3. Sebait Puisi Vano
Upacara setiap senin adalah hal yang menjemukan bagiku, sekalipun aku adalah anak paskibra yang mana menjunjung tinggi rasa cinta pada bangsa dan negara. Bukan tentang pengibaran benderanya-kalau itu sih aku juga sering terlibat langsung mengerek sang bendera merah putih-hanya saja pidato yang selalu menjadi bagian dalam acara upacara ini yang sungguh membuat aku luar biasa bosan.
Petuah panjang yang kerap kali dengan kalimat yang sama juga intonasi yang sama. Seperti pagi ini, peluh kami sudah mengalir sampai ke kerah kemeja seragam tapi pidato dari Waka Pendidikan, Pak Suherman tak kunjung selesai. Beberapa murid kelas dua dan tiga yang memang jadwalnya masuk pagi hanya bisa menggerutu pelan dengan berbagai kata umpatan. Bahkan murid di barisan paling belakang ada yang diam-diam duduk di undakan tangga rendah di tepi lapangan. Sedangkan bagiku yang tidak terlalu tinggi hanya bisa berdiri pasrah di tengah barisan sambil bergerak gelisah.
"Bapak rasa sekian dulu. Sekarang mari perkenalkan ketua dan wakil ketua OSIS kita yang baru. Danovan Rahendra dan Vanodion Renaldy Putra."
Akhirnya ceramah membosankan ala Waka pendidikan itu selesai juga, walaupun upacara belum sepenuhnya selesai karena kini kedua cowok tampan di atas podium sedang memperkenalkan diri. Kembali menjelaskan visi misi mereka selama menjabat OSIS dan untungnya berhasil membuat para siswi di lapangan tak lagi mengeluhkan teriknya matahari pagi di bulan Juli ini. Para siswi itu kini tengah sibuk mengagumi kedua cowok keren di hadapan mereka tanpa memedulikan apa yang sedang kedua cowok itu bicarakan untuk memajukan sekolah.
Tidak termasuk aku loh, ya! Yang aku pikirkan hanya kapan upacara ini selesai dan aku bisa masuk ke dalam kelas secepatnya.
Akhirnya! Begitu komandan upacara selesai meneriakkan aba-aba untuk membubarkan peserta upacara, aku langsung melesat ke dalam kelas yang berada di seberang lapangan. Baru teringat kalau binderku tak ada sejak kemarin. Aku menunduk memeriksa kolong meja dengan saksama karena tadi pagi aku nyaris terlambat dan tak sempat memeriksanya. Namun nihil, kolong mejaku kosong.
Aku duduk lemas di kursiku. Mencoba berpikir di mana kuletakkan binder itu kemarin. Suara riuh teman-teman sekelasku yang memberikan selamat pada Vano pun kuabaikan begitu saja. Mataku mencari di antara kerumunan yang berdiri di depan pintu kelas. Begitu melihat Hera, aku melangkah cepat ke arahnya dan menariknya menyingkir untuk menanyakan keberadaan binder kesayanganku itu. Karena biasanya dia yang sering meminjam binder tersebut.
"Sumpe deh, kemaren gue nggak minjem binder lu. Lu lupa kali nyimpennya!" kata Hera sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.
"Binder lu kebawa sama gue, Mi!" Aku menoleh dan melongo bagai orang bodoh begitu suara Vano memenuhi indera pendengaranku. Sedangkan cowok itu lewat di samping kami dengan senyum tipis terukir di wajahnya.
Kenapa bisa ada sama dia?
"Serius? Yang bener?" Aku mengejar Vano yang berjalan ke bangkunya. Berusaha memastikan kalau yang dikatakannya adalah benar dan Vano pun menjawab dengan sebuah anggukan singkat. "Ah ... akhirnya ketemu juga! Kalo hilang kan bahaya. Terus sekarang mana binder gue?" kataku lagi sembari menengadahkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Ada di tas gue," jawab Vano singkat.
"Mana ... mana?"
"Nanti aja, ya. Gue masih mau baca." Aku kembali melongo heran, hendak protes namun cowok itu keburu keluar kelas menuju ruang guru karena ada beberapa hal yang harus diurusnya bersama sang ketua OSIS.
Ah, tuh cowok kenapa sih?
Bahkan sampai bel istirahat berbunyi pun Vano belum sempat mengembalikan binder milikku. Baru saja hendak memanggilnya untuk meminta binderku, cowok itu sudah melesat pergi lagi ke ruang Waka Kesiswaan. Membuatku kembali uring-uringan tak jelas.
Akhirnya aku memilih mengerjakan PR yang belum kuselesaikan. Kupinjam buku PR Hera dan menyalin bagian yang tak kumengerti. Terlalu fokus hingga tak menyadari kalau Vano sudah duduk di sampingku.
"Lagi ngapain lu, Mi?" tanya Vano basa-basi.
"Nggak lihat gue lagi nyalin PR!" jawabku ketus seolah tak ingin diganggu. Mataku masih tetap fokus pada deretan angka di buku tulis walaupun sesekali mengerenyit heran karena tak mengerti jawaban matematika yang kutulis ini.
"Nih, binder lu!" Aku menoleh sekilas saat Vano meletakkan binder bersampul beberapa stiker anime itu di samping bukuku. Kami saling pandang sejenak saat mengangguk sebelum tatapanku kembali fokus pada barisan rumus yang harus kuselesaikan. Lalu kudengar langkah kaki menjauh. Sepertinya Vano kembali keluar kelas.
Selesai menyalin PR Hera, aku segera membuka binder kesayanganku. Tiba-tiba saja ada beberapa kata yang baru terlintas di pikiranku dan ingin kutuliskan sebelum lupa. Aku menggerakkan jemariku cepat untuk membuka lembar demi lembar mencari sisa kertas kosong yang bisa ditulis. Namun tanpa sengaja aku justru membuka sebuah halaman berisi sebait puisi dengan tulisan tangan Vano.
Saat tirai hati membuka diri.
Tersibak hembusan angin kisahmu.
Mengapa kau hempaskan kembali diriku?
Mengapa kau ulurkan tanganmu bila kau tarik kembali?
Mengapa kau menarikku bila kemudian kau dorong aku kembali?
Mengapa kau ikat aku bila ternyata kau lepaskan aku?
Mengapa kau mengangkatku bila akhirnya kau jatuhkan lagi?
Kenapa harus kau lakukan padaku?
Aku terpaku. Heran sendiri sambil berusaha memahami makna setiap kata yang tersirat dalam sebait puisi yang ditulis cowok itu di binderku. Sepertinya ada rasa kekecewaan di dalam setiap kalimatnya. Pertanyaannya, ditujukan pada siapakah puisi tersebut?
Beberapa pertanyaan dan spekulasi mulai berkeliaran di dalam kepalaku. Pasti puisi ini ditujukan untuk seorang gadis yang Vano suka. Tapi siapa dia? Aku bahkan tak pernah melihat Vano dekat sekali dengan seorang gadis tertentu karena cowok itu memang termasuk anak yang bergaul dengan siapa saja. Semua siswi di sekolah yang menyapanya selalu dibalasnya dengan ramah. Atau mungkin karena aku yang memang kelewat kuper hingga tidak tahu perkembangan gosip yang beredar di sekolah.
"Heh! Ngelamun aja lu! Awas kesambet ntar!" suara renyah Vano membuyarkan lamunanku. Cowok itu langsung duduk di sampingku sambil melirik halaman yang sedang kubaca. Sebait puisi yang sempat cowok itu tulis kemarin.
"Mi, gue boleh nanya nggak?" Tatapan Vano terpusat padaku. Membuatku sedikit salah tingkah.
"Mau nanya apaan? Kalo nanyanya pelajaran matematika gue nggak mau jawab. Kan pinteran lu dibanding gue," ucapku sambil cengengesan berusaha bersikap normal.
"Ya enggaklah! Gue cuma penasaran aja, kayaknya lu udah pernah pacaran ya?" Aku melongo. Keliatan lagi deh wajah bodohku.
"Eh ... gue? Mmm ... ah ... lu kok nanya gituan, sih?" tanyaku keki.
"Ya, abisnya itu puisi di binder lu kayak udah profesional gitu tentang cinta-cintaan." Cowok di hadapanku ini bicara dengan santainya tanpa menyadari sikapku yang bingung setengah mati menahan malu, takut ketahuan kalau aku belum pernah merasakan apa itu yang disebut pacaran ala anak remaja seusiaku meskipun dulu waktu SMP pernah sekali menjadi pengagum rahasia seseorang selama bertahun-tahun.
"Ng ... oh ... itu ... karena gue suka baca bukunya Khalil Gibran aja. Jadi suka tiba-tiba ada ide puisi terus langsung gue tulis deh."
"Masa?"
"Emang ada apaan sih?"
Belum sempat Vano menjawab bel tanda istirahat sudah usai berbunyi. Bukannya kembali ke tempat duduknya, cowok itu justru memanggil Rian teman sebangkunya untuk mengambilkan buku catatannya. Membuat Risa mengungsi ke bangku di belakangnya sambil ngedumel heran.
"Mi, menurut lu apa artinya kata-kata ini?" tanya Vano dengan suara setengah berbisik sambil menunjuk sebuah kalimat dengan tulisan tangan yang sangat rapi yang sudah pasti bukan tulisan tangan Vano pada sebuah halaman di binder miliknya.
... Love comes and goes but friendship stay ...
"Menurut gue sih dia lebih mementingkan persahabatan yang selalu ada daripada cinta yang silih berganti datang dan pergi," jawabku sok ngerti padahal masih ragu meskipun sudah membaca kalimat tersebut berulang kali.
"Tapi menurut gue ini adalah penolakan secara halus," kata Vano dengan nada suara seriusnya yang membuatku otomatis menoleh dan menatap heran cowok di sampingku ini.
"Loh, kok gitu?" Aku makin bingung ketika melihat wajah cowok itu berubah sendu. Vano menatapku sekilas kemudian menunduk. Kulihat semburat kekecewaan menghiasi netra matanya yang teduh.
"Ini kata-kata dari cewek yang gue suka dan menurut gue, dia itu udah nolak gue secara halus," jelas Vano yang tiba-tiba malah jadi curhat. Aku hanya bisa manggut-manggut setuju walaupun sebenarnya bingung dengan semua maksud perkataan Vano.
"Sttt ...! Lu berdua ngobrolnya nggak usah pake toa gitu. Kenceng banget sampe kedengeran ke sini. Ga liat tuh di depan ada Bu Yati!" celetuk Risa nyaris berbisik sambil menepuk pundakku dan Vano bergantian dari bangku belakang hingga membuat kami berdua langsung menghentikan obrolan dan menatap ke depan kelas. Untungnya guru Matematika itu sedang asik menuliskan latihan soal di papan tulis.
* * *
#AuthorNote :
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD and KWIKKU, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's ORIGINAL, SAFE, FORM, PLEASE GO TO ::
https://www.wattpad.com/549354314-sang-putri-dan-pangeran-pujangga
and
https://www.kwikku.com/novel/read/sang-putri-dan-pangeran-pujangga
Sang Putri dan Pangeran Pujangga, ayu_anggun©2018-All Right Reserved
Bogor, 5 Mei 2018
10.08
Revisi 22 Mei 2019
28 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top