18. Sebuah Kabar Bagus
Beberapa hari terakhir sejak aku dengan terang-terangan bertanya tentang CLBK-nya Cyra, sahabatku itu seakan menjauhiku. Entah memang hanya perasaanku saja atau memang Cyra seolah tak ingin berada di sekitarku karena memang aku lebih sering terlihat bersama Vano. Entahlah ....
Akan tetapi suasana ini jadi berpengaruh pada seluruh anggota paskibra yang sering disebut seniorku Paskib The Genk yang beranggotakan aku, Cyra, Syta, Mona, Fina dan Rayya. Kami memang bukan genk sungguhan, hanya sahabat akrab yang punya jalur rumah searah dan membuat kami sering pulang bareng. Tak hanya itu, kalau berkumpul pun kami pasti duduk bersama dalam satu lingkaran. Namun kini, kami seakan terpencar. Aku bahkan sulit menemukan mereka duduk bersama lagi. Lebih seringnya Syta terlihat menempel bersama Cyra sedangkan Fina pasti bersama Mona dan Rayya karena mereka terlibat dalam organisasi paskibra sekota Bogor. Lalu bagaimana denganku? Seperti sekarang, lebih banyak menyendiri atau bersama sahabatku dari ekskul teater. Lebih seringnya bersana Risa dan Danty.
Keadaan seperti ini membuatku benar-benar kehilangan mood. Sekolah terasa tak menyenangkan lagi, belum lagi kalau sudah ada pelajaran fisika yang bikin kepala ngebul. Sekolah serasa menjadi neraka.
"Heh, lu! Ngelamun aja. Mikirin tuh gebetan lu lagi?" Sentakan suara Risa membuyarkan lamunanku dan membuatku berjengit kaget. Dengan malas aku menoleh ke arah sahabatku yang kini sudah duduk rapi di sebelahku sambil membuka kaca lipat dan membetulkan posisi kerudungnya. "Lu kenapa lagi sih, Mi? Suntuk amat tuh muka!"
"Ris, kayaknya Cyra ngejutekin gue deh."
"Ngejutekin kenapa?" sahut Risa masih tak lepas dari memandang cermin yang memantulkan tampilan dirinya yang terlihat lebih segar dengan polesan lipgloss pink yang baru dipakainya.
"Kayaknya dia emang lagi CLBK sama Vano, deh." Suaraku sedikit mencicit halus di bagian nama Vano. Sengaja agar siswa lain yang ada di dalam kelas tak mendengarku membicarakan cowok idola itu. "Ris, sekarang gue musti kayak gimana?" kataku putus asa.
"Sekarang gini deh, cowoknya suka sama siapa? Tapi kalo menurut gue sih, tuh cowok lagi pedekate sama lu. Abis kalo gue perhatiin ya, sikapnya beda aja ke lu sama yang lainnya," cerocos Risa panjang lebar. Kali ini fokus pandangannya lurus kepadaku yang hanya menopang dagu dengan lesu di atas meja.
"Tapi Ris, Cyra kan sobat gue juga. Apalagi dia yang duluan suka sama tuh cowok. Kok gue jadi kayak perebut gebetan orang ya rasanya."
"Baru gebetan kan, Mi? Bukan pacar, kan? Jadi kenapa lu malah merasa nggak enak?"
"Tapi gara-gara ini juga, gue sama Cyra jadi renggang. Gue harus gimana coba? Gue nggak mau ngerusak persahabatan gue sama dia."
"Denger ya, Mi. Dari pada lu senewen begini dan nggak tau siapa yang sebenernya tuh cowok suka, mending lu bersaing secara sehat. Kalo tuh cowok udah nentuin pilihan, ya salah satu dari kalian harus bisa menerima dengan lapang dada. Perasaan orang kan nggak bisa dipaksain." Risa menasihatiku dengan bijak walaupun sikapnya kali ini sungguh berkebalikan dari sikapnya yang biasanya manja dan pecicilan. "Nggak usah murung terus. Lu jalanin aja dulu kali. Jangan malah ngejutekin Vano. Doi kan nggak tau apa-apa, masa malah jadi korban kejutekan kalian."
Aku merenung mendengarkan kalimat yang diucapkan Risa barusan. Kata-katanya memang ada benarnya juga sih. Kenapa aku malah repot-repot menyiksa diri dengan murung seharian hanya kerena cowok itu. Cowok yang belum jelas sukanya sama siapa.
"Eh, tapi ... sebenernya gue punya kabar bagus buat lu, nih!" celetuk Risa tiba-tiba seakan cewek itu baru ingat sesuatu.
"Kabar bagus apaan?" Aku menegakkan tubuhku dan bersandar pada sandaran kursi. Siap mendengarkan kabar yang katanya bagus itu.
"Masih ada hubungannya sama lu dan Vano," bisiknya dengan tatapan sok rahasia-rahasiaan.
"Maksudnya?"
"Gini loh, tadi pas di kantin ... gue nanya sama Vano." Aku masih menyimak dengan penuh rasa ingin tahu. "Dia kan nanyain lu terus tuh. Kenapa lu murung lah, kenapa lu jutek lah, pokoknya kayak gitu deh. Dia tanya apa lu lagi ada masalah. Tuh kan apa gue bilang juga. Dia tuh perhatian sama lu, tau!"
"Lah, terus apa kabar bagusnya?" Aku mengerenyit heran. Apa hubungannya Vano nanya ke Risa tentangku dengan yang katanya kabar bagus.
"Ya gue jawab aja, kalo lu lagi kena cinta segitiga sama sobatnya sendiri dan sekarang lu lagi bingung mau milih siapa." Aku mendelik menatap Risa, tak menyangka sahabatku satu ini mulutnya memang bocor. "Eits, jangan ngambek dulu, Non. Masih ada lanjutannya, nih. Masih mau denger nggak?"
Aku menghela napas pelan dan kembali menyimak ceritanya.
"Kebetulan ada Vano ya kan, ya udah gue tanya aja langsung ke orangnya." Aku kembali mendelik tajam. Sahabatku satu ini idenya benar-benar luar biasa. Luar biasa membuatku jantungan.
"Dengerin dulu, ih!" bujuknya dan akhirnya aku pun mengalah. Mencoba duduk manis mendengarkan Risa bercerita kembali. "Gue tanya dia, apa ada cewek yang lagi dia suka sekarang selain Tisha. Ato dia emang masih sukanya sama Tisha? Lu tau apa jawaban dia?"
"Apa?"
"Dia bilang, dia masih belum yakin kalo lagi bener-bener suka sama cewek itu. Kalo Tisha sih cuma dia anggep ade doang. Eh, jangan sedih dulu atuh! Kan cerita gue belom selesai!" pekik Risa yang menyadari perubahan raut wajahku yang drastis sambil menowel tanganku beberapa kali. "Ini bagian kabar bagusnya."
"Dia lagi suka cewek apa bagusnya?" sahutku makin lesu.
"Ini ada hubungannya sama lu. Gue nanya ke dia, kalo ada temen gue yang suka sama dia gimana. Lu tau apa jawabannya?" tanya Risa penuh misteri meski tatapan matanya terlihat berbinar-binar riang. Aku hanya balas menatap Risa masih dengan mode sebagai pendengar yang baik.
"Dia bilang, dia masih nggak yakin, takut cuma sebagai pelarian aja. Dan ternyata dia tau siapa yang gue maksud dong, Mi!"
"Siapa?"
Risa menoyor kepalaku sambil merapatkan bibirnya gemas. "Ya elu lah, dodol!"
"Gue?"
"Iya, elu Mi. Dia udah tau kalo sebenernya lu suka sama dia. Tapi dia takut cuma jadiin lu pelarian aja karena dia masih belum yakin sama perasaannya sendiri." Risa terlihat sangat antusias mengakhiri cerita yang baru saja ia bicarakan. "Tuh kan, lu udah tau juga sekarang. Makanya jangan patah semangat dulu. Lu masih punya harapan. Si doi jangan dijutekin mulu, ntar yang ada dia malah kabur. Tunjukin aja kalo lu juga perhatian ke dia."
"Ah masa? Nggak mungkin banget dia punya perasaan ke gue."
"Iiiih ... nih anak kok dikasih tau malah makin ngeyel. Pokoknya lu maju terus aja pantang mundur. Siapa tau bentar lagi dia beneran suka sama lu."
Aku mematung di kursiku, masih tak percaya dengan semua yang diceritakan Risa barusan. Atas dasar apa Vano bisa suka padaku? Selama ini sikapku yang biasa ketus dan jutek saja yang selalu didapatkannya. Lagipula dia cowok idola satu sekolahan, mana mungkin suka cewek macam aku yang slebor dan ceroboh ini. Nggak ada manis-manisnya, ditambah lagi otakku yang agak lambat dan membuat rangkingku tak bisa mencapai sepuluh besar di kelas. Kebanyakan minusnya daripada plusnya.
"Heh, jangan ngelamun lagi! Ayok semangat, Yumi!!!" Teriakan Risa langsung menyabotase telingaku dan membuatku hanya bisa pasrah mendengarnya.
Kalau sungguh menyukainya, memang tak ada salahnya memperjuangkannya, kan? Sekalipun saingan kita itu adalah sahabat kita sendiri. Namun yang namanya perasaan suka, sayang, dan cinta itu memang tak bisa dipaksakan dan bisa datang kapan saja, di mana saja juga pada siapa saja yang dikehendakinya. Tak seharusnya juga aku menyerah sebelum berperang. Benar kata Risa, tunggu saja kepada siapa cinta memihak. Dan mundurlah dengan lapang dada kalau cinta memang tak ingin memihakmu. Siapa tahu di belahan bumi lainnya ada cinta yang tersimpan khusus hanya untukmu. Benar begitu, kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top