9. Ruang OSIS

Sambil merapatkan jaket pink-ku, aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Suasana sekolah pagi ini memang belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa murid yang sedang memarkirkan motornya di dekat gerbang. Lagipula ini masih terlalu pagi dari saat biasanya aku tiba di sekolah. Apalagi kalau bukan karena kebagian jatah piket membersihkan kelas.

Meskipun harus bangun dan datang lebih pagi dari biasanya, tapi kakiku justru melangkah riang menuju kelas sambil mendengarkan lagu 'Dearest' milik Ayumi Hamasaki melalui discplayer yang terhubung dengan earphone. Salah satu soundtrack film anime kesukaanku yang akhir-akhir ini tak pernah bosan kuputar. Dan sudah beberapa minggu terakhir sekolah menjadi tempat yang paling menyenangkan bagiku. Tak ada lagi yang lebih menyenangkan dibanding bisa datang ke sekolah dan bertemu si gebetan lagi.

Aku melangkah menyusuri koridor yang menuju ruang kelas kemudian berhenti sejenak tepat di depan pintu kelasku untuk mencopot earphone dan memasukkannya ke dalam tas. Begitu aku menoleh ke samping, mataku tiba-tiba menangkap sosok Vano yang tengah duduk melamun pada bangku panjang di depan kelas kami. Wajah cowok itu terlihat suntuk tak seperti biasanya. Hanya menatap lurus ke depan. Bahkan tak sadar kalau aku melangkah menghampirinya.

“Hei! Bengong aja! Masih pagi, neh. Mendingan bantuin gue piket, yuks,” tegurku sambil menampilkan senyum lebar di wajah riangku. Vano menatapku datar dan hanya tersenyum tipis menanggapi.

“Woii! Kenapa lu? Kok kayaknya suntuk banget? Semangat dong!” Aku berusaha menyemangati cowok itu.

“Nggak kenapa-kenapa kok. Cuma lagi suntuk aja,” jawab Vano pelan sambil tersenyum tipis.

“Iya suntuknya kenapa? Apa karena cinta lagi?” tanyaku penasaran.

“Hmm ... may be. Nah, lu nggak jadi piket? Bentar lagi bel masuk, loh!”

“Oh, iya! Lupa. Yaudah, gue masuk dulu. Bye!” Tergesa-gesa aku berlari masuk ke dalam kelas. Segera mengambil peralatan kebersihan dan dengan cepat melaksanakan tugas piketku.

Bel masuk pun berdering membuatku tak sempat lagi bertanya tentang keadaan Vano. Entah apa yang terjadi pada Vano hari ini. Hampir sepanjang jam pelajaran ia terlihat suntuk tak seperti biasanya. Bahkan aku diam-diam memeperhatikannya dari kejauhan. Sedikit khawatir dengan keadaan cowok itu. Tapi untunglah menjelang siang Vano kembali ceria walau belum seperti biasanya. Dan senyuman juga kembali terukir di bibirku saat melihat Vano kembali tersenyum bersama beberapa temannya yang sedang bersenda gurau.

Begitu bel pulang berbunyi, Vano sudah menghilang dari jangkauan pandanganku. Membuatku menjadi sedikit kehilangan semangat. Seperti sekarang ini, ketika aku melangkah lesu menuju aula sekolah di mana teman-teman paskibraku sudah berkumpul untuk membicarakan acara pelantikan yang akan kami buat.

“Helaaauw! Gimana, Mi? Udah beres belom laporannya?” tanya Mona penuh semangat saat aku mendekat.

“Udah, dong! Nih!” sahutku sambil menyerahkan beberapa lembar kertas yang aku kerjakan kemarin. “Betewe ... Ta, cowok lu ke mana?” tanyaku pada Cinta Faranissa, pacarnya Fahri.

“Biasa, lah ... di ruang OSIS. Katanya sih ada perlu sama ketua OSIS gitu,” sahut Cinta. “Eh, tuh dia ... orangnya muncul!” ujar Cinta lagi sambil menunjuk ke seberang lapangan dan aku pun menoleh mengikuti arah jemarinya di mana Fahri sedang berjalan melintasi lapangan menuju ke arah kami semua.

“Hei, Mi! Mana catatan perinciannya?” tanya Fahri tanpa basa-basi.

“Ada di Mona. Cek aja dulu!” sahutku sambil melirik ke arah Mona yang juga masih memeriksa catatannya.

Mona menyerahkan semua catatan yang telah diperiksanya pada Fahri dan mereka saling berdiskusi untuk beberapa hal yang sekiranya masih kurang. Begitu ada tanda sepakat, Fahri mengembalikan semua catatan tersebut pada pemiliknya masing-masing.

“Oke kalo gitu. Semua udah beres. Kita ke ruang OSIS aja dulu. Tadi gue udah minta ijin sama Danov buat pinjem komputer mereka. Kita butuh selesein proposalnya sekarang,” jelas Fahri panjang lebar. “Mon, bagian lu yang ngetik, ya!”

“Eh sori, Ri! Gue nggak bisa ikutan dulu ya. Di suruh jagain rumah nih, nggak ada siapa-siapa di rumah. Besok insya allah gue selesein bagian gue!” kata Cyra sambil mengambil tasnya.

“Oke deh. Sisanya, ikut gue ke ruang OSIS!” komando Fahri sambil melangkah menuju ruang OSIS.

Kami semua berpindah ke ruang OSIS. Untuk sementara ini, kami meminjam ruangan OSIS untuk menyelesaikan proposal acara pelantikan karena ekskul paskibra memang tidak punya ruangan sendiri. Bahkan kami lebih sering menghabiskan waktu berkumpul di depan aula atau di pinggir lapangan sekolah. Sementara untuk perlengakapan dan atribut yang biasa kami pakai untuk lomba, kami titipkan di ruangan OSIS.

“Hei, Van! Gue pinjem ruangannya dulu, ya!” kata Fahri saat melihat hanya ada Vano yang sedang membaca buku di ruangan OSIS.

“Oke, pake aja!” sahut Vano sambil mengacungkan salah satu ibu jarinya.

“Oh ya, pas pelantikan nanti lu ikut ya! Lumayan buat ngeramein acara.”

“Oke deh. Gue juga suntuk di rumah.”

“Gue pinjem komputernya, ya. Proposalnya belum kelar semua soalnya!”

“Iya, pake aja!”

“Oh iya ... Mi, jangan lupa pembagian perlengkapan untuk tiap kelompoknya. Pokoknya atur aja lah, sama lu!” kata Fahri sambil menyerahkan selembar kertas berisi sepuluh kelompok tanpa nama padaku yang masih berdiri terpaku di dekat pintu.

“Gue lagi? Eh, buset. Perlengkapan apa maksudnya?” Aku melongo menerima kertas tersebut dan memandangi kertas yang hanya berisi judul kelompok itu dengan bingung.

“Perlengkapan umum untuk per kelompok sama perlengkapan pribadi untuk masing-masing anak,” jelas Fahri lagi.

“Banyak, ya? Terus gimana bagi-baginya ini?” Aku hanya bisa menggaruk salah satu sisi kepalaku yang tak gatal masih sambil memandangi lembar kertas tersebut.

“Kan, barusan gue bilang. Atur aja sama lu! Oke?” kata Fahri sambil nyengir lebar kemudian kembali fokus pada laporan yang diketik Mona di layar komputer. Meninggalkan diriku yang masih berdiri kebingungan di dekat pintu masuk.

Tiba-tiba saja Vano menghampiriku dan ikut melihat kertas yang sedang kupegang. Aku menoleh menatap wajahnya yang terlihat serius melihat isi kertas yang kupegang ini.

“Ya udah sini gue bantuin!” kata Vano sambil menarik kertas tersebut dari genggamanku. Aku kembali melongo heran karena seorang Vano mau membantuku mengerjakan tugas ekskul.

“Oh ... oke!” sahutku dengan senang hati. Sebuah senyuman manis pun merekah di bibirku.

Aku segera mengikuti cowok itu duduk di sudut sebelah kanan ruang OSIS dan mulai berdiskusi untuk membagi kelompok calon paskibra yang notabene adik kelas kami. Sesekali kami saling bersenda gurau, walaupun lebih seringnya saling curhat. Membuatku tidak fokus mengerjakan tugas yang diberikan. Apalagi melihat wajah Vano dengan jarak sedekat itu. Membuat sesuatu yang berdesir seolah merambat memenuhi rongga dadaku. Rasa hangatnya menjalar sampai ke jantungku dan menjadikan debarannya seakan bermaraton di dalam sana.

Bahkan dengan senang hati aku mendengar setiap kalimat yang meluncur dari bibir cowok keren itu. Setiap kata-katanya seolah terus terngiang memenuhi rongga telinganku. Mengalun bak melodi yang menghipnotis, membuatku menikmati setiap menit kebersamaanku dengan Vano. Terlalu asyik mengobrol berdua dan tak memedulikan sekitar seakan dunia hanya milik kami saja. Dan ketika aku mengalihkan pandanganku, aku baru menyadari kalau yang lainnya tengah memperhatikan kami dengan raut wajah heran.

"Asik banget ya, serasa dunia milik lu berdua. Yang lain cuma ngontrak!"celetuk Fahri sambil terkekeh pelan. Refleks aku melirik Vano dan ... dia tersenyum?

***

Semarang, 4 Juni 2019
04.37

Ada yang seneng nih, ngerjain tugasnya ditemenin gebetan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top