[4]. Gadis Berselimut Kemalangan

Hai, apa kabar semuanya? 🥰
Semoga sehat selalu, ya.

Maaf aku menghilang dan lama hiatus menulis. Banyak kesibukan yang harus aku jalani di dunia nyata. Apalagi balitaku lagi dalam tahap gampang tantrum. Entah kenapa akhir-akhir ini sulit sekali aku kendalikan. Sedih dan kadang emosi rasanya mau meledak saking capeknya, tapi namanya anak-anak dia nggak ngerti kalau perbuatannya salah. Mau aku marahin pun dia belum ngerti. Jadi aku memilih diam pas dia lagi tantrum. Kadang aku sampe ketakutan sendiri dan merasa jadi orang tua gagal.

Tapi nggak papa. Aku yakin aku nggak sendirian. Di sini juga banyak yang emak-emak pastinya pernah ngalamin betapa stresnya kalau anak lagi masuk tahap-tahap sering ngambek. Ya, kan? 😁

Semangat buat kita semua. 🥰🤗

Happy reading, jangan lupa vote dan komen! 🥳

====***====

"Ia ingin lari. Yang jauh. Meninggalkan semua kenangan lalu yang terus membayangkan kengerian."

====***====

Ia mengantuk. Masih sangat mengantuk sebab semalam terjaga di ruang tengah demi berjaga. Gadis yang kini tergolek tidur di atas meubel berlapis kain beledu warna jingga itu mengerang malas. Rasanya masih ingin tertidur pulas sampai puas. Namun, sulur-sulur sinar matahari yang menerobos melalui jendela dengan tirai cokelat muda itu teramat mengusik.

Semalam penghuni di balik pintu kamar dengan tirai kerang yang tergantung itu terus mengamuk. Melempar benda apa pun yang bisa ia gapai, membuat Sania berkali-kali menilik ke dalam kamar. Gadis yang kini memaksakan diri bangkit itu berusaha menenangkannya. Namun, seperti yang sudah-sudah. Akan ada luka sebagai hadiah.
Sania menatap punggung tangan kanannya. Ada luka baret kuku yang memerah. Di lengan kiri, ada bekas cengkeraman kuat yang membiru saat sang Mama berteriak-teriak ketakutan. “Aku benci John! Aku benci dia! Bajingan!” Begitu kalimat yang terus diulang-ulang.

Minah dan Pardi pun tak kurang-kurang membantu. Pasangan renta itu akan selalu mendapat bagian terakhir, membereskan sisa-sisa kekacauan yang terjadi. Memunguti pecahan gerabah yang berceceran di lantai, menata selimut dan bantal yang bertebaran di sembarang tempat, lalu mengambilkan sebaskom air hangat untuk membasuh luka-luka Sania.

“Nduk, kamu nggak harus menanggung semua. Kamu boleh pergi mencari kehidupanmu sendiri, mengejar mimpi-mimpimu yang tertunda. Mencari pekerjaan atau apa pun itu. Perkara mamamu, biar Nenek, Kakek, sama papamu yang mengurus.” Kalimat Minah semalam terngiang.

Ditatapnya pintu kamar bertirai kerang yang masih tertutup rapat itu. Ada sejumput nyeri yang menyesakkan dada. Menyeruak hingga tenggorokan terasa sakit. Lagi, mata sehitam jelaga gadis itu mulai dipenuhi riak-riak kesedihan. Ia ingin lari. Yang jauh. Meninggalkan semua kenangan lalu yang terus membayangkan kengerian. Namun, setiap melihat perempuan yang telah melahirkannya terkulai tak berdaya usai berteriak-teriak histeris, Sania tak sampai hati meninggalkannya sendiri.

“Nia ….”

Sapa suara pelan itu membuat Sania cepat-cepat mengusap sudut mata basahnya. Ia mendongak, menemukan Aldi—sang papa—yang baru saja pulang. Pria itu mendesah lelah sembari mengambil duduk di sisi putrinya.

“Papa baru pulang?” tanyanya.

Laki-laki berambut cepak yang mulai muncul sedikit uban itu mengangguk pelan. Ia baru pulang dari Bandung, memenuhi undangan sebagai asisten fotografer katalog produk fashion. Terkadang, ada rekan kerjanya dulu yang masih berbaik hati memberinya pekerjaan.

Aldi menunduk, menatap nelangsa pada luka baret di punggung tangan putrinya. “Mama ….”

Sania buru-buru menutup luka itu dengan telapak tangan kiri. “Nggak pa-pa. Mama udah tenang lagi. Udah tidur sejak subuh tadi.” Senyum tipis itu berusaha ia tunjukkan meski susah payah.

Aldi mengangguk-angguk. Hening sejenak. Ada jeda keduanya terdiam seraya menatap bersama pintu kamar bertirai kerang di dekat lemari tua yang tampak renta. “Papa tadi sempat mampir ke Alun-Alun. Nenek udah bilang. Papa … setuju sama apa yang Nenek bilang.”

Sania memejam, menarik napas dalam sebelum mengembuskannya pelan. “Nia harus bilang berapa kali supaya Papa nggak perlu kepikiran soal pilihan hidup aku? Nia masih mau di sini. Nemenin Papa, Nenek, Kakek, dan Mama. Sampai Mama sembuh, Pa.”

“Ada Papa yang bisa jagain Mama di sini. Kamu nggak perlu merasa terbebani begini. Papa bisa berhenti terima pekerjaan yang mengharuskan ke luar kota. Kamu ….”

“Pa ….” Sania meraih tangan berjemari panjang nan kurus, menepuknya pelan, kemudian menatap sendu pada manik sang papa. “Nia baik-baik aja sama Papa … sama Mama. Nia bahagia.”

Aldi baru saja akan menghela napas, hendak kembali membujuk ketika ponsel di atas meja kayu jati itu bergetar halus. Sania buru-buru menilik layar yang terus berkedip. Ia mengerjap lambat saat menemukan nama pemanggil.

“Iya, Nek?” sapanya begitu jemarinya menggulir ikon hijau di atas layar benda pipih yang berpindah ke genggaman.

“Nduk, tolong antarin kerupuk ke Alun-Alun, ya? Ketinggalan di dapur. Yang di sini udah mau habis.” Suara Minah terdengar dari seberang. Ada nada panik yang menandakan Sania harus segera bergegas.

Selamat. Ia bisa menghindar lagi dari perdebatan yang memintanya segera pergi dari rumah.
 

**
 

“Mama tuh nggak ada niat buat bikin pertengkaran kamu sama Ishvara semakin panas. Mama minta kamu pulang memang murni biar kamu mau bantuin kerjaan Papa di sini. Tapi sebagai orang tua, tetap berharap kamu sama Ishvara akur lagi bisa, kan?”

Perempuan itu bicara sembari mengupas apel, sementara Rendra mengoles selai cokelat di atas selembar roti tawar. Mama selalu begitu. Cerewet meski sedang sibuk mengerjakan apa saja di dapur.
“Lagian Mama juga mau liat perubahan kamu. Usia udah tiga puluh, jangan main-main melulu. Serius bisa, kan? Cariin Mama mantu. Mama … mau … nimang cucu!” Nana memeragakan gerakan menimang-nimang bayi dengan raut wajahnya yang lucu.

Kunyahan roti di mulut Rendra terhenti sejenak. Ia menelan perlahan lalu meraih segelas susu di sisi kanan. “Mama aja yang bikin bayi lagi sama Papa gimana? Rendra nggak keberatan kalau dikasih adik lagi.”

“Heh, ngomongnya yang bener, dong!” Nana berdecak jengkel.

Rendra tergelak menemukan ekspresi jengkel sang mama yang justru terlihat lucu dengan matanya yang memelotot garang. Laki-laki berkaus putih itu meraih sepotong apel dan mengunyahnya pelan.

“Eh, Ren!”

“Mm?”

Perempuan dengan rambut kucir kuda di seberang meja bar melepas celemek di dada. Ia bersegera duduk pada stool bar di sisi putranya. “Kamu beneran nggak kenal Sania sebelumnya?”

“Kenapa memang?”

Nana melipat dua tangan di dada. Dua alisnya berkerut bingung. “Waktu Mama main ke rumahnya beberapa hari lalu karena mobil mogok, ada perempuan seumuran Mama yang sebut-sebut nama kamu, lho. Mama pikir kamu udah kenal lama sama keluarga Sania. Sania teman SMA kamu mungkin?”

Rendra menoleh dan menggeleng. “Nggak ada teman yang namanya Sania, mantan pacar juga nggak ada.”

“Heleh, kali kamu hilang ingatan saking banyaknya perempuan yang kamu gandeng!” geram Nana. Ia membanting celemek di pangkuan ke atas meja. Perempuan itu berlalu meraih tas tangan di atas sofa ruang tengah unit apartemen si sulung.

“Mau dianterin pulang nggak, Ma?!” Rendra setengah berteriak.

“Nggak! Mama mau mampir ke Pasar Ngasem dulu beli bubur krecek!”

Mendengar nama daerah itu disebut, Rendra sama bergegas. Laki-laki itu cepat menghabiskan potongan apel di atas piring, sembari mengirim pesan pada asistennya untuk mencari informasi, dan bersegera mandi. Berbenah diri sebelum ia meraih jaket denim pada lemari gantung di kamar dan kunci mobil. Entah kenapa, diam-diam dirinya selalu terusik setiap kali nama Sania disebut.

Rendra masih ingat bagaimana gadis itu menangis sambil meringkuk takut. Ia juga masih ingat bagaimana Sania mengigau, meraih lengan Rendra yang menungguinya di sisi ranjang pasien. Genggaman itu erat dan samar-samar Rendra bisa mendengar gadis itu bergumam, “Kak Rendra … jangan pergi. Nia … takut.

Mereka baru kali itu berjumpa, tapi gadis itu menyebut-nyebut namanya ketika bermimpi. Meminta perlindungan padanya, seolah menahan Rendra agar tak lantas pergi begitu saja, dan peduli padanya.
 

**
 

Gerobak lontong sayur itu sudah mulai lengang pada pukul sepuluh pagi. Hiruk pikuk pengunjung di Alun-Alun Kidul mulai sedikit surut saat matahari mulai naik semakin tinggi. Rendra belum turun dari mobil meski sudah ia parkirkan di area tepi alun-alun.

Matanya masih menelisik penjual lontong sayur di depan sana. Pengunjung hanya ada satu dua yang tersisa. Ada Bapak Tua yang tengah menumpuk piring-piring kotor dan Ibu Tua yang tengah menuang sayur berkuah ke atas piring. Bukan mereka yang Rendra cari.

Ia mengembuskan napas pelan, mengetuk-ngetukkan jemari pada setir mobil dengan pandangan terus terfokus di depan sana. Kemudian, senyum tipis itu muncul begitu melihat gadis berambut panjang itu turun dari sebuah becak yang mengantarnya. Gadis itu membawa setoples berbahan plastik dalam pelukan. Ia meletakkannya di meja dekat gerobak, mengobrol sebentar, lalu … tidur?

Kelopak Rendra mengerjap, masih mengamati. Itu Sania. Gadis itu memang terlihat pucat. Tubuh kurusnya tampak lesu dengan lingkaran hitam di kedua mata, seperti kurang tidur nyenyak. Sania meletakkan kepala di atas lipatan kedua tangan, menyembunyikan wajah di sana, dan si Bapak Tua dan—mungkin—istrinya tak melarang.

Rendra turun. Langkah jenjang berbalut running shoes putihnya menapak lambat ke arah tenda penjual lontong sayur itu. “Bu, masih nggak?” tanyanya menyapa si Ibu Tua.

“Masih, Mas. Monggo pinarak![1] Saya buatkan dulu.”

Rendra mengangguk berhias senyum simpul. Ia sengaja mengambil duduk di seberang meja di mana Sania duduk menelungkupkan diri. Rendra mau sabar menunggu, sampai seporsi lontong sayur itu terhidang, atau mungkin bila perlu sampai gadis di hadapannya terbangun. Manik kelam laki-laki itu sesekali mengamati, tapi tangan kanan sibuk menyendok, dan mulutnya mengunyah, sengaja pelan-pelan.

Namun, setiap tarikan napas teratur dari tubuh kurus gadis itu membuat Rendra tak kuasa menunggu. Barang kali Sania memang sedang terlalu lelah sampai ia begitu pulas tertidur sambil duduk begitu. Rendra menghela napas lamat-lamat. Ia bangkit, membayar seporsi makanan yang dilahap sampai tak bersisa.

Namun, laki-laki itu kembali lagi usai mengambil selembar plester luka di kotak P3K mobilnya.

“Aduh, maaf, Nia ….”

Rendra buru-buru melekatkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. “Nggak pa-pa, Bu. Saya cuma mau kasih ini. Punggung tangan Nia luka,” bisiknya dengan suara sangat pelan.

Bibir perempuan itu membulat dan mengangguk. Ia tersenyum seraya memperhatikan pergerakan Rendra.

Laki-laki itu melepas plester dari bungkusnya, kemudian melekatkan pelan pada punggung tangan kanan Nia yang bergurat memerah. “Saya permisi, Bu. Ini untuk Nia. Saya Rendra.” Rendra mengulurkan dua lembar plester luka yang masih terbungkus rapi.

“O-oh, putrane[2] Bu Nana itu, ya?!” Perempuan tua berkain jarik itu setengah berteriak, tapi segera menutup mulutnya. “Saya Minah, neneknya Sania,” bisiknya gembira.

Rendra mengangguk, melempar senyum ramah, dan menyalami tangan keriput Minah. “Pamit, ya, Bu. Salam buat Nia.” Ia berlalu, melangkah cepat meninggalkan Minah.

Sopo to[3], Bu?”

Anake[4] Bu Nana, Bu Ratna, yang dulu antar Nia ke rumah pas kakinya luka itu, lho, Pak!”

Rendra tersenyum mendengar obrolan dua orang paruh baya itu. Tidak hari ini, mungkin lain waktu. Ia tak sampai hati melihat gadis itu terganggu dan terbangun. Entah untuk apa ia harus seperhatian ini, tapi sungguh, ada perasaan senang bisa kembali bertemu dengan gadis malang itu hari ini.
 

**
 

Gadis yang tak sengaja tertidur di bangku bawah tenda biru itu mengerang singkat. Ia menegakkan tubuh, menyugar rambut panjang sedikit berantakannya dengan jemari. Kelopak berbulu mata lentik Sania menegrjap lambat, menetralkan pandangan yang semula kabur karena bangun tidur.
Ia mengaduh begitu merasakan betapa pegal dan kaku punggung. Gadis berkaus longgar itu memelintir tubuh ke kiri dan kanan. Dua telapak tangannnya hampir mengusap wajah mengantuknya. Namun, tangannya terhenti di udara begitu menemukan plester luka bening di punggung tangan kanan. Ia mengerjap-ngerjap lambat. Kapan ia memasang plaster luka ini?

“Tadi Mas Rendra datang ke sini.” Suara Minah menginterupsi keheranan Sania.

Gadis itu menunjuk-nunjuk plaster luka. “Mas Tiar?”

Kali ini perempuan berkain jarik dan kebaya itu yang kebingungan. “Tiar? Sopo?”

Sania memejam sejenak, dua tangannya terangkat. “Oh, maksud Nia, Mas Narendra Bakhtiar. Mas Tiar,” terangnya cepat.

“Oh, ya, ya! Itu maksud Nenek.” Minah mengangguk-angguk paham.

Sania tersenyum sumir dan kembali menatapi punggung tangannya. Laki-laki itu aneh sekali. Ia peduli, tapi selalu pergi saat Sania mau tahu seperti apa rupanya.

“Apa kabar, Nia, Bu Minah?” Sapa lembut itu terdengar.

Baik Sania maupun Minah cepat menoleh ke arah sumber suara. Wanita berparas menawan itu lagi yang datang. Namun, kali ini ia tak datang sendiri. Ada seorang pemuda yang berdiri di sisinya, membawa map merah, serta berpakaian rapi dengan jas biru tua.
 

**
 
(03-11-2023)

====***====

Gimana-gimana? Udah nggak sabar gimana reaksi penakluk banyak wanita gandengan sama gadis selugu Sania? 🤭

Kasih semangat dulu, yok! Komen yang banyak! Kalau dapat banyak aku bakalan up di WP aja biar kalian bisa baca gratis. 🥳

Terima kasih atas dukungannya. Semoga kalian bahagia selalu. 🥰🤗

Catatan:
[1] Silakan duduk!
[2] anaknya
[3] Siapa, sih, Bu?
[4] Anaknya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top