16. Di Mana Ada Yumi Di Situ Ada Vano
Sudah beberapa hari ini dan selama aku sibuk mengurus persiapan untuk lomba ketangkasan baris berbaris, Vano selalu terlihat di sekitarku. Seperti kata Risa, di mana ada aku di situ ada Vano. Aku sendiri tak mengerti apa maksudnya sampai Risa menjelaskan semuanya panjang lebar.
"Lu lemot banget sih, Mi. Dia selalu ada di deket lu tuh karena emang pengin deket sama lu," cerocos Risa dengan nada berapi-api seakan mau perang. Penuh semangat.
"Pengin deket sama gue? Masa sih?" Aku berpikir sejenak mencerna semua ucapan Risa barusan. "Ah, nggak mungkin banget," elakku tak acuh, walaupun sebenarnya aku hanya ingin menyangkal semua yang sedang terjadi saja.
"Tau ah, lu mah gitu sih kalo di kasih tau."
Dan teori Risa mungkin ada benarnya juga. Ketika aku makan di kantin bersama Risa dan Danty, Vano yang baru saja memesan makanannya memilih duduk di sampingku. Seperti biasa, senyum ramah selalu terukir di wajahnya yang seperti blasteran.
"Lombanya hari apa sih, Mi?" tanya Vano di sela makannya.
"Sabtu besok," jawabku singkat.
"Jam berapa?" tanyanya lagi.
"Nggak tau, liat undian nomornya besok. Kalo gue sih pasti dari pagi stand by di sekolah."
"Oh, baru diundinya besok?"
"Hum. Semoga aja dapet bagian tengah-tengah jangan terlalu pagi supaya persiapannya bisa lebih mateng."
"Ekheeem ... Dan, kayaknya kita dianggurin nih. Berasa dunia milik mereka berdua aja, yang lain ngontrak!" celetuk Risa yang sedari tadi hanya sebagai pengamat dan pendengar.
"Iya, nih. Kita kabur aja, yuk! Jangan gangguin mereka berdua. Nanti malah ngiler kalo lama-lama ada di sini," sahut Danty menyetujui celetukan Risa.
Aku langsung menoleh ke arah keduanya sambil mendelik keki dan begitu aku memalingkan wajah ke arah Vano, cowok itu hanya tersenyum simpul. Tak merasa terganggu dengan candaan kedua sahabatku yang senang menggoda kedekatan kami. Vano terlihat tenang seperti biasanya sedangkan aku hanya bisa menghela napas pelan sambil berpura-pura tak mengerti semua perkataan kedua sahabatku itu dan terus melanjutkan makan hingga selesai. Walaupun sebenarnya hanya ingin menyembunyikan wajahku yang mungkin merona malu.
Teori Risa 'di mana ada aku di situ ada Vano' ternyata berlanjut hingga beberapa hari berikutnya. Bahkan Sabtu pagi saat aku datang lebih awal untuk menyiapkan segala keperluan pasukan yang akan berlomba, Vano datang tak lama setelah aku datang. Anggota yang lain mungkin tidak keberatan dengan keberadaan Vano sepagi itu. Namun sepertinya tidak bagi Cyra. Aku sempat melihat Cyra menatap heran sosok Vano, tetapi dalam sekejap saja raut wajahnya berubah kembali seperti biasanya, selalu ceria. Kali ini aku tak mau ambil pusing. Aku mau fokus menyelesaikan pekerjaanku untuk membantu anggota pasukan mempersiapkan diri mereka, mengingatkan mereka perlengkapan apa saja yang harus dipakai termasuk menyemir sepatu mereka sampai mengkilat dan terlihat seperti baru.
"Aduh, Mi ... kok gue jadi deg-degan gini, sih." Cyra yang berdiri di sebelahku meremas lenganku saat melihat pasukan yang sudah siap berbaris rapi di lapangan dan akan berangkat menuju Balai Kota. Tak terlihat tanda-tanda dia mengabaikanku seperti sebelumnya dan aku sungguh merasa lega melihatnya seperti ini.
"Sama. Gue juga. Semoga mereka bisa pertahanin peringkat kita, ya." Aku menanggapinya senatural mungkin. Cukup senang juga Cyra mau berbicara banyak lagi padaku.
"Hum ... semoga mereka bisa lebih sukses dari kita. Aamiin." Cyra terlihat berdoa dengan khusyuk.
"Aamiin. Kita doain aja supaya mereka berhasil." Aku meng-amin-kan harapan Cyra.
Hingga tiba di Balai Kota, ketegangan yang melingkupi kami tak berkurang sedikit pun tetapi justru semakin bertambah melihat banyaknya penonton yang sudah berkerumun di lapangan utama. Semua murid dari SMP hingga SMA berkumpul untuk memberikan semangat pada utusan sekolahnya masing-masing. Aku dan semua senior berpencar mengelilingi lapangan utama, mencari posisi yang pas untuk menonton penampilan pasukan sekolah kami.
Pertunjukan ketangkasan baris berbaris ini meliputi gerakan dasar di tempat, berpindah tempat, variasi hingga bentuk formasi dengan waktu yang dibatasi maksimal sepuluh menit. Begitu pasukan menyelesaikan formasinya kemudian berbaris rapi kembali di hadapan juri utama untuk menyampaikan hormat terakhir sebelum keluar lapangan tanda selesainya penampilan pasukan kami, aku dan teman-temanku segera berlari ke titik keluar di sisi timur lapangan untuk memberikan apresiasi pada mereka yang sudah berjuang dan bekerja keras demi mengikuti lomba ini. Apapun hasilnya, mereka sudah melakukan yang terbaik.
Ada jeda panjang sebelum acara pengumuman pemenang nanti malam. Selama waktu bebas ini, kami memilih berpencar menikmati acara di Balai Kota. Sebagian senior masih asik menonton jalannya perlombaan untuk melihat perbandingan penampilan dari sekolah lain, sedangkan aku memilih jalan berkeliling mengamati keadaan sekitar lapangan utama. Dan entah kenapa aku justru terdampar bersama Vano. Aku yang sering tersesat justru tak dapat menemukan teman-temanku yang lainnya. Kemungkinan mereka bertemu teman-teman mereka dari sekolah lain.
Entah ini sebuah keberuntungan atau justru malah jadi malapetaka. Aku bahkan tak punya pilihan lain selain jalan bersama Vano. Sedikit canggung jika hanya berdua saja. Untung saja sesekali aku pun bertemu teman semasa SMP. Setidaknya aku tak harus selalu terpaku pada Vano yang kini terlihat lebih kalem.
"Mi, kita lihat ke sebelah sana yuk!" ajaknya saat kami mengelilingi lapangan utama yang sudah penuh sesak karena penonton sedang asik melihat penampilan pasukan dari sekolah favorit yang menjadi juara berturut-turut.
"Boleh, tapi kita cari makan dulu yuk. Laper nih!" sahutku sambil mengusap perut yang sudah beberapa kali meronta minta diisi.
Vano mengangguk tanda setuju lalu kami berjalan beriringan menuju gerbang Balai Kota di mana sudah banyak penjaja makanan berbaris di tepi trotoar. Namun di tengah jalan kami berpapasan dengan seseorang yang kukenal. Awalnya kupikir cowok itu tak mengenalku, tetapi ternyata justru dia yang lebih dulu menyapaku.
"Loh Mi, lu ada di sini juga?" tanyanya sedikit terkejut bertemu denganku di tempat ini.
"Eh, Pram!" seruku riang balas menyapanya. "Iyalah. Kan aku juga masih termasuk anggota paskibra." Kali ini mataku tak lepas memandangnya, cowok ini masih sama seperti terakhir kali bertemu yaitu saat latihan gabungan ketika aku menjadi salah satu anggota dalam pasukan yang ikut berlomba tahun lalu. Masih tetap ganteng dan stylish. Tidak heran aku bisa menjadi pengagum rahasianya selama waktuku bersekolah di SMP.
"Eh, tadi ada Aldri juga loh! Lu ketemu dia nggak?"
"Iya, sempet nyapa bentar doang."
"Yaudah deh, kalo gitu gue duluan ya, Mi. Pasukan gue baru selesai tampil tuh!" katanya sambil menunjuk arah belakang kami di dekat mesjid, tempat pasukan sekolah Prama berkumpul. Aku pun tersenyum sambil melambaikan tangan dengan mata tak lepas mengawasi kepergian Prama.
"Awas tuh mata copot!" tegur Vano yang sejak tadi hanya diam mengawasi interaksiku dengan Prama.
"Nggak apa-apa selagi bisa liat cowok cakep," sahutku masih dengan tatapan mata tak lepas memandangi punggung Prama yang semakin menjauh.
"Masih cakepan gue kali!"
"Hah?! Lu ngomong apa barusan?" Entah aku yang salah dengar atau memang nada suara Vano terdengar sedikit ketus. Ada apa gerangan dengan cowok di sebelahku ini ya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top