[5]. Semu Merah di Kedua Pipi

Hai, selamat pagi! 🤗🥰

Aku up Sania dulu, deh, sebelum kelarin extra part Suddenly. 🤭

Masih disimpan di library, kan, cerita ini?

Jangan lupa vote sama komentar.

Happy reading dan semoga suka! 😍

====***====





"Dan entah karena ia terbiasa menilai fisik setiap wanita dengan cepat atau memang naluriahnya sebagai lelaki muncul begitu saja, Rendra mendadak cepat memutuskan bahwa, ia suka melihatnya. Suka pada dua pipi putih gadis itu yang bersemu merah."

====***====


"Ada janji temu sama seseorang jam tiga sore nanti. Semua sudah diatur. Anda tinggal berangkat saja. Reservasi tempat pertemuan, menu makan, baju juga sudah." Laki-laki berjas biru itu mondar-mandir mengikuti tuannya.

Sementara laki-laki yang disebut sebagai Tuan itu hanya bergumam tak jelas sembari memilih kemeja dari lemari. Pukul setengah delapan pagi, tapi, ya Tuhan, Rendra harus menahan kupingnya pengang dengan segala rentetan ocehan asistennya. Mengesalkan sekali.

Tidak akan semengesalkan ini kalau janji temu yang dimaksud adalah pertemuan dengan klien, untuk membicarakan bisnis. Sayangnya, ini adalah janji temu yang sengaja Eyang Ria–ibu dari sang papa–untuk menjodoh-jodohkannya dengan putri rekan bisnis.

"Kali ini kata Eyang Ria, orangnya cantik bagaikan bidadari, mandiri, dan yang pasti, Tuan, dia …."

"Perempuan," sergah Rendra seraya melepas kaus pas badan yang dikenakan dan ia lempar asal-asalan ke arah Gio–asisten pribadinya.

"Yo, iyolah, Mas! Piye sampeyan iki? Moso Kanjeng Ratu Ria mau kasih perempuan jadi-jadian buat calon istri cucunya sendiri!" Gio mulai senewen.

Laki-laki bertubuh kurus dengan tatanan rambut klimis itu sebenarnya sudah akrab dengan Rendra sejak mereka kecil. Gio adalah cucu dari Paman Tejo dan Bi Surti–asisten rumah tangga sang mama dan papa. Mereka sempat satu sekolah semasa SMP hingga SMA. Gio mengekor ke mana pun Rendra pergi saat itu. Tugas Gio adalah mengawasi aset keluarga. Ya, aset. Sebab Rendra adalah cucu laki-laki satu-satunya dari keluarga besar Aryasetya–kakek Rendra.

Sialnya, sepupunya–Sisi–sama saja memperburuk keadaan. Cucu keluarga Aryasetya ada lima dan hanya Rendra satu-satunya cucu yang berjenis kelamin laki-laki. Kata Sisi, "Rendra adalah harapan bangsa!"

Satu pernyataan yang sontak membuat Eyang Ria merasa terdukung untuk mengatur segala kehidupan Rendra. Lelah dan jengah karena harud mengikuti kemauan Eyang Ria, selepas SMA ia memilih hengkang dari Indonesia. Ke mana pun asal ia terbebas dari semua perhatian berlebihan sang eyang. 

Kalau Rendra ingat-ingat, mungkin hampir sepuluh tahun ia tinggal di New York—oh, lebih malah! Rendra meralat dalam hati. Menyelesaikan kuliah lalu bekerja di negeri orang, sesekali masih ingat pulang. Namun, pada lima tahun terakhir, Rendra mulai menetap. Ia tak pernah pulang sama sekali.

Sebenarnya, tak ada yang membedakan antara cucu laki-laki dan perempuan. Hanya saja, semua cucu perempuan di keluarga sudah memiliki mimpinya sendiri-sendiri. Sisi lebih suka mempertahankan profesinya sebagai desainer dan menetap di Paris. Isvara lebih suka menjadi freelancer desainer interior. Nadya mau jadi psikolog dan Oliv jangan ditanya. Adik Rendra yang paling bontot itu masih SMA. Mana mau gadis remaja memikirkan kerajaan bisnis keluarga. Yang ada di otaknya hanya nonton, berkeliling berjam-jam di toko buku hanya untuk membeli novel, rebahan sambil membaca cerita online yang menurut Rendra tak bermutu karena temanya perjodohan melulu yang dibaca.

Mengesalkan. Inginnya marah setiap kali terlintas kata perjodohan.

"Papamu dulu umur dua puluh enam udah nikah sama mama kamu!" Ocehan Eyang Ria yang beratus-ratus kali disampaikan melalui Gio.

"Umur udah tiga puluh mau mikirin apa lagi. Mama mau punya mantu dan nimang cucu!" Ocehan Mama yang entah sudah berapa kali lontarkan. Padahal Rendra sangat mengizinkan kalau mama dan papanya bikin bayi dan memberinya satu adik lagi. 

Daripada aku diributin disuruh cepet-cepet kasih bayi! Rendra mengoceh dalam hati. Kurang ajar memang meminta Mama yang usianya berkepala lima untuk punya bayi lagi.

"Aku nggak ada waktu buat mikirin acara nggak penting itu. Skip aja!" Rendra melengos sembari mengancingkan kemeja, menyisakan tiga butir kancing yang sengaja ia sisakan terbuka.

"Ndak bisa, Mas! Nanti saya dimarahin Eyang Ria, lho, ini!" Gio menunjukkan layar tablet yang sedari tadi ia bawa-bawa. Langkahnya cepat mengekor putra sulung majikannya keluar kamar.

Asistennya itu masih terus mengoceh, membujuk, mengatakan segala kekhawatiran yang sebenarnya tak perlu. Rendra berjalan melewati ruang bebas di dekat kamar dan tepat ketika sampai di dekat pantry, ia tertegun. Gio berhenti cerewet karena serta merta tubuh kurusnya menubruk punggung sang tuan yang berhenti mendadak.

Mata kelam Rendra menemukan sosok itu lagi. Gadis berambut panjang hampir menyentuh punggung. Melihat sosoknya, Rendra selalu menemukan kerapuhan dan ketakberdayaan.

Gadis itu tampak membelakangi Rendra, berjinjit, berusaha meraih sesuatu dalam kabinet di atas meja dapur. Sepertinya suara berisik Gio dan langkah mendekat kaki jenjang Rendra belum disadarinya. Tangan laki-laki yang kini berada persis di balik punggung sang gadis ikut terulur, membantu meraih toples kaca berisi gula.

Gadis bersweter rajut cokelat susu itu sempat tersentak dan berjengit kaget. Ia spontan berbalik, menemukan tatap Rendra yang turun ke dalam manik hitam pekatnya. Ada jeda beberapa detik keheningan di antara mereka, sampai akhirnya laki-laki itu menemukan semu merah di kedua pipi gadis itu, Rendra menyapa, "Hai …."

Dan entah karena ia terbiasa menilai fisik setiap wanita dengan cepat atau memang naluriahnya sebagai lelaki muncul begitu saja, Rendra mendadak cepat memutuskan bahwa, ia suka melihatnya. Suka pada dua pipi putih gadis itu yang bersemu merah. Tampak manis dan menggemaskan berhias raut gugup dan salah tingkah.

**

Tawaran pekerjaan dari Nana cukup menggiurkan. Sayangnya, setelah dipertimbangkan, ia tak mungkin bekerja dari pagi sampai petang menjadi sekretaris Narendra Bakhtiar–putra sulung dari keluarga Ravindra, laki-laki yang telah menolongnya sebulan lalu. Lagi pula, Sania tak berpengalaman sama sekali bekerja sebagai sekretaris. Bukan ia tak pernah bekerja, pernah, tapi siapa pula orang yang mau mempekerjakan gadis super kikuk dan gampang mengalami kecemasan dalam segala hal terlalu lama?

Sungguh, mendapat tawaran pekerjaan seperti ini dari wanita itu merupakan keajaiban luar biasa.

Sania merasa berhutang budi. Ia tak bisa lepas tangan tanpa membalas kebaikan laki-laki itu dan keramahan Nana. Semalaman ia mempertimbangkan tawaran itu. Gadis itu membolak-balik segala bentuk jobdesk yang tercantum dalam map merah, pemberian Gio yang menemuinya bersama Nana beberapa hari lalu di tenda jualan lontong sayur sang nenek.

Sampai akhirnya ia tetap menggeleng begitu pada pukul dua belas malam tak kunjung bisa menemukan solusi membagi waktu. Sebab Sania tak mungkin meninggalkan ibunya yang akhir-akhir ini kerap menghilang–kabur dan berkeliaran di jalanan. Seperti hari Minggu lalu, Sania hampir putus asa mencari Raina–mamanya yang gila. Meski hampir ada insiden tertabrak mobil di jalan raya, ia bersyukur Raina masih bisa dikondisikan dan diajak pulang.

Gadis itu memilih menutup map dan terlelap di balik selimut. Namun, saat subuh tiba, tiba-tiba ia merasa perlu menemui Rendra–ah, bukan! 

Tiar, Mas Tiar! Batin Sania berucap mantap menyebut nama panggilan itu. Setidaknya, berterima kasih secara langsung perlu, kan?

Hari berikutnya, pada pukul enam pagi, ia beringsut menelepon nomor Gio yang tercantum pada kartu nama yang diterima kemarin. Laki-laki itu menginformasikan di mana Rendra tinggal, lalu menjemputnya di lobi. Ada satu kotak bakpia kukus dalam tas kertas yang gadis itu bawa sebagai buah tangan. Bukan makanan istimewa karena laki-laki itu bahkan mungkin bisa membeli ratusan kardus bakpia. Mungkin sudah sering makan kudapan manis itu sampai bosan. Tapi Sania tak punya bayangan makanan lain, selain bakpia yang masih sanggup ia beli dengan uang tabungannya sendiri.

Sania merasa kikuk mulanya ketika harus menunggu Rendra di ruang tamu sementara Gio mencarinya ke dalam. "Paling Mas Rendra masih mandi. Tunggu sebentar, ya!" terang Gio. 

Asisten Rendra itu sempat mempersilakan gadis itu untuk membuat kopi sendiri bila mau. Katanya, "Santai saja, Nia, kalau haus, bikin kopi sendiri saja. Mas Rendra jarang pakai pantry, hobinya pesan makanan di luar. Pakai saja dapur sesuka hati, Mas Rendra ndak akan marah."

Mendengarnya, gadis yang duduk di sofa sembari memangku paper bag berisi buah tangan itu hanya mengangguk dan tersenyum sungkan.

Lama menunggu membuat Sania mempertimbangkan tawaran menyeduh kopi sendiri. Akan ia buat tiga cangkir kopi sebagai teman makan bakpia.

Gadis bersweter lengan panjang itu kebingungan mencari cangkir dan piranti lain untuk membuat kopi mulanya. Pun ia terlalu sibuk mengagumi desian interior apartemen itu. Tak ada lemari kayu reot seperti di rumah Nenek. Tak ada meja yang mulai lapuk dan berlubang karena rayap-rayap nakal. Semua tampak elegan dengan meja pantry berlapis batu marmer yang mengilap. Lemari kabinet yang putih bersih tergantung pada dinding. Lantai dapur bersihnya saja terlihat berkilau dan membuat silau.

Sania tersenyum sejenak. Ia teringat pada rumah megah bergaya mediterania milik seseorang yang pernah menjadi pelindung Sania dan sang mama. Apa kabar Kak Rendra?

Gadis itu tertegun sejenak lalu menggeleng membuang segala harap dan kerinduan yang tertahan. Belasan tahun berlalu dan ia telah memutuskan bahwa inilah yang terbaik untuk semua. Ya, inilah yang terbaik, menjadi asing satu sama lain.

Sania mengembuskan napas pelan, bersegera mondar-mandir di sisi meja bar, mencari keberadaan bubuk kopi dan gula. Manik hitamnya mengerjap begitu gadis berlengan sweter hampir menutupi setengah telapak tangannya. Tangan kanan Sania terulur, membuka pintu kabinet perlahan sekali seperti takut jemarinya meninggalkan sidik jari atau menggores permukaannya yang bersih. Begitu menemukan setoples gula bersebelahan dengan setoples bubuk cokelat dan kopi membuat bibir tanpa polesan lipstik itu tersenyum.

Kaki Sania yang beralas sandal busa kebesaran berjinjit. Jemarinya menggapai lebih tinggi dan ….

Eh?! Sania berjingkat begitu ada tangan kokoh berjemari panjang ikut menggapai setoples gula. Gadis itu segera berbalik cepat. Kelopak berbulu mata lentiknya membelalak lebih lebar. Iris hitamnya memantulkan bayangan laki-laki yang tengah menatapnya intens.

Senyum ramah dan tatapan laki-laki itu spontan membawa perasaan yang menggelitik perut. Sania … gugup. Dan dua telapak tangan Sania yang mengepal–yang mulanya berniat mendorong laki-laki di hadapannya menjauh–justru tanpa sadar bertengger tenang pada dada bidang di balik kemeja. Sania bisa merasakan otot-ototnya yang keras. Lamat-lamat, ia juga bisa merasakan ritme entakan jantung pada dada kiri laki-laki itu.

"Hai …."

Lalu embusan napas hangat yang menerpa wajahnya membuat ia semakin gugup dan … blush!

Panas. Sania bisa merasakan wajahnya memanas karena malu. Oh, mungkin dua pipinya yang kata Nenek seputih susu dan sehalus kain satin itu memerah. Ya, reaksi buruk yang sulit Sania sembunyikan ketika dadanya berdebar-debar. Entah itu karena takut, gugup, malu, atau tiba-tiba … terpesona?

Sania buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk menyelipkan rambut ke balik telinga. Ia tersenyum canggung kemudian dan balik menyapa dengan suara terbata, "Ha-hai …."

**

(08-11-2023)

====***====

Yeay, akhirnya mereka ketemu juga! 🥳
Masih sepi cerita ini nih. Vote menurun drastis sampai setengahnya. 🥲

Jangan lupa vote dan ramaikan, ya.

Terima kasih atas dukungannya. 🥰🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top