13. Tisu dan Senyuman Menggoda
Hari pelantikan calon anggota paskibra pun tiba. Begitu bel pulang berbunyi, aku langsung melesat meninggalkan kelas dan berkumpul dengan seluruh panitia pelantikan di depan aula sekolah. Buku catatan tak lepas dari tanganku sambil sesekali memeriksa perlengkapan yang sedang dikumpulkan adik kelas yang akan mengikuti acara pelantikan. Tak hanya itu saja tugasku, aku bahkan ikut menemani Mona memeriksa setiap kelompok calon anggota paskibra yang kini tengah berbaris rapi di tengah lapangan. Di depan aula masih ada Cyra dan Silvia yang sedang merapikan perlengkapan dan kebutuhan konsumsi yang nantinya akan dibawa ke ruang OSIS.
Kalau bisa dilihat dari atas, mungkin aku akan terlihat seperti gasing yang berputar tanpa henti. Usai menyelesaikan tugas yang satu, aku masih harus membantu tugas panitia lainnya juga. Untung saja gerakanku cukup cekatan hingga bisa diandalkan oleh semua teman-temanku untuk membantu pekerjaan mereka. Dan saat ini tugasku adalah mengelompokkan setiap perlengkapan sesuai nomor kelompoknya dibantu oleh Vano yang memang diminta Fahri untuk membantu panitia pelantikan. Beberapa anggota OSIS juga akan ikut membantu, hanya saja mereka baru akan datang nanti sore.
Ketika hari mulai siang, matahari terasa menyengat di kulit. Sinarnya lumayan terik untuk cuaca bulan Oktober. Aku mengangkat tangan dan meletakkannya di pelipis. Berusaha menghalau sinar matahari yang menyilaukan mata ketika berjalan beriringan dengan Vano menuju lapangan depan. Di sana Fahri sudah menunggu kami sambil memeriksa perlengkapan untuk permainan kebersamaan tim. Cinta juga ada. Berdiri di samping Fahri dengan setia. Sesekali gadis itu melempar senyum pada cowok pujaannya. Sikap sepasang insan itu bahkan nyaris membuat pipiku kembali menghangat. Malu tapi sedikit iri. Terlebih ketika Fahri memberikan topinya pada Cinta yang terlihat kewalahan dengan sengatan sinar matahari yang menerpa wajah manisnya. Ah, aku seperti sedang menonton drama idola remaja saja.
Vano berdehem pelan untuk mengalihkan fokus Fahri pada kedatangan kami. Dan tentu saja berhasil. Fahri segera menghampiri kami, menyerahkan berkas susunan acara yang sudah diberi tanda sebelumnya. Ada beberapa catatan juga di sana.
"Untuk materi, kita pakai ruang kelas kalian. Kalo untuk tidur, kita pakai ruang kelas tiga. Sebelum jam tiga, ruangan-ruangan itu harus udah selesai kita rapiin!" jelas Fahri.
"Oke. Kalo gitu harus kita kerjain mulai dari sekarang, dong!" sahut Vano.
"Betul! Nah, ayo bantuin gue!" ujar Fahri yang kini berjalan memimpin kembali ke dalam bangunan sekolah.
Fahri dan Cinta berjalan berdampingan di depan kami menyusuri selasar menuju ruangan kelas tiga. Berbelok ke kiri dan masuk ke ruangan kelas 3IPA2. begitu masuk kelas, Fahri dan Vano dengan cekatan menggeser meja dan kursi yang ada dan menyusunnya di tepi ruang kelas. Aku dan Cinta ikut membantu sedikit dengan menyapu lantai, membersihkan papan tulis, dan meja guru. Kursi terakhir di letakkan Fahri menumpuk di atas salah satu meja di dekat jendela. Cowok itu menepuk kedua telapak tangan untuk menghilangkan debu yang menempel sambil memandang hasil pekerjaannya. Beberapa peluh mengalir melewati pelipisnya. Hal itu membuat Cinta dengan sigap menyeka bulir keringat yang membasahi pipi cowoknya dengan saputangan yang selalu ia bawa. Jelas saja pemandangan ini membuatku dan Vano yang berada di belakang pasangan itu tanpa sengaja saling berpandangan demi menghindari keromantisan yang nyaris membuat kami iri.
Dan ternyata momen ini sengaja dimanfaatkan Vano untuk menggodaku. Cowok itu menatapku dengan tatapan genit dan senyuman yang menggoda. Siapa yang bisa tahan melihat senyuman cowok secakep Vano. Jantungku yang sudah kebat-kebit sedari tadi kini makin menggila di dalam rongganya. Rasanya ada kembang api meletup-letup yang ingin terbang keluar. Ekspresi wajah cowok keren di hadapanku ini memang sulit ditolak. Suatu hal langka bisa melihat Vano dengan tatapan genit nan menggoda seperti ini. Tidak seperti biasanya yang terlihat ramah bagaikan murid teladan yang kalem dan sempurna.
"Gue juga mau dong, Mi!" Vano tak berhenti menatapku dengan senyuman menggodanya yang khas. Rasanya ingin kuformalin saja senyumnya itu untukku seorang. Tak rela berbagi dengan para penggemarnya yang lain.
"Mau apa?" tanyaku sedikit gagal paham dengan maksud perkataan Vano yang tiba-tiba itu.
"Kayak gitu!" sahut Vano lagi dengan suara lembut sambil menujuk interaksi yang sedang dilakukan Cinta pada Fahri di depan mereka. Omaigat!
Aku mengangkat pandanganku dan melihat hal yang dimaksud Vano. Hal ini nyaris membuatku mendelik sekaligus menganga heran. Dan perasaan menggelitik itu kembali hadir di dalam dadaku. Senyuman Vano dan tatapan matanya yang seakan menantikan hal yang seperti dilakukan Cinta pada Fahri membuatku semakin salah tingkah. Bolehkah aku berharap kalau Vano memiliki maksud lain terhadapku? Inginku melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Cinta, tetapi aku terlalu malu untuk melakukan hal itu. Aku masih senang menyimpan perasaanku sendiri agar tak terlihat olehnya.
"Ah ... itu ...." Hingga akhirnya dengan gugup aku merogoh saku di samping rok abu-abuku dan mengeluarkan sebungkus tisu. Lalu mengambil selembar tisu dan memberikannya pada Vano. "Nih!" Aku mengulurkan tisu itu pada Vano dan entah kenapa aku sempat menangkap senyum keki di wajahnya yang merasa tak puas.
Bukan Vano namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Cowok itu menunduk menyejajarkan pandangannya. Ia menatap tepat ke manik mataku yang jelas tak bisa menutupi rasa gugup dan salah tingkahku. Vano tersenyum penuh arti dan membuat debaran jantungku semakin tak karuan.
"Lu nggak mau bantuin ngelapin kayak gitu? Biar romantis gitu!" ucap Vano dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. Suaranya mampu membuat desiran halus merambat kesekujur tubuhku. Belum lagi senyuman memikatnya yang sungguh sulit kutolak dan membuatku semakin salah fokus. Seketika saja wajahku terasa panas seolah semua aliran darah berpusat di pipiku. Aku berdehem pelan sambil berusaha bersikap sebiasa mungkin. Memandang ke sembarang arah asal bukan wajah Vano dan berusaha menghindari tatapannya yang menjerat.
"Lu lap aja sendiri!" Aku menyerahkan semua tisu yang kupegang ke tangan Vano dan berjalan cepat keluar dari ruang kelas 3IPA2 meninggalkan cowok itu begitu saja. MALU.
Aku menyusuri selasar dengan tergesa dan kembali ke dalam kelas. Berusaha menyembunyikan wajahku yang memanas ke dalam lipatan ke dua tangan di atas meja. Sejenak aku menghela napas pelan untuk sekadar menormalkan kembali detak jantungku yang seakan sedang berperang dengan logika. Entah kenapa akhir-akhir ini Vano jauh lebih blak-blakan dari sebelumnya. Sikap cowok itu benar-benar merusak kesehatan jantungku.
"Heh, ngapain lu Non?" tegur Risa yang datang untuk mengambil tasnya.
"Hah? Nggak kok!"
"Serius? Lu nggak lagi demam, kan? Muka lu merah gitu!" sahut Risa lagi.
Aku nyaris menjawab ucapan Risa tetapi kuurungkan karena tatapanku tanpa sengaja bertemu pandang dengan tatapan Vano yang baru saja masuk kelas. Aku memilih langsung menelan bulat-bulat kalimat yang akan kuucapkan dan kembali mengalihkan pandanganku darinya. Namun Vano masih tak menyerah, aku melihat cowok itu tersenyum dan melangkah santai seolah tak terjadi apa-apa. Sekalipun aku berusaha mengelak apa yang logikaku simpulkan, tetapi aku tahu pasti kalau senyuman menggoda itu jelas ditujukan padaku. Karena di dalam kelas tak ada orang lain lagi.
Selama sisa waktu untuk persiapan pelantikan, sebisa mungkin aku menghindari tatapan Vano atau menjauh dari keberadaannya. Sekalinya tanpa sengaja menatap Vano, cowok itu masih memberiku senyuman yang sama dengan terakhir kali ketika aku meninggalkannya di kelas. Dan itu sungguh membuatku semakin salah tingkah.
Begitu tugas untuk memeriksa semua kebutuhan pelantikan selesai, Aku segera melesat secepat kilat meninggalkan ruang kelas dan pulang ke rumah. Masih ada sisa waktu untuk mengambil pakaian ganti dan beberapa barang yang dibutuhkan untuk menginap di sekolah. Setidaknya hal itu bisa memberiku waktu untuk mempersiapkan jantungku kalau harus menghadapi keadaan yang lebih dari ini. Lagipula kesehatan jantungku bisa terancam bahaya bila terus berada di dekat Vano.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk merapikan semua hal yang dibutuhkan dan kembali ke sekolah. Aku datang dengan seragam paskibra, berjalan menyusuri selasar dan langsung menuju aula sekolah untuk berkumpul dengan para senior beserta seluruh teman paskibraku. Dan ternyata Vano sudah tiba di sana lebih dulu. Terlihat tengah berbincang dengan beberapa senior. Namun begitu melihat kedatanganku, cowok itu menyambutku dengan sebuah senyuman yang membuatku tak bisa lagi menghindar. Doble kill lagi. Sepertinya aku akan menyerah dengan mudah.
***
Bogor, 10 Agustus 2019
22.28
Nah kan, Vano mulai nakal, ya! Kasian tuh Yumi jadi salting melulu. 😎😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top