7. Dia Kembali

Aku melangkahkan kaki menyusuri gang menuju sekolahku dengan penuh semangat. Sambil menikmati udara pagi yang segar dan menyejukkan, rasanya benar-benar tak sabar untuk segera tiba di sekolah. Saat gerbang sekolah sudah terlihat, perasaanku menjadi semakin bersemangat hingga tanpa sadar telah berjalan setengah berlari.

Begitu melihat pintu kelas, entah kenapa bibirku langsung tertarik melengkung membentuk senyuman.  Bahkan senyuman itu seperti diawetkan hingga aku memasuki ruang kelas dan membuat Risa mengerenyit heran menatapku yang baru saja duduk di sebelahnya.

Tiba-tiba Risa menempelkan telapak tangannya ke atas keningku sambil meletakkan telapak tangan lain di keningnya sendiri. Seolah sedang membandingkan suhu tubuhku dengannya. Sahabatku itu menelengkan kepalanya dengan kening berkerut.

“Apaan sih, Sa?” gerutuku pelan saat menatap wajah Risa yang terlihat bingung.

“Ya, kali aja lu salah makan tadi pas sarapan.”

Baru saja hendak menimpali perkataan Risa, arah pandanganku teralihkan oleh suara yang entah kenapa selalu kuharapkan kehadirannya. Aku menoleh. Melalui pintu ruang kelas, aku melihat sosok yang sering menghantui isi kepalaku sedang berjalan menuju ruang kelas dengan senyum ramah yang ia bagikan pada setiap siswi yang menyapanya. Dan sudut bibirku kembali tertarik membentuk sebuah senyuman.

Seakan ribuan listrik menjalari setiap jengkal tubuhku, senyuman yang kulihat saat Vano melewatiku barusan mampu mengaktifkan setiap saraf yang sempat lengah beberapa hari ini. Dan seketika saja aku merasa semakin bersemangat menjalani hari. Bahkan pelajaran fisika yang kubenci pun tak mampu menyurutkan semangat dan keceriaanku.

“Heh, Non! Lu kenapa sih? Dari tadi tebar senyuman ke sana-sini. Emang lu mau tebar pesona sama siapa, sih?” sindir Danty yang heran melihatku terlalu riang dan semakin sering tersenyum nyaris seperti orang gila di pinggir jalan.

“Yeee ... suka-suka dong! Gue lagi happy, nih!” jawabku sambil tersenyum lebar.

“Wow ... lagi happy kenapa lu? Cerita dong!” tanya Risa penasaran.

“Hmm ... enggak tau gue juga. Pokoknya berasa happy aja gitu.” Aku kembali tersenyum riang memamerkan deretan gigiku.

“Mi, bawa binder gue nggak?” Tiba-tiba sebuah suara yang selama ini diam-diam telah kurindukan memotong pembicaraan absurd kami. Sosok Vano sudah berdiri di hadapanku dengan mata teduhnya yang selalu membuat para siswi di sekolah ini terpesona saat menatapnya.

“Oh, iya. Bawa.” Aku terkesima untuk sesaat dan nyaris tak berkedip melihat Vano yang terlihat lebih keren dari biasanya itu. “Tuh, ada di tas gue. Bentar gue ambilin dulu,” kataku sedikit gugup. Entah kenapa baru mendengar suara dan menatap senyumannya saja bisa membuatku salah tingkah begini.

“Makasih, ya!” sahut Vano sambil tersenyum manis semanis gula biang saat menerima binder miliknya. Senyuman hangat yang mampu membuatku seketika menahan napas.

Sepanjang hari ini perasaanku seperti dipenuhi kembang api. Rasanya ada yang meletup-letup di dalam dadaku. Membuatku tak berhenti mengembangkan senyum terbaik yang aku punya. Hingga jam pelajaran terakhir pun semangatku seperti tak ada habisnya, walaupun sang guru berhalangan hadir.

Meski suasana kelas mulai gaduh dan sebagian murid keluar kelas, aku masih duduk anteng di bangkuku. Sibuk dengan tulisan di binder kesayanganku. Hingga suara Vano menginterupsinya khayalanku.

“Cie ... Mi, lu lagi suka sama siapa, tuh?” ledek Vano dari bangkunya yang terletak di sebelahku sambil mengangkat binder yang sedang dibacanya.

"Hah?" Aku melongo. Sedikit bingung dengan ucapan yang Vano lontarkan barusan.

Meskipun dia bicara dengan suara biasa yang cenderung pelan, tapi ternyata masih bisa ditangkap oleh radar telinga Risa dan Danty yang otomatis langsung menatapku dengan tatapan memburu. Gawat, aku pasti dicecar habis oleh mereka berdua.

“Cie ... cie ... lu lagi suka sama seseorang? Kok nggak bilang-bilang sih? Kenapa malah Vano duluan yang tau!” ujar Risa sewot.

“Gue? Suka? Si Vano asal ngomong kali tuh!” kilahku dengan wajah yang rasanya sudah seperti terbakar.

“Kan lu sendiri yang nulis di binder gue, nih.” Vano mengangkat binder miliknya tepat di lembar halaman yang kutulis kemarin.

Mampus! Gue lupa!

Dan seketika saja aku teringat kalau puisi yang sempat kutuliskan di binder Vano kemarin berisi kata-kata yang menyiratkan rasa suka pada seseorang.

“Nah, kan! Cerita dong! Siapa sih, Mi?” tanya Risa penasaran.

“Hm ... siapa, ya? Nanti aja gue kasih taunya. Sekarang gue mau cari informasi dulu. Sabar ya, Non!” kataku sambil nyengir kuda dan semakin membuat sahabatku itu penasaran.

“Huuu ... dasar lu! Penasaran nih gue!”

Hingga suara bel pulang menginterupsi perbincangan kami. Beberapa murid di samping mejaku mulai bersorak riang sambil merapikan buku dan tas mereka. Tak ingin ketinggalan, aku pun merapikan semua buku dan alat tulis masuk ke dalam tas.

“Gue duluan, ya!” kataku sambil menepuk bahu Risa pelan dan melangkah cepat meninggalkan meja mereka.

Terburu-buru melangkah keluar kelas untuk menghindari pertanyaan yang mungkin dilontarkan Risa membuatku nyaris menabrak Vano. Namun cowok itu hanya tersenyum tipis dan membiarkanku lewat lebih dulu.

“Jadi ... siapa orangnya?” bisik Vano pelan, tetapi masih terdengar jelas di telingaku saat berjalan melewatinya.

Aku langsung menoleh menatap Vano yang tersenyum menggodaku.

“R-A-H-A-S-I-A!!!” jawabku ketus sambil memeletkan lidah lalu berlari menuju kantin sekolah.

Tiba di kantin sekolah, aku segera menghampiri teman-teman ekskul paskibra yang berkumpul di sudut terluar kantin. Nampaknya sedang serius mendiskusikan suatu hal, terlihat bagaimana Mona berbicara sambil menunjuk tulisan pada kertas yang terletak di tengah meja.

“Hai, semua! Lagi pada ngomongin apa, sih?”

“Eh, Mi. Kita punya program baru nih,” kata Mona sambil menyerahkan selembar kertas padaku.

“Pelantikan? Bulan depan?” tanyaku sedikit terkejut.

“Iya. Pelantikan anggota baru. Hari ini kita mau ngomongin persiapannya. Sekarang tinggal nunggu Fahri aja,” kata Mona sambil mencatat beberapa hal yang baru diingatnya.

“Emang si Fahri ke mana?”

“Biasa, lagi sibuk di ruang OSIS.” Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Memang ada beberapa anggota paskibra yang merangkap menjadi anggota OSIS juga seperti Fahri, Mona dan Syta.

Sementara menunggu Fahri datang, kami menyusun rencana yang sekiranya akan digunakan pada saat acara pelatikan. Dan ketika Fahri datang, wajahnya terlihat sumeringah sekali. Sepertinya ada kabar baik yang ia bawa.

“Nah, semuanya! Sekarang kita bisa susun proposal acaranya. Ketua OSIS juga udah ngizinin, kok.”

“Oke. Kalo gitu kita susun kepanitiaannya dulu aja!” usul Mona yang segera bersiap dengan catatan dan alat tulisnya. Siap mencatat segala sesuatu yang dibutuhkan untuk jalannya acara pelantikan. Sementara yang lainnya saling mengusulkan siapa saja yang jadi panitianya.

Dan akhirnya semua sepakat menunjuk Fahri sebagai Ketua Pelaksana, Mona sebagai Sekretaris, aku sebagai Bendahara, Fina sebagai Penanggung Jawab bagian materi pelantikan, Rayya bagian Dokumentasi, Silvi bagian Konsumsi, dan Cyra sebagai bagian Logistik.

“Mi, lu bagian nyusun perincian dana ya! Besok harus udah gue terima laporan lengkapnya!” kata Fahri dengan raut wajah seriusnya.

“Besok? Oh, oke!" Aku hanya mengiyakan sambil mengangkat ibu jarinya tanda setuju. Padahal di dalam hatiku merasa sedikit bingung harus mulai menghitung dari mana.

“Mona, bagian lu ngetik proposal! Besok harus udah berjalan!” kata Fahri mengistruksikan Mona dan dijawab anggukan pelan oleh gadis itu.

“Ya udah kalo gitu. Segini dulu aja. Mulai besok semua panitia melaksanakan tugasnya masing-masing. Oke!” kata Fahri lagi mengakhiri rapat hari ini.

“Okeeeee!” Dan semua anggota menjawab dengan serempak.

Untuk sejenak mari kita lupakan Vano dan segala efek sampingnya terhadapku. Kini di depan mata banyak tugas menanti.

***

Bogor, 22 Mei 2019
07.20

Yumi suka siapa ya??? Kasih tau nggak ya???? :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top