12. Pementasan Teater
Begitu bel pulang berbunyi, aku, Rina, Danty dan Hera segera melesat menuju aula sekolah di mana anak ekskul teater berkumpul. Hari ini adalah latihan gladi bersih untuk pementasan yang akan di adakan oleh Universitas Pancawarna. Pak Maulana juga ikut memantau latihan terakhir kami. Semua anggota teater bergerak seirama musik pembuka yang tengah di putar. Kemudian masuk satu persatu untuk memainkan peran sesuai bagian masing-masing. Saling berdialog dan berakting sesuai karakter yang tertera pada naskah.
Teater sendiri lebih banyak mengangkat adegan teaterikal yang direalisasikan melalui banyak gerakan tubuh dan mimik wajah. Bukan hanya sekedar drama biasa dengan dialog antar pemain. Teater lebih sering mengangkat isu yang beredar di masyarakat kemudian diberi pandangan yang sesuai. Selalu ada petuah dan nasihat yang berguna juga di dalamnya.
Dialog penutup serta beberapa petuah terdengar dinarasikan oleh Niar Kartikadewi. Begitu Niar selesai dan memberi hormat penutup semua anggota teater pun bertepuk tangan. Sejauh ini latihan penampilan kami sudah cukup baik. Akan tetapi memang ada beberapa yang butuh diperbaiki sedikit. Pak Maulana pun memberikan waktu untuk kami beristirahat sejenak. Beberapa anggota cowok terlihat sedang berdiskusi dengan Pak Maulana tentang aransemen musik latar yang akan mereka gunakan. Sedangkan aku, Risa, Hera dan Ovie duduk di depan pintu aula sambil menghapal dialog kami masing-masing.
"Eh, Mi! Mau ada acara, ya?" tanya Vano yang kebetulan melintas di depan aula.
"Iya. Besok di Universitas Pancawarna jam tiga sore. Nonton kita mentas, ya!" jawabku sambil tersenyum.
"Iya, jangan lupa nonton lu!" sahut Ovie menimpali.
"Iya kalo gue ada waktu, ya. Soalnya lagi banyak kerjaan, nih!" kata Vano sambil mengacungkan setumpuk berkas di tangannya.
Hingga tiba hari pementasan, begitu bel pulang sekolah berbunyi seluruh anggota Teater Langit berkumpul di aula sekolah untuk memeriksa semua kelengkapan pentas yang akan mereka bawa. Begitu juga denganku. Aku mulai memeriksa segala perlengkapan yang kubutuhkan untuk pementasan dan melipat pakaian yang nanti akan kugunakan. Kemudian memasukkannya ke dalam tas bersama beberapa aksesoris yang diperlukan.
Pukul dua siang kami pun tiba di Universitas Pancawarna. Panitia acara mempersilakan kami untuk bersiap di sebuah ruangan kecil di samping panggung. Dengan gesit kami segera berganti pakaian dan merias diri sesuai peran yang akan dimainkan. Untuk yang telah siap dengan kostum dan riasannya berkumpul di belakang panggung. Kami duduk melingkar pada satu tempat sambil kembali menghapal dialog agar lebih percaya diri lagi. Selagi yang lain menghapal dialog, aku hanya menatap kaca besar di depanku dengan gugup. Sedikit tak percaya diri.
Meskipun peranku bukan peran besar, tetapi tetap saja setiap lakonku mempengaruhi keseluruhan jalan ceritanya. Aku duduk bersandar pada tembok di dekat teman satu timku berkumpul, mencoba menenangkan diri dan berusaha berkonsentrasi pada peran yang akan kumainkan. Aku kembali membolak-balik naskah dengan sedikit gelisah. Sesekali meremas naskah yang kupegang demi meredakan kegugupanku. Telapak tanganku mulai berkeringat dingin. Benar-benar gugup karena ini penampilan pertama kami di depan banyak orang yang tak kami kenal.
"Semoga sukses buat kalian." Suara Vano yang baru saja datang membuatku dengan cepat mendongakkan kepala ke arah asal suara. Sedikit tak percaya dengan telingaku sendiri hingga aku bisa melihat dengan jelas sosok Vano yang kini berdiri di depan seluruh anggota Teater Langit sambil tersenyum.
"Sip! Makasih banyak ya, Van." Aku melihat Danty tersenyum sambil mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara.
"Hei, Mi! Kenapa bengong gitu?" tanya Vano saat melihatku tak berkedip sambil melongo heran.
"Eh ... hai juga!" sahutku salah tingkah.
"Ayo, Kremi! Kita udah dipanggil, tuh!" ajak Danty sambil menepuk pundakku.
"Eh ... iya. Oke!" Aku pun bangkit berdiri. "Gue ke sana dulu, ya!" pamitku pada Vano.
Vano menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kemudian kembali ke depan panggung menuju barisan penonton untuk ikut melihat pertunjukan kami.
Aku sempat melirik ke arah barisan bangku penonton, sebagian penonton ikut terhanyut dalam cerita yang kami mainkan dan memberikan tepukan yang meriah untuk kami. Aku juga melihat teman-temanku tersenyum puas saat memberikan penghormatan terakhir kepada penonton sebelum turun panggung.
Begitu kembali ke belakang panggung, aku melihat Vano sudah menunggu dengan senyum ramahnya yang menawan. Sesekali ia saling bertegur sapa dengan beberapa anggota cowok. Hingga tanpa aku sadari, cowok itu sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum penuh misteri. Aku menatapnya heran dan membalas tersenyum dengan sedikit kikuk.
"Penampilan kalian keren juga." Vano berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Akting lu juga oke!" puji Vano tulus.
"Makasih. Makasih juga udah mau nonton kita di sini!" balasku tak kalah tulus.
"Ehm ... ehm .... Cie, kayaknya ada yang lagi PDKT nih, Dan!" celetuk Risa pada Danty saat mereka berdua lewat di depan kami.
Aku mendelik jengkel pada Risa dan Danty, tetapi mereka hanya terkekeh pelan saat melihatku semakin salah tingkah. Aku melirik sekilas ke arah Vano, ingin tahu apa reaksinya. Dan ternyata reaksi Vano justru sebaliknya. Vano malah tersenyum santai sambil menatapku dan membuatku semakin tersipu malu. Double kill. Susah memang menghadapi pesona cowok ganteng.
"Kenapa, Ris? Sirik aja lu!" ucap Vano tenang sambil tersenyum melirik ke arah Risa dan aku bergantian. Jangan tanya bagaimana kondisiku sekarang. Aku nyaris menganga menatap cowok itu setengah tak percaya dengan debaran jantung yang nyaris membuat dadaku meledak.
Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu berkelepak di dalam perutku. Hawa panas mulai menjalar ke seluruh wajahku. Aku semakin salah tingkah tetapi juga penasaran apakah Vano sungguh-sungguh mengatakannya atau sekadar ingin membuatku kegeeran saja. Belum lagi sikap tenang Vano dan senyumannya yang misterius, membuatku jadi gregetan sendiri. Pada akhirnya aku justru memilih berpura-pura tak mendengar atau tak mengerti maksud perkataan mereka. Namun yang pasti, seulas senyum simpul terukir di bibir tipisku. Bolehkan hatiku sedikit berbunga-bunga hari ini?
"Iya, nih! Tau aja kalo gue sirik. Abis nggak ada yang lagi deketin gue, sih!" sahut Risa dengan nada yang didramatisir sambil melirik ke arahku penuh arti.
Aku hanya mendesah pelan sambil mendelik jengkel pada Risa yang terkadang kelepasan blak-blakan saat Vano ada di dekatku. Sahabatku satu itu memang selalu membuatku harus berusaha menahan malu dan menyembunyikan perasaanku, terlebih saat mak comblang satu itu sudah mulai beraksi. Walaupun terkadang debaran jantungku sering mengkhianati apa yang ada dipikiranku, berdebar lebih kencang dari dentum genderang perang. Seolah ingin menyampaikan maksud hati dan perasaan tuannya. Apakah isi hatiku bisa kupercayai? Entahlah, aku pun masih ragu.
* * *
Bogor, 4 Juli 2019
00.56
Yumi lagi kegeeran tuh. Kayaknya usaha mak comblang Risa dan Danty masih bakal berlanjut.
Tungguin terus kisah mereka, ya.
Gumawo ... ketjup sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top