4. Curhatan Vano

Siang ini matahari agak terik membuat udara menjadi sedikit panas. Untungnya angin sepoi-sepoi bertiup pelan untuk mengurangi hawa panas tersebut. Di undakan tepi lapangan aku, Hera, dan Ovie sedang duduk santai sambil mengobrol. Tempat paling asik untuk nongkrong dan curhat sambil memerhatikan kakak kelas pujaan hati yang berseliweran di depan kami.
"Eh, kalo menurut lu, misalkan gue ikutan OSIS gimana?" tanya Ovie tiba-tiba.
"Oke aja. No problem!" jawabku singkat.
"Gue juga nggak masalah asal lu bisa bagi waktu aja," kata Hera.
Sebenarnya topik pembicaraan ini kurang begitu kusukai. Tapi sebagai teman yang baik aku tetap mendengarkan Ovie bercerita, karena tahu Ovie tipe orang tidak bisa diam dan senang sekali ikut berbagai kegiatan. Berbeda denganku yang lebih suka menyendiri dengan dunia dan hobiku daripada berkerumun dengan banyak orang membicarakan suatu topik yang serius. Introvert? Mungkin tapi tidak separah itu sampai tidak memiliki teman. Setidaknya aku masih memiliki beberapa teman dekat untuk saling bertukar pikiran atau sekedar curhat.
"Eh, Mi ... kok dari tadi ngelamun aja sih? Kenapa lu?" tanya Ovie begitu tak mendengar sedikit pun suara cemprengku yang sering berkomentar panjang lebar itu.
"Nggak kenapa-kenapa. Gue haus, mau ke kantin dulu ya!"
"Oh~ Oke!"
Aku pun melesat secepat kilat menuju kantin sekolah yang mulai lengang, sedikit bosan dengan topik bahasan tentang OSIS yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan paling diminati setiap anak kelas dua termasuk para sahabatku. Begitu sampai di kantin, aku langsung memesan jus alpukat favoritku dan memilih duduk di pojok kantin sambil membuka binder kesayangan. Kalau sedang suntuk seperti ini biasanya otakku akan mengalirkan ide cerita atau minimal sebait puisi yang harus langsung kutuangkan dalam sebuah tulisan kalau tidak ingin semua ide itu menguap hilang.
"Heh, Mi! Bengong mulu lu kerjaannya. Nggak ada kerjaan lain apa?" tanya Vano yang tiba-tiba duduk di sampingku saat aku tengah mengulang memori apa yang baru saja tertulis dalam pikiranku.
"Lah, abisnya gue harus ngapain, dong?"
"Ya udah sini ngobrol sama gue aja!"
"Ngobrolin apaan? Jangan mata pelajaran andalan lu itu, ya! Gue paling anti sama Fisika!" sahutku lagi.
"Ya ampun, ngapain juga gue bahas Fisika sama lu!"
"Ya, kirain gitu."
"Oh ya Mi, kalo misalkan lu suka sama cowok terus ada sobat lu yang suka juga sama dia. Menurut lu, gimana?"
Lah, ini si Vano malah curhat. Tentang suka-sukaan lagi. Aku mana ahli bidang model beginian. Cinta pertama aja cuma bisa jadi pemuja rahasia yang bertepuk sebelah tangan. Lah ini dia malah minta pendapatku.
"Menurut gue, nih? Kalo kata gue sih, terserah cowoknya aja mau milih siapa dan kita harus terima apapun resikonya. Berani mencintai berarti berani sakit hati!" Dengan sok yakin aku menjawab pertanyaan Vano, walaupun sebenarnya aku sendiri ragu.
"Ooo ... gitu ya! Emang lu nggak sakit hati kalo kayak gitu?"
"Gue? Dibilang sakit hati sih, ya pastilah. Tapi kan, hati seseorang nggak bisa kita paksain!"
"Terus kalo misalkan tuh cowok milih sobat lu, padahal lu udah sayang banget sama dia, gimana?"
Aduuuh .... Ini si Vano kok makin panjang curhatnya. Tentang sayang-sayangan pula. Aku mesti jawab apa lagi???
"Gimana, ya? Kan, ada kata pepatah, tuh. Asalkan dia bahagia kita juga pasti ikut bahagia gitu. Yah, walaupun pepatah itu lebih banyak dipake di lagu sama film-film sih." Aku cuma bisa nyengir kuda karena tak percaya bisa mengeluarkan kalimat seperti itu.
"Gitu ya ...." Aku mengangguk mantap sedangkan Vano masih berusaha mencerna maksud keseluruhan pembicaraan mereka. Sedikit berpikir tentang hal yang sama sekali tidak aku ketahui. Hingga akhirnya dia bangkit berdiri menepuk pundakku sekilas sambil tersenyum tipis sebelum pergi. Membuatku hanya bisa tercengang melihat sikapnya yang cepat sekali berubah. Tak bisa diprediksi.
Itu cowok misterius amat. Maksudnya apa, sih? Tiba-tiba nanya suka-sukaan plus sayang-sayangan, eh udah dijawab dia kabur sambil senyum nggak jelas gitu.
Dan ternyata curhatan Vano tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya saat calon anggota OSIS yang baru sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk acara Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS atau yang sering disingkat LDK OSIS, cowok berkulit putih dengan wajah tampan dan rambut kecokelatan itu lebih memilih menghampiriku yang duduk di depan aula dengan sebuah buku catatan dan pena di tangan.
"Kenapa lu, Van?" tanyaku heran saat Vano duduk di sampingku sambil menghela napas.
"Nggak kenapa-kenapa. Lagi suntuk aja."
"Suntuk kenapa?" Aku menatapnya dan memerhatikan setiap lekuk wajahnya yang terlihat muram.
"Ya gitu, deh."
"Oh ya, kok puisi lu nadanya sendu semua sih? Kenapa lu? Lagi patah hati, ya? Sekali-sekali bikin yang happy, dong!"
"Ya, mau gimana lagi? Perasaan gue aja lagi sendu. Kan, puisi itu dibuat berdasarkan perasaan." Vano menjawab pelan dengan mata menerawang ke depan. Entah apa yang cowok itu pikirkan. Sungguh sulit untuk ditebak
"Loh, kenapa sendu? Kan, katanya ada yang lagi nge-fans sama lu. Siapa namanya? Tisha ya? Iya, Tisha kan? Ciyeee ...." Aku berniat menghibur Vano dengan sikap ceriaku tapi sepertinya malah jadi sebaliknya.
"Apaan sih! Dia udah punya cowok kok." Wajah Vano berubah semakin suntuk begitu aku menyebutkan nama Tisha. Sorot matanya yang semakin sendu menerawang ke arah lapangan di hadapannya. Sejenak suasana menjadi hening seakan beku dan membuatku tak enak hati.
"Atau jangan-jangan, gara-gara yang kemarin lu tanyain ke gue, ya? Emang lu lagi kena cinta segitiga sama siapa?" Aku teringat ceritanya kemarin dan kembali bertanya untuk mencari tahu sumber kesedihan cowok di sampingku ini.
"Mi, lu tau puisi gue yang ada di binder lu, kan?" tanyanya pelan dan aku langsung mengangguk.
"Yang ada tarik ulur itu, ya? Yang ceritanya ceweknya ngasih harapan tapi dia tarik lagi. Yang itu, kan?"
"Iya. Gue suka sama dia tapi dia suka sama orang lain jadinya, ya gitu deh. Ngasih harapan tapi ditarik lagi. Menurut lu, gimana?"
"Mmm ... kalo menurut gue, dulu sih gue pernah baca di bukunya Khalil Gibran yang begini bunyinya : 'Kesulitan terbesar bagi wanita adalah jika ada orang yang mencintainya namun dia mencintai orang lain'. Mungkin kira-kira kayak gitu, deh."
"Ya, mungkin juga, sih."
"Soalnya milih satu di antara dua itu susah banget, loh!" kataku sok ahli, nih. Padahal belum pernah ngalamin yang namanya CINTA.
"Hmmm ... gitu, ya?"
"Iya, apalagi harus pake korban perasaan. Siap-siap sakit hati laaah!"
"Tapi kalo gue pengin perjuangin perasaan gue ke dia, gimana dong?" tanya Vano lagi.
"Ya bisa aja diperjuangin, tapi balik lagi ke ceweknya sendiri. Dia mau pilih siapa. Wajar aja kalo bersaing dengan sehat."
"Ooo ... gitu, ya. Makasih ya, Mi!"
"Sama-sama. Selamat berjuang deh kalo gitu!" Vano hanya tersenyum simpul menatapku. Dan senyumnya seperti mengandung racun. Entah kenapa aku justru terpana menatapnya.
Hingga kemudian Ovie datang untuk memanggil Vano karena sebentar lagi rapat LDK OSIS akan dimulai.
"Mi, gue rapat dulu, ya. Makasih udah nemenin gue ngobrol!" Aku mengangguk sambil tersenyum. Tapi begitu dia pergi, seperti ada sesuatu yang kosong dan aku tak tahu apa itu.
****
Bogor, 7 Juli 2018
05.56
Revisi 22 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top