah. 

"Kalian mau gue menghindari Skye, begitu? Kenapa gue harus bertanggung jawab akan perasaan kalian?!"

Kenapa? 

Kenapa Deandra harus ikut terbebani dengan itu semua? 

"Santet itu idenya Meili. Flo yang pertama kali setuju. Lu bahkan menyumbangkan boneka voodoo, Liz," kata Deandra, "Anchilla juga ... jadi kenapa...."

Deandra tak bisa menahan air mata yang mulai menuruni pipinya. Pandangannya menjadi kabur dan ia merasakan mulutnya bergetar hebat. Rasa panas di tenggorokannya semakin menjadi. 

Kenapa kini gue harus menampung segala penyesalan dan kekesalan para sahabat gue? Kenapa mereka memojokkan gue?

Keempat sahabatnya terkejut mendengar seruan Deandra. Belum sempat mereka membalas Deandra, gadis itu sudah langsung memutar tubuh dan berangsur pergi. 

Tidak ada dari sahabatnya yang mengejarnya.

DEANDRA dengan cepatnya memutar tubuh dan berlari menjauhi mereka. Meili tidak sempat mengeluarkan kata-kata yang terjegal di hatinya.

Maaf....

Meili tentu merasa bersalah dengan segala yang terjadi. Tapi perasaannya sedang sangat kacau. Rasa suka tiba-tibanya dengan Skye lalu Rangga yang juga tiba-tiba mengejarnya. 

Aneh, bukan? 

Bukankah seharusnya Meili bahagia Rangga yang sebelumnya sudah lama Meili sukai kini mengejarnya? Dan bukankah tujuan Meili memang untuk membuat Skye membencinya dan mengakhiri efek samping santet?

Ah, tapi perasaan manusia memang selalu rumit. Nurani itu tidak selogis otak, tidak sehitam-putih moral, dan terkadang sulit diartikan. 

Bila yang dirasakan manusia hanyalah kumpulaan hormon– seperti Lizzie akan bilang, maka interaksi hormonal tubuh manusia tidak memiliki jadwal tertentu. Di hari-hari tertentu, dopamine* bisa saja naik sehingga menyebabkan perasaan bahagia. Lalu di hari-hari berikutnya, dopamine menjadi kurang menyebabkan perasaan depresi. Itulah yang menyebabkan manusia memiliki mood swing. Itu jugalah yang menyebabkan manusia tidak terfiksasi oleh satu perasaan saja selama hidupnya.

Deandra tidak mengerti perasaan kompleks yang Meili, Lizzie, Flo, dan Anchilla rasakan. Karena Deandra tidak pernah harus melawan rasa sukanya seperti mereka kini melawan. Karena Deandra tidak pernah harus berusaha membohongi diri sendiri mengenai perasaan yang mereka rasakan.

Sahabatnya itu bahkan sampai sekarang tidak pernah menanyakan apa yang terjadi antara Meili dan Rangga. 

Setelah Deandra pergi, Flo pergi berikutnya. Tanpa selamat tinggal, gadis itu hanya mengambil tas dan berjalan menjauh. Lizzie pergi berikutnya. Setidaknya Lizzie masih memberikan tatapan terakhir pada Meili. Lalu Anchilla pergi setelah menepuk pundak Meili sekali. 

Akhirnya sendiri, lutut Meili kini terasa goyah. Ia bersimpuh di lantai. Kedua tangannya menutup wajahnya ketika aliran air yang panas mulai keluar dari matanya. Ia terisak dalam diam. 

Meski dalam hatinya ia tertawa ketir. Persahabatan mereka yang diibaratkan Roma sekarang sudah bukan retak lagi. Namun sudah mencapai kehancuran. Dan alasannya?

Seorang pemuda. 

Seperti Helen of Troy, perempuan yang karena kecantikannya dapat menyulut Perang Trojan di Yunani Kuno. Skye adalah Helen of Troy di persahabatan mereka. Dalam Perang Trojan, Troy dihancurkan karena disusup prajurit lawan dari dalam. Begitu juga persahabatan mereka yang mengalami konflik internal. Masing-masing dari mereka digerogoti perasaan masing-masing. 

Di tengah isakannya, Meili merasakan sesuatu yang lembut menutupi kepalanya. Ketika ia mendongak, ia melihat wajah pemuda terakhir yang ingin ia temui. 

"... Ja– jangan bilang lu dengar pembicaraan kami...."

Pemuda itu mengangguk.

Wow, hari ini terus saja memburuk.



*Dopamine = hormon dan neurotransmitter tubuh. Disebut juga hormon kebahagiaan karena aktif ketika tubuh mengenali reward atau perasaan senang.

Tuh kan, gue bilang apa... Bab ini akan menyebalkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top