6. Isi Binder Vano Yang Berharga

Aku membuka lembar halaman demi halaman yang ada dalam binder milik Vano. Sebagian besar memang berisi catatan pelajaran atau hasil rapat OSIS. Namun, ada satu halaman yang membuatku tertarik untuk membacanya. Ditambah lagi kata-kata yang Vano ucapkan saat di gerbang sekolah tadi mendadak terngiang di telingaku.

"... gue takut ilang soalnya isinya terlalu berharga ... "

Aku kembali menatap satu halaman dengan tulisan tangan yang rapi, sangat jauh berbeda dari tulisan Vano yang seperti tulisan dokter alias susah dibaca. Yang ini sudah pasti tulisan anak perempuan. Beruntung ada biodata sang penulis di sana. Sebuah nama yang sempat membuat hatiku sedikit terkejut juga bibir sedikit mengerut. Hingga sebuah kalimat yang sedari tadi menarik perhatianku, tertulis di tengah halaman di balik halaman biodata sang penulis.

... Love comes and goes but friendship stay ...

Satu kalimat itu mengingatkanku pada percakapan dengan Vano tempo hari. Ditambah lagi sang penulis kalimat yang seingatku adalah gadis yang diakui Vano sebagai gadis yang disukainya. Yups! Nama Tisha Sandika tertera pada biodata di awal halaman. Adik kelas angkatan di bawah kami persis.

Seperti ada perasaan yang mengganjal di hatiku saat melihat tulisan tangan gadis itu. Entah kenapa aku merasa tak suka melihat tulisan tangan yang tertata rapi itu di binder Vano. Dan begitu aku membuka halaman selanjutnya. Di lembar itu aku menemukan sebuah puisi dengan tulisan ala dokter khas Vano. Sepertinya puisi itu mewakili perasaan yang sedang Vano rasakan. Dan aku pun mulai membaca bait demi baitnya.


Saat malam menyibak tirai hati
Udara dingin sesakkan napasku
Sinar rembulan menutup mataku
Terpejam bersama angan kosong
Terjatuh bersama mimpi-mimpiku
Terkubur bersama bayangmu
Yang tak bisa kurengkuh
Kau tinggalkan aku bersama kepingan hati yang hancur
Akankah kudapat menyusunnya kembali?


Membaca kalimat dalam puisi itu membuatku sedikit mengerti tentang curhatan Vano tempo hari. Mungkin ini semua yang dimaksud Vano waktu itu. Walaupun ada sedikit rasa tak nyaman yang bergelayut di hatiku, yang membuat jantungku terasa seperti digigit ribuan semut kecil saat mengetahui Vano sedang menyukai seorang gadis meskipun akhirnya dikecewakan. Tapi tetap saja ada rasa tak rela kalau cowok itu sudah menyukai gadis lain.

Sedikit jengkel dengan ungkapan perasaan yang Vano tulis melalui puisinya untuk gadis bernama Tisha itu, akhirnya aku memilih menutup binder tersebut. Pikiranku kembali melayang mengingat wajah cowok tampan bernama Vanodion Renaldy Putra, yang entah kenapa kini membuat otakku mengucap nama itu berulang kali. Hingga membuat jantung ini berdetak tak menentu bila mengingat senyuman manisnya.

'TISHA ... Jadi dia beneran suka sama cewek itu?' Aku mulai bergumam dalam hati.

'Apa bener dia ditolak? Kapan nembaknya? Kok, gue nggak pernah tau, ya? Apa ini ada hubungannya sama yang dia omongin waktu itu, MENOLAK SECARA NGGAK LANGSUNG? Tapi kalo nggak salah dia bilang Tisha udah punya cowok. Emang siapa cowoknya?'

Banyak pertanyaan yang mulai menyerbu dipikiranku, membuatku penasaran setengah mati. Dan tepat saat itu ponselku berdering nyaring menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk.

Risa*Imoet
Mi, tau nggak kalo Riza udah jadian sama Tisha.
Anak kelas 1 yang rada songong itu.

“Hah?! Tisha sama Riza??? Sumpe lu!” Aku terpekik kaget begitu membaca pesan yang dikirim Risa. Kemudian segera jemariku dengan gesit mengetik balasan pesan untuk Risa.

AyumiAyame
Masa sih???!!!
Kapan jadiannya?
Kok bisa?
Lu nggak bohong kan?

Aku tertegun sejenak. Ternyata Vano menyukai gadis yang sekarang sudah menjadi pacar temannya. Pantas saja cowok itu sering menulis puisi dengan kalimat yang sendu.

Riza Alando, dulu dia itu mantannya Risa waktu kelas satu. Dulu kami semua teman satu kelas. Dan kini aku aku tak habis pikir dengan berita yang dikirimkan Risa hingga pesan balasan dari sahabatku yang centil itu pun tiba.

Risa*Imoet
Katanya sih minggu lalu.
Hebat juga dia!
Tapi kok gue jadi bete ya?

AyumiAyame
Loh, bukannya Tisha ngefansnya sama Vano, ya?
Kok jadinya sama Riza?
Padahal Vano juga suka dia.
BTW ... Lu jelous ya?

Risa*Imoet
Masa sih?
Ngefans sama Vano?
Ga tau juga sih ....
Lu tau dari mana emang?
Ga mungkin banget gue jelous!!!

Aku sedikit terkikik geli ketika membaca bagian akhir pesan Risa. Kalau bukan jelous kenapa Risa jadi sewot begitu. Tapi pesan yang disampaikan Risa sedikit membuatku lega karena akhirnya beberapa pertanyaan dalam benakku mulai menemukan jawabannya.

Hingga esok harinya, di sekolah selama jam pelajaran berlangsung pikiranku lari entah ke mana. Rasanya benar-benar tak bersemangat. Ditambah lagi hari ini ada pelajaran Fisika yang paling tidak kusukai. Dan benar saja Pak Asep seperti selalu mengamati setiap gerak-gerikku. Hingga tak lama kemudian, suara khan berligat sunda yang sering membuat telingaku gatal itu pun terdengar menyerukan namaku. Memintaku maju ke depan dan menjelaskan salah satu materi yang sedang dibahasnya.

“YUMI ... tolong maju ke depan, bantu Bapak jawab pertanyaan nomor dua!” perintah Pak Asep sambil tersenyum tipis, membuatku meringis.

“Saya nggak bisa, Pak. Soalnya susah banget,” jawabku sambil tersenyum polos.

“Ya udah, kalau begitu tolong jelasin tentang pemantulan dan pembiasan cahaya aja, deh! Hayuk sini ke depan!” kata Pak Asep lagi pantang menyerah.

“Yaaaah ... Bapak. Susah Pak, ngejelasinnya. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, Pak!” Sekali lagi aku berusaha mengelak. Aku mana paham pelajaran Fisika. Melihat rumus panjang di papan tulis saja membuat mataku nyaris melompat keluar dari rongganya. Kepalaku seakan tersiksa mengingat setiap barisan penuh angka dan huruf simbol. Rasanya ingin menggigiti meja saja.

“Kalau gitu digambarin aja gih di papan tulis. Ayo ke depan!” kata Pak Asep yang sungguh-sungguh pantang menyerah untuk membuatku mengikuti pelajarannya.

“Digambar, Pak?” tanyaku tak yakin.

“Iya. Ayo maju!” Dengan lemas, aku melangkah menuju papan tulis di depan kelas dan mulai menggambar proses pemantulan dan pembiasan. Untung mataku punya ingatan sekali lihat kalau soal gambar. Begitu mataku fokus melihat gambar maka otak ini akan otomatis menyimpan dalam memorinya.

Aaagh. Sial banget sih gue!!! Kenapa sih kalo pelajaran Fisika bawaannya sial mulu. BETE ....

Setelah menyelesaikan gambar yang diperintah oleh Pak Asep, aku kembali ke tempat duduk dan menghela napas lega begitu bel tanda istirahat berbunyi. Hatiku langsung bersorak girang, akhirnya aku bebas juga dari mata pelajaran yang membuat otakku melintir.

Akan tetapi nyatanya jam istirahat tak membuat semangatku kembali sepenuhnya. Entahlah rasanya seperti ada bagian yang kurang. Seringkali aku melamun hingga nyaris tak menghiraukan obrolan teman-teman yang ada di sampingku.

“Hei, kremi! Kenapa lu? Dari tadi ngelamun mulu lu! Awas ntar kesambet setan, loh!” kata Danty yang mulai heran dengan kondisiku. Namun aku hanya menjawab dengan lesu kalau aku baik-baik saja.

"Heh, Mi!!!" Risa kembali memanggilku sambil mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Aku hanya meliriknya tak berminat.

"Waah, kesambet nih anak!" Seruan Danty masih sempat mampir di telingaku meskipun pikiran dan jiwaku sedang tidak pada tempatnya.

Aku sendiri tak paham apa yang membuatku menjadi kehilangan seluruh semangatku ini. Mungkin karena perasaanku yang kacau ataukah karena aku sedang menunggu sang pembawa semangatku kembali. Entahlah ....

* * *

Bogor, 4 Oktober 2018
06.26
Revisi 24 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top