5. Rasa Menggelitik Di Dada

Aku hanya bisa melongo melihat suasana sekolah siang ini dari depan kelasku yang menghadap lapangan. Cukup ramai, beberapa anggota dan calon anggota OSIS sibuk hilir mudik mempersiapkan kegiatan LDK mereka. Para peserta LDK itu kemudian berbaris di lapangan untuk mendengarkan pesan dari para guru dan pembina OSIS. Berbagai doa mereka panjatkan agar diberi kemudahan dan kelancaran dalam melaksanakan semua kegiatan mereka.

Dari kejauhan aku hanya bisa memperhatikan teman-temanku yang sibuk berjalan kesana-kemari memeriksa segala perlengkapan yang akan mereka bawa nanti. Mereka semua terlihat antusias dan gembira tak seperti apa yang kurasakan saat ini. Ada sedikit rasa kesepian di hati, ketika hampir semua teman dekatku bergabung dengan OSIS. Mereka terlampau sibuk untuk kuajak bicara. Akhirnya, aku memilih melangkah menuju kantin yang kini terlihat mulai lengang. Sedikit camilan manis mungkin bisa mengembalikan mood-ku.

Baru saja akan berbelok ke arah kantin ketika tanganku tiba-tiba ditarik oleh Vano yang kebetulan melintas.

"Mi, anterin gue ke toko buku sebentar!" Tanpa basa-basi Vano langsung memyeretku untuk mengikuti langkah lebarnya.

"Eeee~ Pelan-pelan!" protesku yang nyaris jatuh tersandung kakiku sendiri.

"Enggak ada waktu, bentar lagi gue mau berangkat!"

Vano terus saja menarikku hingga tiba di sebuah toko buku yang terletak di seberang gang sekolah kami. Sementara kakiku melangkah menyeimbangi langkah cepat cowok itu, di dadaku tiba-tiba muncul gemuruh badai yang membuat jantungku berdebar semakin kencang. Bahkan suaranya nyaris terdengar keluar. Dan entah kenapa ada suatu perasaan aneh yang muncul dari debaran jantungku yang tak beraturan ini. Seperti sesuatu yang menggelitik sampai ke dasar relung hatiku yang hampa dan membuatnya seakan memiliki melodi irama yang merdu. Seperti ada berbagai macam senandung lagu indah yang sedang dimainkan di sana.

Bahkan lenganku yang digenggam Vano seperti tersengat aliran listrik. Ada getaran yang merambat melalui celah dibalik kulitku yang tiba-tiba menyentak kalbu. Seperti muncul letupan kembang api di sana.

Aku kembali menatap sosok di hadapanku yang kini sibuk menelusuri rak-rak yang ada di toko buku dengan serius. Wajahnya yang putih mulus dengan rambut tebal kecoklatan yang bergerak seirama ketika cowok itu menolehkan kepala ke kanan dan kirinya, seolah seperti salah satu bintang film jepang yang sering kutonton.

Untuk sesaat aku terkesima dengan sosok Vano. Seperti terbius aku terpaku memandang setiap gerak-geriknya. Entah karena otakku yang hanya separuh atau memang karena proses kerja otakku yang lambat sehingga aku baru menyadari kalau Vano memiliki wajah di atas rata-rata alias tampan. Ditambah lagi dengan netra matanya yang berwarna coklat dan serasi sekali dengan rambut tebalnya yang kecokelatan.

Pantas saja banyak anak kelas satu hingga kelas tiga yang sering mendadak berubah antusias begitu berpapasan dengan Vano di mana pun cowok itu berada. Apa lagi kalau Vano sudah membalas sapaan mereka dengan senyumannya yang bisa membuat hati setiap gadis manapun meleleh seperti es krim. Ah... ke mana saja aku selama ini hingga baru menyadari semua itu sekarang.

Bahkan ketika Vano sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan hendak kembali ke sekolah, aku hanya bisa mengangguk seperti orang bodoh yang kehilangan separuh akalnya. Aku tak yakin bisa bersikap seperti biasanya setelah menyadari ada sesuatu yang berbeda di hatiku barusan.

"Mi, nih buat lu! Makasih ya udah nganterin gue." Vano menyerahkan sebuah cone berisi es krim cokelat bertabur cocho chips padaku
"Ma-makasih juga." Yumi hanya bisa tersenyum kikuk. "Oh ya, lu berangkat jam berapa nanti?"

"Jam dua sih katanya. Tapi palingan juga ngaret. Tau sendiri kan mereka gimana?"

Sekembalinya kami ke sekolah, di depan gerbang sudah berjajar truk-truk hijau milik tentara yang akan mengantarkan anak OSIS yang akan mengikuti acara LDK. Vano kembali bergabung dengan rekan-rekannya yang lain sedangkan aku memilih duduk manis di kantin sekolah sambil menikmati es krim yang nyaris meleleh. Walaupun rasanya sedikit kesepian karena duduk sendirian dan tak ada teman yang biasa mengobrol bersamaku. Begitu selesai menghabiskan es krim, aku memutuskan untuk pulang karena kantin sekolah pun sudah sepi sekali.

"Mi ... Yumi!" Namaku diteriakkan dengan kencang membuatku menengok ke sana kemari untuk mencari asal suara tersebut. Ternyata Ovie yang tengah memanggilku dari dalam salah satu truk hijau yang ditumpanginya.

"Ada apa, Vie?" tanyaku sambil melangkah mendekati truk tersebut.

"Doain gue ya, Mi!"

"Iya-iya ... gue pasti doain lu. Semoga lancar acaranya!"

"Eh ... Mi, doain gue juga ya!" teriak Syta Maharani tak mau kalah.

"Iya ... Gue pasti doain lu semua supaya sukses!" kataku lagi sambil mengacungkan kedua ibu jari ke hadapan mereka.

"Makasih ya, Mi!"

"Iya. Gue balik dulu ya! Dadaaah .... Good luck!" kataku kemudian sambil melambaikan tangan. Namun baru saja kaki ini hendak melangkah, seseorang kembali berteriak memanggilku.

"Mi ... Yumi!"

"Aduuh ... apaan lagi sih ini?" sungutku sedikit jengkel.

"Sorry. Gue mau titip binder gue dong!" kata Vano yang kini tengah berdiri di hadapanku sambil menyerahkan bindernya yang berwarna hitam dengan motif gugusan bintang padaku.

"Loh, emang kenapa?!"

"Barang bawaan gue berat banget. Lagian gue takut bindernya ilang, soalnya isinya terlalu berharga," jelas Vano panjang lebar dengan wajah memohon.

"Ya udah, sini! Tapi gue boleh ikut corat-coret ya!" kataku sambil menaik turunkan kedua alisku bersamaan.

"Iya deh, terserah lu aja! Asal jangan sampe rusak sedikit pun!" kata Vano mewanti-wanti.

"Iya-iya ... Bakalan gue jaga deh nih binder lu. Udah ah ... gue mau balik, nih!"

"Oke. Thanks, ya. Jangain binder gue baik-baik, ya!"

"Yups ... Rebes-beres!" kataku tersenyum sambil mengacungkan salah satu jempolnya sebelum akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan gerbang sekolah dan kembali ke rumahnya.

Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur sambil mendengarkan siaran radio favoritku. Pikiranku kembali pada kejadian tadi di sekolah. Setiap kali memori otakku menggambarkan wajah Vano, jantungku mulai berdebar kencang. Debaran yang mengiramakan nada yang sama seperti saat Vano menarik tanganku tadi. Ditambah lagi ketika saluran radio favoritku ini memutarkan lagu 'Aku Wanita' milik penyanyi Reza Artamevia. Aku seakaan tersadar apa yang baru saja terjadi pada diriku.


Segera aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil binder Vano dari dalam tas sekolahku. Lalu kubuka setiap halamannya hingga menemukan halaman yang kosong dan mulai menggoreskan tinta pena kesayanganku.


Khayalanku terbang tinggi

Mengepakkan sayapnya yang indah

Mencari sesosok yang selalu hadir di mimpi

Di manakah ia berada?

Aku merindukannya setiap saat

Di dekatnya kurasakan ketenangan

Senyumannya selalu membuatku berdebar

Kurasa kini aku menyukainya...

Aku tersenyum tipis menatap puisi yang baru saja kutulis. Kubaca kembali kata demi kata sambil tersenyum malu-malu. Entah kenapa momen bersama Vano selalu terlintas seperti film pendek dalam adegan slowmotion dalam benakku. Semua adegan itu seperti kaset kusut yang tak berhenti berputar seakan tak mau hilang dan semakin jelas terlihat ketika aku menutup mata. Ditambah lagi debaran jantungku yang mulai tak normal. Aku sampai berkali-kali menangkupkan telapak tanganku di atas dada. Takut jantungku melompat keluar sendiri. Sepertinya kali ini aku mulai terserang virus cinta.

* * *

* * *

Bogor, 9 September 2018
01.21
Revisi 22 Mei 2019

Pengin tau berita update-an semua cerita-ceritaku? Langsung aja lihat di Instagram-ku ya @aayu_anggun
Terima kasih.

Vanodion Renaldy Putra, Sang Pangeran Pujangga, Wakil Ketua OSIS yang puitis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top