19. Kado Misterius
Malam pergantian tahun selalu sepi untukku, meskipun suara letupan kembang api terdengar jelas dan kerlipan cahayanya masih bisa kulihat melalui jendela kamar. Aku menarik napas pelan dan menengadah menatap langit malam dari jendela kamarku sambil mengingat apa yang sudah diceritakan Risa sebelumnya. Setiap kalimat yang diucapkan Risa membuatku mendapatkan setitik harapan meskipun terlihat samar. Aku memejamkan mata dan mulai merapalkan doa.
Kalau memang Vano adalah jodohku, maka tolong beri petunjuk dan dekatkanlah kami. Tapi kalau dia bukan jodohku, maka jauhkanlah ia sejauh mungkin dariku.
Aku kembali membuka mataku sambil menghela napas lega. Setidaknya sebuah doa bisa memberi sedikit ketenangan hati dan membuatku lebih siap untuk menghadapi segala hal yang akan terjadi selanjutnya.
Berkat doa yang kurapalkan pada malam sebelumnya, pagi ini perasaanku menjadi lebih ringan. Aku melangkahkan kaki dengan riang menuju kelasku. Libur sehari ternyata mampu membuatku merindukan suasana sekolah dan teman-temanku. Aku mempercepat langkah menuju kelas. Namun, baru juga tiba di depan pintu kelas ketika suara teriakan yang seperti kaleng rombeng itu memenuhi indera pendengaranku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Risa, Danty dan Hera. Suara mereka benar-benar meledakkan telingaku.
"HAPPY BIRTHDAY YUMI!" Aku melongo mendapati wajah semringah mereka. Ketiganya serempak mengucapkan selamat ulang tahun dengan suara keras sambil bernyanyi.
Terharu sih, hanya saja teriakan mereka menjadi pusat perhatian setiap warga sekolah yang lewat di sekitar kelas kami. Aku segera menyeret ketiganya masuk ke dalam kelas sebelum mereka melakukan hal yang semakin memalukan.
"Makasih banyak ya, gals!" ucapku tulus sambil memeluk mereka.
"Semoga semua harapan lu bisa terkabul," ucap Hera sambil tersenyum tulus.
"Semoga semakin dideketin ya jodoh lu. Nggak usah yang jauh-jauh, yang udah deket aja biar makin dideketin," ucap Danty sambil mengerling ke arah bangku Vano berada yang kini terlihat masih kosong.
"Inget kata gue, selagi masih ada sedikit harapan, jangan pernah nyerah!" Kali ini Risa yang menyemangatiku. "Oh iya, tadi kayaknya di kolong meja lu ada kado gitu. Nggak tau dari siapa. Pas gue dateng emang udah ada di situ."
Aku segera duduk di bangkuku lalu melongokkan kepala untuk melihat kolong meja dan kado yang dimaksud Risa. Memang benar ada sebuah kado berbentuk tabung kecil dengan pita terikat ditengahnya. Segera kuambil kado tersebut dan membukanya perlahan.
Isinya sebuah gulungan kertas daur ulang berwarna kuning kecokelatan dengan beberapa hiasan bunga kering. Di dalamnya tertulis sebuah puisi yang membuatku mulai menebak-nebak siapa yang bisa memberikan kado tersebut dari bentuk tulisan yang nyaris kuhafal itu. Begini bunyi puisi tersebut :
SANG PUTRI
Di saat angin pagi menyelimuti setiap insan
Kulihat seorang putri di dalam fajar
Menyambut Sang Surya yang masih malu pada bumi
Memeluknya dengan kebahagiaan kasih
Membelainya dengan kelembutan cinta
Kulihat wajah cantik Sang Putri
Suci bagaikan embun di pagi hari
Dengan pipi yang memerah bagaikan mentari
Sang Putri tersenyum ....
Ia membuat dunia kembali berseri
Aku ingat ini adalah hari yang sangat berarti
Ini adalah hari kelahiran Sang Bidadari
Yang kelak menjadi pujaan setiap lelaki
Ya, ini adalah hari kelahiran Sang Putri
"SELAMAT ULANG TAHUN TUAN PUTRI"
I hope you will be the princess with a golden heart
Kalimat terakhir membuatku semakin terharu dan membuatku tersenyum-senyum sendiri saat membacanya. Puisi ini seperti ungkapan hati seseorang. Risa yang sedari tadi penasaran melongokkan kepalanya ke arahku.
"Dari siapa sih, Mi? Sok misterius gitu." Bukannya menjawab aku hanya tersenyum penuh arti pada sahabatku itu. "Ih, ditanya juga kok malah cuma senyum doang. Lu nggak lagi kesambet, kan?" gerutu Risa jengkel.
"Mungkin yang lu bilang kemaren ada benernya juga," sahutku sambil menatapnya dengan senyum masih mengembang di bibirku. "Seenggaknya kali ini gue yakin bisa sedikit melangkah maju."
"Duh, bahasa lu ketinggian. Gue nggak ngerti maksud lu apa."
Aku pun menyerahkan gulungan kertas berisikan puisi tersebut pada Risa dan wajah sahabatku itu sempat berubah terkejut saat membaca barisan kata yang tertulis di sana. Dengan cepat ia mengembalikan kertas tersebut padaku bersamaan dengan suara yang selalu membuatku bersemangat terdengar menyapaku dengan sebutan yang sedikit asing.
"Selamat pagi Tuan Putri!" Sapaan ringan yang membuat debaran jantungku berkejaran. Di satu sisi, Risa yang duduk di sampingku menyikut lenganku pelan. Aku tahu Risa pasti paham setelah membaca puisi barusan.
Aku mendongak menatap Vano yang baru saja datang dengan senyum lembut khas dirinya. Tatapan matanya menatapku dalam dan intens, tidak seperti biasanya. Seakan ada suatu isyarat yang ingin ia tunjukkan melalui tatapan matanya tersebut. Untuk sesaat aku sempat terpana. Terlalu terkejut untuk membalas sapaannya.
Sampai Vano duduk di bangkunya, aku masih tak berani menoleh untuk menatapnya. Tatapan matanya barusan seakan memergoki seluruh isi hati dan pikiranku saat ini. Aku berdehem canggung. Seharian bahkan tak bisa fokus pada semua mata pelajaran hari ini.
"Lu kenapa, sih? dari tadi kayak orang linglung gitu?" tanya Hera yang kini sedang duduk bersamaku dan Ovie di undakan tangga depan kelas. "Gara-gara kado misterius tadi, ya?"
"Kado misterius apa?" tanya Ovie yang tak mengetahui kejadian di kelasku tadi.
"Bukan misterius, sih. Sebenernya gue tau itu dari siapa," sahutku sedikit ragu dengan kalimat terakhir yang kuucapkan.
"Emang dari siapa?" tanya Hera dengan kerlingan mata ingin tahunya.
"Dari yang suka bikin puisi."
"Ih, semua orang juga tau kalo yang suka bikin puisi ngasihnya pasti puisi bukannya kue!" sungut Hera dongkol. Aku mendelik menatap Hera seakan memindahkan isi kepalaku padanya. Hera yang sudah hapal tatapan mataku yang seperti itu pun balas menatapku dengan mulut terbuka hingga nyaris membuat rahangnya terjatuh.
"Kalian ngapain sih? Sok pake bahasa isyarat gitu. Bagi-bagi kenapa bahan gosipannya!" protes Ovie yang merasa tak dihiraukan.
"Ada yang lagi seneng perasaannya terbalaskan. Nggak jadi cinta bertepuk sebelah tangan lagi." Hera menerjemahkan apa yang ingin aku sampaikan.
"Sama siapa? Vano?" Dengan tanpa suara Ovie menyebutkan nama Vano. "Tuh kan, dugaan gue sama Hera bener. Makanya lu jangan sok jual mahal dong. Kasih sinyal-sinyal cinta ke dia supaya dia tau kalo lu juga suka sama dia."
"Baru aja mau gue siapin cadangan, takut lu sakit hati gara-gara cinta tak terbalas. Untung sekarang udah aman," celetuk Ovie yang memang suka sekali bicara blak-blakan.
"Cadangan? Lu kira ban apa! Biarpun gue sakit hati karena bertepuk sebelah tangan, tapi kalo udah suka satu cowok, ya gue bakal suka tuh cowok terus. Gue kan tipe setia," sahutku sedikit menyombong. Niat hati ingin membanggakan diri tetapi berujung malu sendiri. Karena begitu aku menoleh, aku melihat Vano sedang berdiri di depan ruang BK sambil menatap lekat ke arahku. Secepat kilat aku membuang muka sambil berharap dia tak mendengar semua celotehan itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top