Bab 16: Skye Putra (1)

DEANDRA meninggalkan Meili bersama dengan Rangga. Pasalnya ketika Meili menabrak Rangga karena tidak memperhatikan jalan, Rangga memberikan tatapan yang intens pada Deandra. Seakan mengusir dirinya.

Alhasil Deandra mengajak Skye untuk pergi ke Timezone terlebih dahulu. Tanpa mengucapkan selamat tinggal pada Meili, Deandra langsung meraih tangan Skye dan menarik pria itu.

Di Timezone, Deandra hendak membeli koin untuk mereka dapat bermain. Tiba-tiba Skye menyentuh tangannya.

"Gue aja," katanya. 

Skye meletakkan secarik uang kertas di atas meja kasir tanpa melepaskan sentuhannya pada tangan Deandra. Deandra mematung. Telinganya memerah dan terasa panas. 

"Meili dan Rangga gimana?"

"Uh?" Deandra tersentak dari lamunannya. "Umm..."

Gimana ya jelasin ke Skye? Gue harus kasih alasan apa nih?

"Anu... se– sebenernya, Rangga minta bantuan gue buat... jalan ama Meili...," suara Deandra sangat pelan. Sehingga Skye harus membungkuk untuk mendengarnya lebih jelas. Menyadari wajah Skye yang terlalu dekat, tubuh Deandra lebih memanas. Kini wajahnya pun sepertinya sudah berubah menjadi kepiting rebus. 

Deandra cepat-cepat melangkah mundur. Ia tidak mau Skye melihat keadaanya seperti itu.

Pemuda itu menatapnya dengan tatapan bengong. Seperti ia sedang memproses apa yang Deandra katakan sebelumnya. 

"Huh?" Reaksi Skye pun terlambat. "HUH??" 

"Sumpah? Rangga suka sama Meili?"

Deandra mengangguk. 

Skye menutup mulutnya tidak percaya. Ia seakan baru saja mengetahui rahasia dunia, sekaget itu wajahnya. 

"Meili?" Tanyanya ragu, "Beneran Rangga... dan Meili? Meili?"

Mendengar pertanyaan itu Deandra tiba-tiba menjadi kesal. 

"Apa maksud lu nanya gitu?" Lanjut Deandra, "Lu pikir Rangga ga mungkin akan suka ama Meili? Salah Meili apa sama lu?"

"Eh? Eng– engga... Bukan itu maksud gue." Skye berusaha mengelak tetapi jawabannya tidak meyakinkan. 

Deandra menelengkan kepalanya ke arah mesin bermain basket. Skye menyadari gestur Deandra dan mengikuti gadis itu. Mereka pun berdiri berdampingan. Masing-masing bersiap di depan satu mesin. Ketika bola mulai berguling ke arah mereka, Deandra langsung mengambil bola dan melemparkannya ke cincin bola basket. 

Tak seperti Deandra yang langsung bermain dengan cekatan, gerakan Skye lebih pelan. Ia juga jarang sekali memasukkan bola ke dalam ring basket. 

"Cuman gara-gara kelihatannya ga mungkin, bukan berarti ga bisa terjadi," kata Deandra di sela-sela gerakannya. "Lu ga bisa milih lu suka sama siapa. Lu ya... suka aja..."

Deandra melirik Skye sekilas. Pemuda itu membalas tatapnnya dengan polos. Saat itu juga Deandra menghembuskan napas. 

Kenapa ya gue bisa suka ama cowok kayak gini?

Meski pikiran Deandra berkata demikian, hatinya berkata hal lain. Hatinya terasa hangat mengetahui Skye berada di sampingnya dan menatapnya. Begitu hangatnya, Deandra merasa sesak. 

"Gue ngerti kok." Skye melemparkan satu bola. Kali ini tembakannya tepat sasaran. "Gue ngerti rasanya suka sama orang sampai kehilangan akal." 

Tatapan polosnya berganti dengan senyuman manis. Lesung pipinya terlihat dan matanya penuh kelembutan. 

Saat itu juga hati Deandra terasa begitu sesak, hingga rasanya ingin meledak. Untuk menenangkan hatinya, Deandra memalingkan wajahnya dan kembali fokus untuk melemparkan bola. 

"Lu jago juga ya?" Tanya Skye. 

"Yoi."

"Gue denger dulu lu anak basket."

Deandra kaget mendengar Skye mengetahui hal itu. Selama ini mereka hanya pernah berinteraksi untuk bermain mobile legend atau untuk percakapan kecil saja. Deandra tahu Skye bukanlah orang yang suka mencari tahu mengenai orang lain. Begitu juga Deandra.

Hanya saja ketika pertama kali Deandra berkata ia menyukai Skye, Flo langsung mengaktivasi kemampuan stalking-nya. Alhasil Deandra kini sudah memiliki koleksi foto-foto Skye ketika ia masih kecil. 

Ia kira selama ini hanya Deandra yang tahu lebih mengenai kehidupan Skye. Ia tidak pernah menyangka Skye akan tahu mengenai kehidupan Deandra di luar sekolah dan gaming

Well... Meski Skye hanya tahu satu info itu saja–

"Dari SMA Don Bernado kan?" 

Lemparan Deandra meleset. Tepat saat itu juga waktu bermain habis dan Deandra hanya tersisa dua poin untuk maju ke babak selanjutnya. 

"Ah, sayang banget!" Seru Skye.

"K– kok lu tahu?"

Skye mendelikkan bahunya, "Gue ini cenanyang."

Deandra menyipitkan matanya sebelum akhirnya tertawa kecil. Skye membalas tawa Deandra dengan senyuman yang lebar. 

"Gombal, dasar," gerutu Deandra. 

Kali ini Skye menunjuk ke arah mesin Just Dance. Deandra menangkap maksud Skye dan bersamanya melangkah ke mesin itu. Lalu mereka berdua kembali berdiri berdampingan. Masing-masing menghadap layar yang mulai mendatangkan simbol-simbol panah. Tubuh mereka berdua mulai berjalan sesuai arahan layar tersebut. 

Gerakan mereka berdua sangat parah dan ceroboh tetapi justru mengundang tawa untuk satu sama lain. Mereka bermain beberapa ronde. Tak lama keduanya sudah berkeringat. Napas mereka mulai tersengal-sengal tetapi senyuman di wajah mereka berdua tidak menunjukkan tanda-tanda mereka ingin berhenti.

Deandra tidak pernah melihat Skye tertawa begitu lepasnya. Begitu... 

Ganteng banget omoo!!

"Hei," panggil Skye di tengah-tengah gerakannya. "Jadi... Rangga dan Meili... ga akan ke... huh... sini... kan?"

"Nope." Deandra menginjak panel berwarna merah menggunakan kakinya. Lalu ia melompat ke belakang. "Kenapa? Kecewa lu bakal berduaan aja ama gue?"

Entah karena fokusnya terbagi atau karena adrenalin, Deandra menyatakan pikiran pertama yang terlintas di kepalanya. 

Tak terduga, Skye justru tertawa mendengar pertanyaan Deandra. 

"Justru...," lanjut Skye, "...Gue..." 

Deandra tidak bisa mendengar kalimat Skye yang terakhir karena suaranya menjadi terlalu pelan. Suaranya tenggelam dengan musik dari mesin. 

"Huh?" Deandra berharap Skye dapat mengulang perkataannya. 

Tetapi pria itu hanya tersenyum manis. Deandra melihat telinga Skye berubah menjadi merah... tetapi gadis itu tidak yakin. Bisa saja hal itu karena mereka kelelahan saja.

Setelah beberapa ronde permainan berikutnya, dua insan itu memutuskan untuk beristirahat di sebuah kafe. Untuk menenangkan adrenalin dan tubuh mereka yang kini penuh keringat, mereka memesan minuman yang dingin. 

Deandra memerhatikan pemuda yang duduk di hadapannya itu. Meja di kafe yang mereka kunjungi cukup pendek sehingga kedua lutut mereka hampir bertemu. 

"So...," Deandra memulai percakapan, "Apa ceritamu, Skye Putra?"

"Hm?"

"Apa yang membuatmu pingin jadi dokter? Atau... cerita hidupmu apapun itu." Senyuman Skye memudar, hal itu membuat Deandra menyesal telah menanyakan hal itu. Apalagi dia mencoba menggunakan aku-kamu seperti orang pacaran kebanyakan. 

"Tapi kalau lu ga mau cerita gapapa... sanss aja. Sorry gue nanya–"

Skye menggelengkan kepalanya. Wajahnya terlihat seperti sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Ia menggaruk lehernya dalam keraguan. 

Suasana di antara mereka berdua menjadi canggung. Sehingga Deandra akhirnya mengangkat suara. "Kedua orang tua gue dokter. Jadi gue sering terpapar sama kehidupan dokter. Dan... akhirnya gue pingin jadi dokter juga."

Tatapan Skye yang tadinya penuh konflik tergantikan dengan tatapan tulus. Ia benar-benar mendengarkan Deandra.

"Sampai sekarang... gue pingin jadi dokter mata. Meski... itupun kalau gue bisa..." 

"Kenapa?" Tanya Skye hati-hati. Meski wajah Deandra masih memancarkan senyuman manis dan nada bicaranya masih ringan, Skye entah kenapa menjadi khawatir.

"Gue ada semacam... kondisi yang unik." Senyuman Deandra masih ada meski tidak selebar sebelumnya. Matanya pun menjadi sayu. "Umm... singkatnya pas di MRI*, cerebellum** gue ternyata mengecil. Jadi, keseimbangan gue rada kacau dan gue sering tremor juga pusing. Pilihan gue makin menyempit gara-gara itu."

Hanya keheningan yang menemani mereka untuk beberapa saat. 

Deandra hanya pernah menceritakan hal itu pada sahabat-sahabatnya. Entah apa yang mendorongnya untuk menyatakan rahasia miliknya pada pemuda yang ia sukai. Ia tak kuasa melihat wajah Skye. Apakah ia akan merasa terbebani dengan cerita ini? Atau mungkin ia tidak peduli? Apakah Deandra sekarang terkesan aneh di mata Skye?

Pikiran Deandra terhenti ketika ia merasakan sesuatu yang hangat di tangannya. Tangan besar Skye menangkup tangan Deandra di atas meja. Rasanya hangat dan menenangkan. Deandra tak kuasa menahan senyumannya ketika menyadari seorang Skye telah menggenggam tangannya. 

Ia tahu wajahnya memerah. Jadi ia tidak mau menatap Skye. Matanya hanya memandang tautan tangan mereka. 

"Kurasa sekarang giliranku kasih rahasiaku, bukan?" Tanya Skye, "Rahasia untuk rahasia."

"Waktu gue kecil, gue benci bokap gue," mulai Skye. "Dia cukup kasar ama gue dan nyokap."

Deandra menahan tatapan Skye. Mata hitamnya menusuk, kedua alisnya bertaut. Deandra melihat seorang pemuda yang merasakan sakit. Dan hatinya sendiri menjadi sakit pula. 

"Dulu gue merasa ga berguna ketika nyokap penuh luka. Dan... lama-kelamaan nyokap kena kanker. Bokap gue pergi dan keluarga gue harus bergantung sama keluarga paman."

Hati Deandra terasa seperti tertusuk. Ia tidak pernah tahu Skye memiliki masa lalu yang begitu kelam. 

"Gue pingin jadi dokter yang sukses untuk balas kebaikan paman gue."

Deandra meletakkan tangan bebasnya di atas tangan Skye. Gadis itu membuat gerakan melingkar di kulit tangan Skye dengan jempolnya. Memberitahukan Skye tanpa kata bahwa gadis itu mengerti. Bahwa gadis itu tidak takut dengan cerita kehidupan Skye yang berat. Bahwa gadis itu akan mendukung Skye. 

Meski hanya sesaat, Deandra bersumpah melihat mata Skye mengilat. Pemuda itu mengalihkan wajahnya kepada tangan mereka yang bertaut. Deandra dapat merasakan tangan Skye meremas tangannya dengan lembut. 

Apakah ini berarti Skye akan menerima dukungan Deandra?

"Um... i–ibumu?"

Skye hanya menggeleng pelan. Ia meremas tangan Deandra dengan lebih kencang, namun masih lembut. 

Sob.

Deandra tak menyadari ketika matanya sudah berlinang. Pandangannya mengabur, tertutup oleh genangan air di matanya. Dan sebelum ia dapat menahannya, bulir air mata mulai menuruni pipinya. 

Srett... Sob... Srett...

Titik-titik air mulai berjatuhan membasahi meja di depan mereka. 

Meski genangan air menghalangi pandangan Deandra pada Skye, ia dapat melihat pemuda itu kaget dan menjadi salah tingkah. 

"Ke– kenapa lu nangis?"

Kenapa?

Mendengar pertanyaan Skye seakan hal-hal yang diceritakan pemuda itu tidak pantas ditangisi oleh Deandra, membuat hati gadis itu semakin sakit. Air matanya semakin mengalir.

"Hei..." Satu tangan Skye meraih pipi Deandra. Dengan jempolnya yang besar, pemuda itu menghapus air mata di pipi Deandra dengan lembut. "Jangan nangis dong...," pinta Skye lemah. 

Tangan yang sama kemudian menghapus air mata di pipi Deandra yang lain. Tetapi tangan itu tidak langsung turun. Tangan Skye tetap di pipi Deandra, membelai rambut Deandra ke belakang telinga Deandra.

Sentuhan pemuda itu mengirimkan kejutan-kejutan listrik yang kecil pada kulit Deandra. 

"Kalo lu nangis... gue jadi dilihat sebagai cowo jahat oleh semua orang, tahu?" 

Deandra tertawa kecil mendengar hal itu. 

Benar saja, ketika ia melihat sekitar beberapa orang di kafe mulai memperhatikan mereka. Seperti sedang melihat sebuah drama secara nyata. 

Akhirnya Deandra menarik napas panjang. Ia berusaha menarik ingusnya pelan-pelan agar Skye tidak mendengarnya. Kemudian ia mendongak dan mengerjapkan matanya berkali-kali. 

Deandra menepuk pipinya dua kali sebelum berkata, "Maaf ya... malah gue yang nangis..."

Skye menggeleng. Tatapannya lembut. Begitu juga senyumannya. 

Astaga, bila bisa gue pingin tenggelam dalam tatapannya terus.

"Justru gue yang harusnya berterimakasih," kata Skye, "Thank you for caring."



Itu beneran Flo di dunia nyata yang bilang ke gue


*MRI : Magnetic Resonance Imaging

**Cerebellum : otak kecil

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top