[1]. Perempuan Berantakan di Tengah Malam


Hai, selamat berakhir pekan!

Apa kabar hari ini?

Maafkan slow update, ya. Sedang berbenah rumah yang hampir tiap hari berantakan. >.<

Happy reading! Eh, jangan lupa masukin ke reading list kalian biar kalau update selalu ada notif. Vote dan komentar jangan lupa. :)


====***====

====***====


"Iya, Ma, besok Rendra mampir."

Pria itu berkata dengan nada lembut. Berusaha agar perempuan di seberang telepon tetap mau bersabar dan tak tersinggung karena ia melewatkan makan malam bersama keluarga hari ini. Baru seminggu Rendra kembali. Kembali menikmati kebisingan empat perempuan ketika berkumpul di rumah keluarga besarnya. Lima tahun tinggal di New York tak lantas membuatnya lupa dengan mereka.

"Iya, Mama, Rendra pasti ati-ati nyetirnya. Aku bukan lagi ...."

Rem mobil berdecit seketika kaki jenjang Rendra memijaknya terburu-buru. "Shit!" umpatnya.

Hampir saja kening pria berkemeja putih dengan dasi yang terpasang kendur itu membentur setir kalau saja ia tak mengenakan sabuk pengaman.

"Ya, ampun, Ren! Kenapa?!" Suara sang ibu memekik panik.

Rendra tak menyahut. Dadanya masih berdentum-dentum tak keruan. Manik hitam kelamnya menyipit, menatap ke depan. Gadis itu menghilang? Tadi ia hampir saja menabrak seorang gadis berambut panjang dengan kaus kebesaran warna kuning.

"Rendra tutup dulu telponnya, ya? Kayaknya aku nabrak orang," sahutnya seraya tergesa membuka pintu mobil.

"Hah?! Kok, bisa?! Di ma—"

Sambungan Rendra putus sepihak. Ia melempar benda pipih di tangan kiri ke kursi sembarangan. Harapannya, ponsel pintar miliknya tak memantul dan jatuh membentur bagian keras apa pun dalam kendaraan yang ia tumpangi.

Tepi jalanan mulai ramai, berkerumun orang-orang yang mendadak berhenti lalu-lalang. Semua pasang mata tertuju pada objek tepat di depan bumper mobil Rendra. Gadis itu berjongkok sembari menutup dua telinga, tertunduk dalam dengan bahu gemetar. Perlahan, di antara bising apa pun di jalan yang masih ramai malam ini, Rendra bisa mendengar suara sesenggukan. Lalu, merah darah di telapak kaki kiri telanjang gadis berantakan itu membuat pria itu memeloto terkejut.

Perlahan, ia mendekati gadis itu, bersimpuh dengan sebelah lutut, dan menepuk bahunya pelan. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya sembari berusaha menilik wajah si gadis.

Tak ada tanggapan apa pun kecuali sedu-sedan yang semakin menjadi.

"Saya antar ke rumah sakit, oke?" tawar Rendra cemas ketika menatap kaki berdarah tanpa alas kaki itu. Pasti perih dan panas.

Namun, sedu-sedan itu berubah menjadi tangis histeris. Mereka berdua semakin menjadi tontonan banyak orang yang mendadak berhenti karena tertarik mau tahu apa yang tertadi.

"Ayo, kita ke rumah sakit! Kakimu bisa infeksi kalau dibiarkan begini," bujuk Rendra lagi. Ia merengkuh dua bahu gadis itu, tapi yang terjadi ketika gadis itu bangkit bersamanya, tubuh sang gadis limbung. Isaknya menghilang begitu saja dan Rendra sigap menangkap tubuh rapuh perempuan berwajah sembap bersimbah air mata.

***

Gadis di ranjang pasien itu mengerang pelan. Keningnya berkerut begitu ia berusaha membuka kelopak mata yang terasa masih berat. Cahaya dari jendela kamar serba putih itu tak cukup nyaman menyelami pupil yang tertutup semalaman.

"Sudah bangun, Mbak? Mau minum?" Suara perempuan berpakaian serba putih itu menyapa. Ia meraih segelas air putih dari nakas di sisi tempat tidur usai membantu Sania yang semula merebah menjadi setengah duduk.

"Ini jam berapa?" tanya gadis itu sembari memijit pelipis dengan sebelah tangan. Kepalanya masih terasa sedikit pening.

"Delapan pagi. Baru lima menit yang lalu Pak Rendra pamit pulang, nanti ke sini lagi." Suster itu tersenyum singkat sembari menyuguhkan sarapan di atas meja lipat.

Mata yang semula terasa berat mendadak terbelalak. "Re ... siapa tadi, Mbak?"

"Pak Narendra Bakhtiar," terangnya.

"Oh ...." Keterkejutan itu sirna bersama puing-puing harapan yang runtuh, kembali lebur menjadi abu, lalu tersapu entah ke mana. Hanya nama depan yang sama, batinnya.

"Semalam beliau yang bawa Mbak ke sini. Sarapan dulu, lalu minum obat, ya? Saya tinggal sebentar, nanti kalau ada apa-apa silakan pencet bel saja." Perempuan bergigi gingsul itu mengakhiri obrolan dengan seulas senyum ramah.

Sania mengangguk, membalas senyum ramah itu dengan senyum tipis dan anggukan singkat. Gadis itu menghela napas panjang, menyugar rambut hitam legam yang tergerai berantakan dengan jemari tangan. Ia menggigit bibir penuhnya sedikit keras. Pandangan Sania tertuju pada jendela kaca dengan tirai terbuka. Pemandangan kota yang ia tinggali selama hampir tujuh tahun ini masih sama. Padat merayap. Tak ada beda dengan Jakarta—kota tempat tinggal ia dan ibunya yang ditinggalkan dulu.

Bedanya, Sania suka dengan sepincuk nasi gudeg di pagi hari khas kota ini. Lengkap dengan lauk ayam atau telur, sayur krecek pedas bercampur manis gudeg. Oh, mengingatnya, perut mendadak berteriak riuh. Kemudian ia menunduk, menatap sarapan pagi dari ... rumah sakit? Jadi, laki-laki yang semalam hampir menabraknya—oh, bukan, lebih tepatnya Sania yang oleng dan tak sadar mau menabrakkan diri ke bumper mobil pria itu. Jadi, laki-laki itu membawanya ke rumah sakit?

Gadis yang sudah berganti pakaian pasien itu menelisik isi ruangan. Lalu, ia ternganga ketika menyadari isi kamar. Sania sendirian di kamar dengan sofa mewah dan televisi layar datar. Lantai berkilau yang mungkin sama dinginnya dengan lantai biasa, tapi ini ... ini berlebihan! Berapa banyak pria itu membayar rawat inap semalam dengan kamar pasien bak hotel ini?

Oh! Sania menutup mulut, tiba-tiba ia panik. Jangan-jangan nanti harus membayar sendiri!

Takut praduganya benar, gadis berambut hitam sepunggung tanpa poni itu menyingkap selimut. Ia harus pergi dari sini sekarang juga. Cicilan gerobak lontong sayur Nenek dan Kakek saja belum lunas. Mana mungkin sanggup membayar biaya rumah sakit mahal ini. Sania belum sempat mencari pekerjaan yang layak.

Sayang, harapannya kabur cepat-cepat menghilang begitu rasa nyeri di telapak kaki kiri yang terbalut perban terasa sampai ubun-ubun. Sania mengaduh, batal memijakkan kaki kiri. Ia terpincang-pincang seraya berpegangan pada tepi ranjang, kemudian duduk kembali. Selang infus di punggung tangan kiri juga masih tertanam rapi. Sania takut mencabutnya sendiri. Setidaknya, suster pasti lebih paham bagaimana cara menyingkirkan ujung jarum yang menusuk dalam ke pembuluh darah. Ia mendongak dan meringis seraya menatapi cairan bening yang menetes dengan ritme teratur.

"Oh, sudah bangun? Sarapannya sudah?"

Kali ini Sania berjengit lebih terkejut dari semula. Tentu saja ia takut ketahuan berminat kabur. Eh, siapa lagi perempuan cantik ini?

"Maaf, ya, tadi Rendra pulang sebelum kamu bangun. Tante ditelpon suruh cepat-cepat ke sini. Kamu udah baikan?" Perempuan berlesung pipi itu tersenyum.

Senyum yang menyenangkan, membuat keterkejutan Sania menghilang dan mau tak mau membalas senyumnya lalu menggeleng lemah. Gadis itu menatapi balutan perban di kakinya.

"Kata dokter butuh waktu beberapa minggu sampai luka di kakimu sembuh. Oh, perkenalkan, Tante Ratna, mamanya Narendra Bakhtiar." Perempuan itu mengulurkan tangan kanan, menanti jabatan perkenalan bersama gadis yang masih termangu memperhatikannya.

Ragu, Sania menjabat tangan itu. "Sa-Sania. Panggil Nia aja, Tante ...."

"Nana, panggil Tante Nana saja yang simpel."

Perempuan itu tersenyum lebar, memperlihatkan dua gigi kelincinya yang manis. Kemudian, dada Sania menghangat ketika ibu dari pria yang menyelamatkannya tadi malam mengusap puncak kepalanya. Sentuhan yang jarang ia dapat lagi sejak ibu kandungnya sibuk dengan dunia sendiri. Dunia yang kerap tak bisa Sania mengerti. Dunia berantakan dalam hidup sang ibu yang menghantui mimpi-mimpi Sania.

***

(16-09-2023)

====***====

====***====


Cast dari cerita ini hanya sekadar buat pemanis tampilan naskah aja, ya. Kalian boleh memiliki pandangan lain tentang bagaimana sosok karakter dalam cerita ini. Tapi pliss, tolong jangan body shaming apalagi menilai gender seseorang. Suka, silakan mampir dan dukung cerita ini. Mampir ke akun Instagram cast yang aku pilih juga boleh. Enggak suka, tapi mau ikut baca, kalian bebas bayangin rupa tokohnya kayak apa. Enggak suka sama cerita dan tokohnya, mungkin memang ceritaku nggak masuk selera bacaan kalian. :)

Kalian juga bebas kasih masukan. Sebab setiap karya itu nggak ada yang sempurna. Aku bisa menerima dan akan berusaha memperbaikinya untuk karya-karyaku ke depan. Aku orangnya nggak baperan, kok. :D

Terima kasih. Semoga suka sama Sania dan Narendra. ^_^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top