17. Cinta Lama Butuh Kejelasan
Senin pagi selalu tak pernah lepas dari kata ramai, repot dan ribut. Begitu juga dengan keadaan kelasku pagi ini yang entah kenapa untuk yang kesekian kalinya mendapat giliran menjadi petugas upacara bendera. Jangan tanya lagi siapa yang akan menjadi petugas pengibaran benderanya. Sudah pasti aku, Syta dan Rayya. Tak pernah berubah meskipun bumi berubah menjadi kotak. Tak ada yang menginginkan posisi tersebut dan wali kelas kami pun, Pak Asep selalu dengan santainya meminta kami bertiga yang menjadi petugas pengibaran bendera hanya karena kami adalah anggota paskibra.
Di sela keribetan kami mempersiapkan bendera dan segala macam persiapan untuk upacara, Vano tiba-tiba menghampiriku dengan senyum andalannya. Untuk sesaat aku sempat terspesona sebelum pada akhirnya mataku memicing curiga. Cowok ini kalau medekatiku dengan penuh senyuman seperti ini pasti sedang ada maunya. Dan benar saja, cowok itu mengulurkan tangannya yang memegang dasi abu-abu sambil menunjuk kerah lehernya.
"Pasangin dasi dong, Mi!" pintanya dengan wajah semanis mungkin.
Aku menghela napas pelan sambil menggerutu, "Masa laki-laki nggak bisa pakai dasi sendiri?" Vano hanya nyengir sambil menaikkan kerah bajunya lalu mendekat ke arahku, sedangkan aku entah kenapa justru mau saja diminta memasangkan dasi untuknya dan menimbulkan kehebohan di dalam kelas.
"Acie-ciieee ... pagi-pagi romantis amat, nih. Kayak suami istri. Aseeek!" teriak Yuyu, si cowok ceking yang hobi ngelawak berteriak dengan girangnya meledek kondisiku dan Vano. Ini semua pasti gara-gara Risa yang tak bisa menjaga mulutnya. Sahabatku itu memang sulit menyimpan rahasia dari Yuyu, teman sepermainannya sejak kecil. Dan Yuyu pastinya sudah tahu apa yang terjadi padaku dan Vano.
Kontan saja teriakan riuh mulai berdatangan dari penjuru kelas ikut menghebohkan suasana, terlebih-lebih dari komplotannya Yuyu yang memang senang membuat kehebohan. Bukannya marah, Vano justru terlihat senyum-senyum sendiri sambil menatapku lekat-lekat. Sepertinya ada yang salah dengan otak cowok itu pagi ini. Benar-benar aneh!
Ternyata masalahnya bukan hanya ledekan komplotan Yuyu yang semakin heboh. Suasana heboh itu masih bisa aku abaikan, tetapi begitu aku menengok ke arah pintu kelas, aku menemukan Cyra sudah berdiri di sana hendak masuk ke dalam kelasku. Namun diurungkannya dan hanya berteriak kecil memanggil Syta dari depan pintu kelas. Entah apa yang dibicarakannya dengan Syta, tetapi begitu hendak pergi aku sempat melihat Cyra menatap ke arahku dan Vano bergantian. Tatapan mataku sempat berserobok dengan milik Cyra dan membuat perasaanku langsung berubah tak nyaman. Seperti akan ada badai yang datang setelah ini.
Benar saja dugaanku. Begitu jam pulang tiba, Fina yang biasa menyusul ke lantai satu tempat kelasku berada terlihat sedang asik menggoda Cyra.
"Cie-cie ... Cyra." Aku mendengar Fina masih saja terus menggoda Cyra sambil tekekeh pelan, sedangkan Cyra terlihat salah tingkah dan berusaha menyembunyikan perasaannya dengan bersikap biasa dan menganggap ucapan Fina hanya lelucon. "Mi, Cyra nih katanya lagi CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) sama Vano," lanjut Fina lagi.
Kata-kata Fina membuatku melongo menatap Cyra. Walaupun Cyra tak merespon, tetapi aku mendapatkan gelagat yang aneh dari gestur tubuhnya. Mataku seolah menangkap isyarat kalau apa yang diucapkan Fina barusan memang benar adanya. Seketika saja perasaanku berubah tak menentu. Seperti hilang arah dan terjun bebas ke dalam lautan dalam yang gelap. Satu kalimat yang efeknya sanggup memporak-porandakan seluruh perasaanku. Mendadak mood-ku hilang. Aku hanya bisa tersenyum tipis merespon perkataan Fina. Hingga tiba-tiba suara yang biasanya membuat perasaanku meletup-letup gembira kini justru seperti bilah pisau yang menikamku.
"Mi, gue punya puisi baru. Nanti lu baca, ya!" Vano tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan menyodorkan bindernya ke hadapanku. Aku terpaku. Mengulurkan tanganku dengan canggung untuk menerima binder yang disodorkan cowok itu di depan Cyra yang kini justru menatapku penuh selidik.
"Na, ke kantin yuk!" Cyra tiba-tiba bersuara dan langsung menarik tangan Fina menjauh dari ruang kelasku.
Aku yang tak ingin membuat suasana semakin kacau segera mengembalikan binder Vano pada pemiliknya dan melangkah cepat mengikuti Fina dan Cyra. Aku tak peduli apa yang akan dipikirkan Vano, tetapi aku justru sangat peduli dengan apa yang sedang Cyra pikirkan saat ini. Aku sendiri masih penasaran dengan pernyataan Fina tadi. Benarkah Cyra CLBK dengan Vano? Sejak kapan Cyra suka pada Vano? Apa hanya aku yang tidak tahu apa-apa tentang Cyra selama ini? Kupikir aku sudah cukup mengenal Cyra. Namun ternyata aku salah besar. Kedekatanku dengan Cyra mungkin hanya sebatas kesamaan hobi dan kesukaan kami saja, tetapi tidak saling menyelami pribadi masing-masing. Dan karena hal ini membuat perasaanku seakan semakin jauh darinya. Sikapnya yang sering tak tertebak membuatku sering salah menafsirkan maksudnya. Sahabat macam apa aku ini, yang tak tahu apapun tentang sahabatnya sendiri.
Selama di kantin, pandanganku tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik Cyra. Masih seperti biasa, tak tertebak. Hingga akhirnya aku memberanikan diri bertanya langsung padanya.
"Ra, lu beneran CLBK sana Vano?" tanyaku to the point. Cyra langsung menoleh dan menatapku heran.
"Apaan sih," elaknya cuek dan masih terus melanjutkan makannya.
"Serius nanya. Beneran nih, lagi CLBK sama Vano?" Emang dasar aku yang sering ceplas-ceplos dan tak bisa menahan mulutku untuk langsung bertanya, kini suasananya justru semakin aneh. Cyra terlihat terkekeh geli. "Lah, kok malah ketawa."
"Udah ah, jangan nanya itu mulu. Nanti gue beneran marah sama lu!" balasnya kemudian bangkit berdiri karena kegiatan makannya sudah selesai, meninggalkan aku yang hanya melongo kebingungan dengan segala macam pertanyaan tak terjawab berkecamuk di dalam kepalaku.
Dia bilang apa barusan? Apa selama ini dia pernah marah padaku? Karena apa? Segera saja kusudahi makanku dan berlari kecil mengejar Cyra dan Fina yang pergi lebih dulu. Kami berpisah di selasar karena keduanya kembali bergabung dengan teman-teman paskibra lainnya, sedangkan aku harus masuk ke kelas praktikum komputer.
"Heh, kenapa bengong mulu?" sapa Vano sambil menepuk pundakku pelan. Aku yang sedari tadi hanya melamun segera menoleh ke arahnya tanpa minat. "Itu tugasnya kok nggak dikerjain?" tanyanya lagi saat melihat layar komputerku masih kosong dari tabel-tabel yang harus kami buat.
"Oh."
"Kok cuma 'oh'? Lu lagi kenapa, Mi?" tanya Vano lagi. Aku hanya meliriknya malas saat dia menatapku penuh rasa heran.
"Lagi nggak mood aja," sahutku lesu kemudian mulai mengotak-atik papan ketik komputer untuk mengerjakan tugasku. "Eh, ini gimana caranya?" Aku bergumam bingung. Namun tampaknya Vano sempat mendengar celetukanku. Cowok itu tiba-tiba bangkit dari kursinya dan berdiri di belakangku. Mengambil alih tetikus dan papan ketikku. Posisi ini benar-benar membuatku serba salah. Bagaimana tidak, wajahnya saja hanya berjarak sejengkal dari puncak kepalaku. Sungguh membuat jantungku meronta-ronta dalam sekejap saja. Posisi yang benar-benar berbahaya untuk kesehatan jantung juga pikiranku.
"Cieee ... mesra amat yak. Kayak suami istri. Iya nggak, Mi?" Suara cempreng Yuyu terdengar lagi. Aku baru sadar kalau cowok itu awalnya duduk di sebelah Vano dan begitu Vano pindah berdiri ke belakangku, Yuyu dapat dengan jelas melihat interaksi kami.
"Asiiik bener dah kalo berdua-duaan begono. Cocok lu berdua jadi suami istri," lanjut Yuyu tak ada habisnya meledek kami, membuatku mendelik tajam ke arahnya sedangkan yang bersangkutan hanya terkekeh girang. Rasanya ingin kusumpal mulutnya dengan papan ketik. Gemas.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top