[2]. Raina si Perempuan Gila
Hai, hai, hai!
Apa kabar hari ini? Masih ada yang mau mampir baca nggak, sih? Coba kirim cinta yang banyak di komentar, ya! Ada berapa banyak? :"D
Happy reading! Semoga suka sama ceritanya. ^_^
====***====
Suara deru mesin mobil tua terdengar berisik, mengusik gadis yang masih meringkuk di balik selimut.
"Pak, mbok jangan keras-keras! Berisik!"
Kali ini suara Nenek yang membuat Sania mengulas senyum dengan mata terpejam dan menggeliat. Sebentar lagi, pasti dua orang tua itu ribut.
"Dipanasin, Bu! Biar ndak rusak!"
"Heleh, mobil butut aja dielus-elus melulu! Jual, Pak, Jual!"
Oke, Sania terkekeh sekarang. Tebakannya selalu benar. Setiap pagi kakek dan neneknya pasti meributkan si Merah—Starlet merah tahun 80-an. Mobil butut yang sebenarnya masih sanggup membawa dagangan lontong sayur Minah—nenek Sania—sampai ke gerobaknya yang ada di Alun-Alun Kidul. Sayang, kondisinya yang kadang kerap macet membuat Minah kesal. Sebab Merah macet pada saat waktu yang tak tepat, kesiangan belanja bahan untuk dagangan misalnya.
Gadis berkaus longgar dan celana panjang batik itu bangkit, melipat selimut sebelum akhirnya menapakkan dua kaki ke lantai tegel kamar. Ia mengusap wajah perlahan, minat berdiri terhenti begitu arah pandang tertuju pada kaki kiri. Sebulan berlalu. Luka bekas jahitan tertusuk beling sudah pulih, meninggalkan sejumput ingatan mengenai lelaki yang belum pernah ia temui, setelah menyelamatkannya malam itu.
Pagi itu, Nana menemani sampai sore. Putranya mendadak berkabar pada sang ibu tak bisa datang dan mengantar kepulangan Sania. Bukan masalah sebenarnya. Toh malam itu ia terluka bukan salah Ren—ah, sepertinya mulai hari ini gadis itu berniat memanggil Tiar saja dari nama belakang pria itu, Bakhtiar. Mas Tiar?
Sebelum ia pingsan malam itu, Sania sibuk menangis dan tertunduk, entah seperti apa rupa Tiar itu. Pasti ia laki-laki yang tampan. Ibunya saja terlihat manis, ayahnya yang sewaktu sore ikut mengantar Sania pulang sampai rumah juga sangat tampan. Tiar beruntung punya orang tua baik dan masih terlihat tampan, cantik, serta sehat.
Gadis itu menghela napas panjang, menggeleng perlahan untuk menepis usaha mengingat-ingat wajah dewa penolongnya di malam penuh kegusaran kala itu.
Daniel, kekasihnya, bahkan tak pernah menghubungi lagi. Usaha menjelaskan pun tidak. Dan Sania, terlalu takut mendapat pengakuan dari pria yang sudah menjalin kasih dengannya selama ... hampir lima tahun ini mungkin? Sejak masih sama-sama duduk di bangku kuliah. Takut kalau prasangkanya selama ini benar dan akan menyakiti perasaan diri.
"Nia! Ada tamu ini, lho, Nduk!" teriakan Minah terdengar dari arah teras.
Sania mengerjap. Siapa tamu yang datang pagi-pagi begini? Setahunya, baik Daniel atau Marcela—sahabatnya—tak pernah datang ke rumah pagi-pagi. Gadis itu tergesa menyisir rambut ke belakang dengan jemari, cepat-cepat ke kamar mandi di dekat dapur untuk mencuci wajah.
"Siapa, Nek?" tanyanya begitu keluar dari bilik dengan wajah basah.
Minah yang tengah mengaduk teh manis dalam gelas belimbing berdecak melihat sang cucu. "Iku mbok rai dilap sik anggo anduk! Ndang!"
Sania meringis saja seraya mengulurkan tangan meraih handuk pada jemuran handuk di dekat pintu dapur menuju halaman belakang. "Siapa memang?"
"Bu Nana. Itu, lho, yang dulu anaknya nolongin kamu sampai rumah sakit?" Minah meletakkan minuman hangat di meja ke nampan plastik, membawanya keluar diikuti Sania.
Keduanya berjalan berurutan, melewati ruang tengah dengan aksen perabot serba kayu yang sudah tua. Beberapa sudut ada yang mulai terlihat lapuk dimakan rayap, tapi Minah dan Parman masih mempertahankannya. Terkadang, Sania takut lemari berisi gerabah itu ambruk dan menimpa siapa saja yang lewat. Tapi mau bagaimana lagi, ia belum sanggup menghasilkan apa pun untuk sekadar memberikan bantuan keuangan di keluarga yang telah merawatnya sejak usia kanak-kanak ini.
Langkah Sania terhenti di ambang pintu. Perempuan berkucir kuda yang mengenakan blus putih bermotif bunga-bunga itu tampak duduk di kursi rotan teras rumah. Asyik mengobrol dengan Parman—suami Minah.
"Monggo, ngunjuk dulu!" ajak Minah.
"Makasih—eh, Nia? Apa kabar?" Wanita itu mendadak bangkit, menyongsong dua tangan Sania, menggenggam sejenak sembari menatap semringah, lalu membawanya ke dalam peluk hangat, seperti pelukan ... Mama?
"Baik, Tante. Dari mana?"
Pertanyaan Sania sontak membuat wajah perempuan itu cemberut. "Tante nyetri sendiri tadi. Niatnya mau ke kantor Rendra, tapi ban mobil kempes. Kebetulan dekat sini, jadi inget kamu."
"Terus, mobilnya di mana?" Sania spontan menanggapi.
"Udah diurus Rendra, katanya bakal ada montir datang. Tante ke sini naik taksi online tadi."
"Ayo, Bu, tehnya keburu dingin nanti!" Parman mengingatkan.
Perempuan itu duduk kembali, menuntun serta Sania untuk duduk di sisi. Obrolan mengalir hangat. Sesekali cucu Minah dan Parman itu tertawa kecil mendengar lelucon Nana. Perempuan supel yang mungkin berusia empat puluhan itu pandai menempatkan diri. Tak lekas angkuh meski dari kalangan orang berada. Padahal, Sania pikir, setelah urusan dari rumah sakit selesai, mereka tak akan bertemu lagi.
Suara derit pintu pagar yang terdengar membuat mereka yang duduk di teras menoleh. Perempuan yang mengenakan topi bucket putih dalam gandengan seorang pria itu masuk. Sania buru-buru menghampiri begitu keduanya sampai di ambang teras, menggantikan sang ayah, menuntun perempuan itu.
"Mama sama Papa dari mana?" tanyanya hati-hati.
Wanita yang semula menatap lantai dengan tatapan kosong itu mendongak. "Mama jalan-jalan tadi. Bosan nungguin Kak Rendra pulang," katanya dengan wajah sendu. Kelopak matanya mendadak berair.
Minah tergopoh ikut menuntun. "Ayo, masuk, Na! Nanti Ibu bikinin teh hangat, ya, di dalam?"
"Iya, nanti Nia kabarin kalau Kak Rendra sama Kak Bibin pulang, ya?" Sania menambahkan, maunya menghibur.
"Itu siapa?"
"Raina, masuk dulu, ya! Aku sama Nia ada tamu sebentar." Aldi—papa Sania—ikut membujuk.
Sementara Nana yang dipandangi dengan wajah penuh tanya itu mengangguk, buru-buru bangkit lalu mengulurkan tangan. "Saya Ratna, yang sebulan lalu mengantar Nia pulang ke rumah. Ingat?"
Sania tersenyum lega. Tak seperti yang lain. Wanita ini pun tak takut mendekat pada Raina—perempuan gila yang kerap seharian kerjaannya hanya duduk di teras. Anak-anak tetangga saja kerap mengolok-olok dirinya saat berjalan sendirian. Sewaktu kecil dulu, Sania kerap kewalahan mengusir anak-anak tetangga yang nakal dan tak tahu sopan santun itu.
"Ayo, Ma, masuk ...," ajak Sania setelah Raina berjabat tangan dengan sang tamu.
"Tapi nanti Kak Rendra datang, kan?"
Nama itu lagi yang disebut, membuat Sania dan keluarganya saling bertatapan. Pun tak enak hati dengan tatap kebingungan tamu perempuan yang ramah di rumah ini.
***
(18-09-2023)
====***====
Jadi, ibunya Sania ini punya gangguan jiwa, ya, Gais. Buat kalian yang penasaran pake banget kenapa Raina bisa gila, bisa mampir ke cerita aku di platform Fizzo. Judulnya Married with The Boss. Baca di sana gratis, tis, tis! Silakan mampir, jangan lupa follow akun Fizzo Anjar Lembayung.
Cerita itu episodenya panjang. Ada 114 episode kalau nggak salah. Lupa aku karena udah lama banget nulis di sana. Kalian boleh colek aku di komentar cerita yang ada di Fizzo. Aku usahain balas. ^_^
Btw, cerita Sania udah sampai part 4 di KaryaKarsa. Yang mau baca duluan boleh mampir di sana, ya. Terima kasih sekali atas dukungannya. Semoga kalian sehat selalu dan lancar rezekinya. Aamiin. ^_^
[1]. Itu muka dilap dulu pakai handuk! Cepat!
[2]. Silakan, diminum dulu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top