11. First Love
Suasana sekolah sudah mulai terlihat sepi. Hanya segelintir siswa yang masih ada di sekolah untuk beberapa keperluan atau ekskul. Termasuk aku yang masih duduk berkumpul di depan aula bersama Risa, Danty dan Ira untuk merayakan ulang tahun Rita Triasdinta. Dan kini Rita sedang membagikan potongan kuenya pada kami. Kue yang katanya spesial dibawakan oleh Igra, cowok berwajah manis yang jago main biola. Tipe cowok romantis yang nyaris sering menggombal dengan misi mendekati Rita untuk mendapatkan hati sahabatku itu.
"Hei, Van! Sini ikutan!" ajak Risa saat melihat Vano melintas di depan aula.
Aku ikut menoleh ke arah yang dilihat Risa. Vano baru saja keluar dari ruang tata usaha dan berjalan ke arah kami. Untuk sesaat mata kami sempat bertemu sebelum akhirnya pandangan Vano teralih pada kue ulang tahun Rita.
"Siapa yang ulang tahun?" tanya Vano.
"Tuh si Rita! Nih, kue buat lu!" sahutku sambil menyerahkan sepotong kue berkrim vanila yang tadi dioper oleh Danty.
Sejak menceritakan tentang perasaanku pada Risa, maka semenjak itu pula berita tentangku yang menyukai Vano diketahui Danty, Ira dan Rita. Belum lagi kalau aura model mak comblang mereka muncul. Bisa habis aku dibuat mereka salah tingkah. Dan karena itu pula tadi mereka sengaja memanggil Vano untuk ikut bergabung.
Tak peduli pada lirikan mautku yang meminta mereka jangan bertingkah aneh-aneh, mereka tetap sengaja mencari cara mendekatkan kami. Seperti saat ini, seolah sengaja hendak memberikan momen untuk membuatku dan Vano semakin dekat seperti hal yang mereka lakukan pada Rita dan Igra.
Dan tampaknya usaha Risa juga Danty untuk membuat kami semakin dekat berhasil. Lihatlah kami sekarang, saling berkejaran untuk mengindari perang krim kue. Aku lari cepat menjauhi Vano saat cowok itu mengulurkan tangannya yang belepotan krim ke arah wajahku. Sesekali berhenti untuk menikmati kue di tangannya. Begitu kue habis dan hanya tersisa krim putih yang lengket, Vano mulai kembali menggodaku. Membuatku merengut sekaligus tersenyum secara bersamaan. Ditambah lagi kedekatan Rita dan Igra yang membuatku nyaris menggigit jari karena iri dengan keromantisan mereka yang manis. Namun entah kenapa setiap saat bersama Vano mampu mengukirkan senyum di bibirku yang akan awet hingga seminggu ke depan.
Hingga alunan lagu First Love milik Utada Hikaru terdengar dari radio yang ada di dalam aula, aku langsung ikut bersenandung mengikuti lagu tersebut. Lagu favoritku, yang sering aku dengarkan saat menulis novel roman. Bahkan Vano yang ada di sampingku pun ikut mendengarkan dan menikmati lagu berbahasa jepang tersebut. Alunan lembutnya sempat membuatku hanyut ke dalam perasaan yang membuatku selalu ingin melihat senyum Vano.
Ashitano imagoro ni wa
(Saat ini besok)
Anata wa doko ni iru n darou
(Aku ingin tahu di mana kau berada?)
Dare wo ommotteru n darou
(Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan?)
Aku mulai ikut berdendang, begitu juga dengan Vano. Sungguh mengherankan bagiku kalau dia juga hapal lagu ini. Aku menikmati setiap lirik dalam lagu hingga tanpa sengaja kami saling pandang. Vano tersenyum menatapku, sedangkan aku hanya mampu menatapnya terkesima. Mungkin akhir-akhir ini hubunganku dengan Vano memang mulai semakin dekat. Sering kali kami saling bertukar puisi bahkan saling bercanda dan menjahili satu sama lain. Seperti saat ini, Vano berhasil mengambil kesempatan untuk mengoleskan krim kue ke wajahku saat aku lengah ketika menertawai wajah Rita penuh dengan krim. Alhasil terjadilah aksi saling balas yang berujung kejar-kejaran. Aku tak bisa biarkan begitu saja dan berusaha membalasnya.
You are always be inside my heart
(Kamu akan selalu berada di dalam hatiku)
Itsumo anata dake no basho ga aru kara
(Selalu ada tempat hanya untukmu)
I hope that I have a place in your heart to
(Aku berharap bahwa aku memiliki tempat di hatimu juga)
Aku balas mengejar Vano untuk menempelkan krim kue pada wajahnya. Namun Vano yang memiliki kaki lebih panjang dan badan lebih tinggi mampu dengan mudah menghindari kejaranku. Cowok itu justru tertawa senang melihatku tak berhasil mengenainya dan hanya bisa merengut kesal.
"Heh, jelek! Sini lu! Awas, ya!" teriak Yumi jengkel kemudian kembali mengejar Vano mengelilingi lapangan.
Vano tertawa lepas saat melihat wajah dongkolku yang tak juga berhasil membalasnya. Aku mulai menyerah dan berjalan pelan mendekati Vano yang masih sibuk menghindar. Hingga akhirnya aku berhenti di tengah lapangan dan mulai mengatur napasku kembali. Aku mengangkat wajahku seolah mengambil udara yang ada di sekelilingku dan menghirupnya dalam-dalam. Lalu tanpa sengaja tatapanku berserobok dengan sosok yang amat kukenal sedang berdiri di balkon lantai dua gedung sekolah.
Aku sempat tertegun sejenak melihat Cyra berdiri di sana. Dengan raut wajah dan tatapan yang sangat sulit diartikan tapi nyaris terasa dingin bagiku. Tatapan yang tak pernah kulihat dari sahabatku itu sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang mengusik perasaanku dan membuatku merasa tak tenang. Entahlah ... rasanya seperti ada yang salah.
Kesempatan ini ternyata di ambil oleh Vano untuk menempelkan krim kue lagi pada pipiku. Vano tersenyum senang, sedangkan aku hanya mendesah jengkel sekaligus dongkol tetapi sudah lelah membalas.
"Aduh ... muka gue jadi lengket banget, nih! Lu, sih!" Aku menggerutu pelan sambil berusaha membersihkan sisa krim yang menempel di pipiku dengan tisu.
"Yeee ... emangnya muka gue nggak lengket?" sahut Vano tak mau kalah. "Udah ah, nggak usah manyun gitu. Sana bersihin di kamar mandi!"
Tentu saja aku bergegas menuju toilet dan membersihkan sisa krim kue yang masih menempel di pipiku. Aku bahkan membilasnya berulang kali, tetapi lapisan berminyak krim itu masih juga tak mau hilang. Cara terakhir, aku mengusapkan tisu dengan sedikit kencang agar minyak krim itu lekas menghilang dari pipiku.
Krim di pipiku sudah hilang sebagian, meski ada beberapa yang masih terasa lengket di pipiku. Sambil melangkah keluar toilet, aku masih mengusapkan tisu kering ke pipiku. Bersamaan dengan Vano yang juga baru keluar dari toilet cowok sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah. Untuk sesaat tubuhku seakan membeku kaku. Terlebih ketika cowok itu melangkah cepat menghampiriku dan mengambil sebungkus tisu yang sedang kupegang untuk mengusap wajahnya.
Aku terkesima. Cowok itu tidak pernah tidak terlihat keren. Sekalipun sehabis cuci muka. Sekali lagi Vano menyisir rambut yang jatuh di keningnya dengan jari tangan. Merapikan kembali rambut yang sempat menjuntai menutupi keningnya hingga kini terlihat lebih segar. Aku berdiri di depannya nyaris menganga karena terpesona. Untung saja teriakan Syta yang memanggilku menyelamatkan aku dari situasi yang bisa membuat diriku semakin salah tingkah.
"Mi, Fahri minta kita semua kumpul di kantin sekolah. Penting katanya!" jelas Syta.
"Emang ada apaan lagi, sih?"
"Mau ngomongin pelantikan katanya. Ayo buruan ke sana! Ntar dia keburu ngomel-ngomel!" ucap Syta lagi sambil menarik lengan Yumi. "Oh iya ... Van, lu juga di suruh ikut ke sana!"
"Hah? Gue juga? Ada apaan sih tuh anak?"
"Nggak tau. Udah yuk, buruan!"
Di kantin Fahri memang terlihat sedang menggerutu sambil memeriksa susunan acara pelantikan dalam berkas laporan di tangannya. Cowok itu sedang memastikan seluruh panitia melaksanakan tugasnya masing-masing. Wajahnya terlihat sangat serius karena acara pelantikan sudah tinggal hitungan hari dan ia harus menyelesaikan semuanya sesegera mungkin. Begitu melihatku bergabung, cowok itu segera mengintruksikan untuk mengambil dana pelantikan pada bendahara sekolah dan membuatku harus bergegas menuju ruang Tata Usaha.
Begitu mendapatkan dana pelantikan, aku segera menuju ruang OSIS dan menemukan teman-temanku tengah merapikan beberapa perlengkapan di sudut kanan ruang OSIS. Dan tepat saat itu pula aku sempat memergoki Cyra tengah mencuri padang ke arah Vano yang sedang berbincang dengan Fahri dan Mona. Aku tertegun sejenak. Perasaanku mulai campur aduk. Berbagai pertanyaan sempat terlintas dalam pikiranku. Sambil berharap kalau dugaanku tidak benar.
***
Bogor, 18 Juni 2019
00.22
Ada apakah gerangan, ya???
Sebenernya apa yang lagi dipikirin Yumi???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top