14. Semangkok Bubur dan Bintang

Menjelang malam, acara pelantikan calon paskibra mulai memasuki puncak acara. Beberapa materi kepemimpinan sudah diberikan oleh para pelatih dan senior. Usai pemberian materi terakhir, para calon paskibra tersebut kami ajak masuk ke dalam satu ruang kelas yang seluruh lampunya dipadamkan. Hanya ada lampu senter yang redup di tengah ruangan. Kali ini materi yang akan diajarkan adalah kekompakan dan rasa saling percaya antar anggota agar lebih solid sebagai satu kesatuan pasukan. Materi kekompakan ini dibuat seperti permainan ketangkasan. Para anggota saling bergandengan tangan dan menyelesaikan satu rangkaian kalimat dan menebak pertanyaan yang akan diberikan kakak senior.

Namun aku tidak bisa menikmati acara dengan nyaman, pasalnya perutku tak bisa diajak kompromi. Rasa melilit yang meremas perutku membuatku berdiri nyaris membungkuk untuk menahan rasa sakitnya. Aku melipir ke pinggir tembok dekat pintu kelas untuk bersandar sambil memegangi perutku yang masih nyeri. Sepertinya penyakit maag-ku mumat lagi, mengingat terakhir kali aku makan adalah tadi pagi. Begitu nyerinya mereda aku sedikit memaksakan diri kembali bergabung bersama yang lainnya di tengah ruangan. Akan tetapi yang ada justru aku menabrak teman yang berdiri di hadapanku karenya jalanku yang sempoyongan.

"Eh, Mi, kenapa lu?" tanya Stevia yang sempat kutabrak sebelumnya. Stevia bahkan merangkulku agar tidak limbung, padahal tinggi tubuhnya hanya setelingaku.

"Maag gue kambuh," sahutku singkat.

"Ya udah, mending lu istirahat dulu sana! Makan dulu, apa aja yang penting keisi perutnya!" Terdengar nada khawatir dari setiap kalimat yang diucapkan Stevia.

"Nggak usah deh, Stev. Bentar lagi juga palingan sembuh."

"Ih, ini anak ngeyel banget, ya! Udah sana makan dulu!" Stevia menggiringku ke pinggir ruangan, lebih tepatnya ke dekat pintu kelas untuk mengajakku keluar ruangan. Baru saja Stevia hendak membuka pintu, tetapi dengan cepat kutahan tangannya.

"Nanti aja deh, Stev. Nunggu ini beres dulu, nggak enak kalo gue buka pintu sekarang acaranya jadi nggak seru. Ntar si Fahri ngomel-ngomel lagi."

"Hhh ... terserah lu aja deh. Tapi kalo nggak kuat duduk aja di pinggir ya, Mi!"

"Oke."

"Yaudah, gue balik ke sana lagi, ya!" Stevia pun kembali ke posisinya semula dan membantu jalannya permainan yang sedang berlangsung. Sedangkan aku memilih duduk sebentar di dekat pintu sampai sakit perutku mereda.

Begitu sakitnya sedikit berkurang, aku kembali memaksakan diri berjalan ke tengah ruangan. Dan kali ini pun aku masih saja menabrak seseorang karena berjalan tak tegap.

"Ups, sori ... sori!" ucapku cepat. Sudah tak tahu lagi siapa yang telah kutabrak. Siluetnya tak dapat kukenali dengan jelas.

"Yumi? Kenapa lu? Kok jalannya nabrak-nabrak gitu?" Suara itu lagi. Suara yang mampu menjungkir balikkan perasaanku. Siapa lagi kalau bukan Vano.

"Nggak kenapa-kenapa sih. Cuma sakit perut sedikit. Maag gue kumat."

"Lu belum makan malam, ya?"

"Belum. Tadi lupa."

"Yaudah, kita makan aja dulu, yuk! Gue juga belum makan, nih. Laper." Tanpa menunggu persetujuanku, Vano langsung menarik tanganku dan secepat kilat mengajakku keluar ruangan.

"Eh, Van ... acaranya kan belum selesai. Lagian gue lagi nggak pengin makan sekarang," potesku.

"Nggak mau makan gimana? Udah sakit gitu masih aja nggak mau makan. Udah yuk, ah kita cari makan!"

"Eh, tapi kalo lagi kumat sakitnya gini, gue emang nggak bisa langsung makan nasi. Bikin mual."

"Yang penting isi perut dulu. Terserah lu mau makan apa aja yang penting makan sedikit." Aku menatapnya tercenung. Baru kali ini mendengar Vano berbicara secerewet ini. Dia terlihat benar-benar berbeda dari biasanya. Ini hanya sekadar perasaanku saja atau memang kenyataannya Vano tengah memberikan perhatian padaku? Ah, aku jadi takut berharap.

"Oh, ya. Tadi kalian masak bubur kacang ijo, kan? Udah makan itu aja dulu. Gue juga minta ya, laper nih!" Vano kembali menarikku menuju dapur darurat yang kami buat di pinggir lapangan.

Aku mengambil dua mangkok kecil bubur kacang ijo dan duduk di tepi lapangan sambil menikmati makanan kami. Selesai makan, kami masih menikmati pemandangan langit malam yang sedang dipenuhi taburan bintang. Aku bahkan mendongakkan kepalaku menatap bintang yang bersinar di atasku. Iseng menghitung bintang yang memiliki cahaya paling terang sambil mengkhayalkan adegan yang ada dalam komik-komik yang kubaca.

"Wuah ... bintangnya cantik banget!" seruku riang sambil menunjuk sebuah bintang yang berkerlip paling terang. Mataku tak lepas memandang langit lepas di atasku. Semilir angin malam yang sejuk menyapu helaian rambutku yang jatuh terurai melewati punggung.

"Lu suka bintang, ya?" Aku menoleh menatap Vano kemudian mengangguk mantap sambil tersenyum.

"Iya, gue suka banget."

"Lu mirip banget sama seseorang yang gue kenal." 

"Maksud lu apa?" Aku menatapnya heran sekaligus penasaran.

"Ada seseorang yang gue kenal banget suka sama bintang, kayak lu." Otakku kembali bekerja cepat, mencoba menebak siapa yang orang yang dimaksud Vano. Nihil. Aku tak punya jawabannya.

"Oh, pasti cewek ya? Hayo ... siapa tuh?" Aku berusaha mencairkan suasana yang mendadak canggung.

"Ah, udahlah. Nggak usah dibahas lagi."

"Loh, kok jadi diem, sih? Kenapa lu?"

"Nggak apa-apa. Gue cuma lagi keinget seseorang aja."

"Oh ya, katanya kalau kita memohonkan sesuatu pada bintang yang paling terang, keinginan kita bisa terkabul, loh!

"Hush! Kalo mau keinginannya terkabul, mendingan berdoa sama Tuhan aja."

"Iya ... iya, gue juga tau. Itu kan mitos yang sering dijadiin quote."

"Makanya jangan kebanyakan baca komik!"

"Yeee ... suka-suka dong!" jawabku cuek.

"HEI KALIAN BERDUA!" Suara nyaring Stevia mengagetkan kami berdua. Secara bersamaan kami menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakang kami. "Dicariin ke mana-mana taunya ada di sini. Tuh, si Fahri nyuruh kita kumpul buat nyusun acara jurit malam," lanjut Stevia panjang lebar tanpa jeda.

"Sabar, Bu! Nggak usah pake teriak juga kali. Bikin jantungan aja!" gerutuku sewot.

"Kenapa emangnya? Emang lu lagi ngapain sama si Vano di sini?"

"Makan."

"Udah deh, nggak usah pada ribut! Buruan ke aula. Ntar si Fahri ngomel-ngomel kayak emak-emak komplek," kata Cyra menengahi. Aku juga baru sadar ada Cyra di sana. Sepertinya datang bersama Stevia tadi. Namun, entah mengapa raut wajah Cyra tak terlihat ramah seperti biasanya. Nada suaranya pun sedikit ketus dan aku merasa semua perkatannya tertuju padaku. Apakah aku melakukan sesuatu yang tak disukainya?

Memang akhir-akhir ini sikap Cyra tak seramah biasanya padaku. Biasanya dia akan menyapaku dengan penuh senyuman ceria, terlebih kalau ada jadwal terbit komik favorit kami. Namun yang kulihat akhir-akhir ini adalah kebalikannya. Entah mengapa aku merasa dia tak menghiraukanku. Ketika berdekatan rasanya malah canggung. Apa ini ada hubungannya dengan yang tempo hari kulihat, saat aku dan Vano berkejaran di lapangan bercanda dengan krim kue? Apa ada hubungannya dengan Vano? Masa sih? yang sering kulihat dia dekat sekali dengan Kak Rifky, anggota paskibra satu tingkat di atas angkatan kami. Kupikir Cyra akrab dengan Kak Rifky karena dia menyukainya, tetapi sepertinya dugaanku salah. Dan kemarin aku memang sempat mendengar selentingan kabar kalau Vano merupakan cinta pertama Cyra. Apakah sebenarnya sampai sekarang Cyra masih menyukainya? Apakah karena ini juga dia bersikap tak acuh padaku? Apakah dia tak menyukai kedekatanku dengan Vano? Aaargh ... aku jadi dilema sendiri. Terlalu banyak spekulasi yang bermunculan di kepalaku dan tak tahu pasti mana yang benar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top