10. Terpesona

Minggu pagi bagi anak ekskul adalah waktunya latihan. Semua macam ekskul berkumpul di lapangan dalam dan luar gedung sekolah. Biasanya ekskul paskibra, PMR, karate dan pencak silat menggunakan lapangan dalam. Dan ekskul olahraga di lapangan depan. Tapi hari ini tampaknya ekskul lain mengganti jadwal latihan mereka jadi hanya ada ekskul paskibra di lapangan dalam. Sedangkan di aula menjadi tempat berkumpulnya ekskul teater.

Aku berdiri di dekat tiang bendera bersama para anggota ekskul paskibra. Hari ini dua jenis ekskul yang kuikuti mengadakan jadwal latihan yang sama. Untungnya jadwal mulai ekskul teater sedikit lebih siang daripada ekskul paskibra yang sudah mulai sejak jam delapan tadi pagi.

Bagiku yang mengikuti dua macam ekskul seperti ini, harus pandai membagi waktu. Terlebih ketika keduanya memiliki jadwal latihan di hari yang sama seperti sekarang. Terkadang aku harus merelakan salah satunya atau bahkan berlari ke sana kemari mengikuti keduanya sekaligus. Untung saja hari ini teater mulai lebih siang dari biasanya, setidaknya aku masih punya waktu untuk menyelesaikan tugas-tugasku di ekskul paskibra.

Seperti saat ini, pada undakan di tepi lapangan seluruh anggota paskibra angkatanku dan satu tingkat di atasku sedang fokus merapatkan tentang keperluan pelantikan dan perlombaan. Beberapa seniorku yang lainnya fokus melatih calon paskibra di lapangan dengan materi latihan dasar baris-berbaris.

Lelah berdiri, aku ikut duduk di undakan tepi lapangan dengan buku catatan terbuka lebar di pangkuanku. Di sampingku ada Cyra yang juga siap dengan buku catatan dan alat tulisnya. Di depan kami terdengar Fahri sedang memberikan beberapa pengarahan kepada semua anggota senior tentang apa yang harus kami siapkan untuk acara pelantikan juga persiapan lomba bulan depan.

“Yumi sama Cyra, lu berdua bagian buat formasi untuk lomba, ya! Untuk Yumi jangan lupa ngedata ukuran baju anak baru! Soalnya mau sekalian gue pesenin ke penjahitnya,” titah Fahri pada kami yang kini sibuk mencatat instruksinya. “Untuk proposal pelantikan, sudah disetujui dan ditanda tangani. Minggu depan tanggal 4 sampai 5 Oktober udah bisa kita laksanain. Mona, lu pastiin sekali lagi perlengkapan pelantikan. Besok harus udah selesai semua. Oke?”

“Oke deh, Boss!” sahut Mona sambil mengangkat salah satu telapak tangannya di depan pelipis seperti sedang menghormat.

Begitu Fahri pergi melatih calon paskibra di lapangan, aku dan Cyra memulai tugas kami membuat formasi barisan. Kami berdua begitu asyik berdiskusi sambil mepraktekkan beberapa gerakan yang sekiranya cocok saat melakukan perpindahan formasi barisan. Beberapa gerakan formasi dan perpindahan bentuk barisan kami catat dan gambar dalam catatan masing-masing.

Bisa dibilang kami adalah tim yang solid dan kompak. Terlebih kami berdua memiliki beberapa persamaan, meskipun kadang sifat kami bertolak belakang. Kami berdua mempunyai hobi yang sama. Sama-sama penyuka novel dan komik jepang, hobi menonton anime jepang dan juga menulis cerita pendek atau novel. Kalau kami berdua sudah duduk bersama sambil membawa buku komik atau majalah tentang anime, kami pasti akan lupa waktu karena asik membaca atau membahas anime favorit kami. Banyak hal yang bisa kami bicarakan dari hanya satu judul komik atau anime. Sering kali kami berdua tertawa terbahak-bahak jika membahas salah satu komik atau anime yang kami sukai. Bahkan para senior pun sampai heran melihat keanehan kami.

“Eh, Ra! Kayaknya lebih bagus begini deh!” usulku sambil memperlihatkan catatan dan gambar susunan formasi barisan yang akan kami tampilkan dalam LKBB.

“Iya juga sih, Mi. Ntar kita coba deh!” sahut Cyra sambil mencoba membayangkan gerakan formasi yang sudah kami gambar.

“Eh, Mi! Bantuin gue, dong!” kata Silvia Aruni yang masih sibuk berkutat dengan beberapa catatan di depannya.

“Bantuin ngapain?” tanyaku heran.

“Bantuin nentuin menu makanan buat pelantikan. Biar gampang nentuin apa aja yang harus di beli nanti.”

“Oke deh, gue bantuin. Yuk, Ra!” kata Yumi sambil mengajak Cyra.

“Ogah, ah. Ntar aja gue bantuin pas lagi masaknya. Hehehe ...."

“Dasar!”

Aku pun mulai berdiskusi dengan Silvia tentang beberapa menu yang mudah untuk mereka buat dan cukup bergizi. Dengan sigap Silvia mencatatnya dengan cermat agar tak ada yang terlewat. Hingga kerumunan anak teater di depan aula mengalihkan fokusku.

“Mi, hari ini lu ikutan latihan teater juga?” tanya Cyra menunjuk anggota ekskul teater yang sudah banyak berkumpul di depan aula sekolah.

“Iyalah. Katanya sih mau ada pentas teater di Universitas Pancawarna,” sahutku sambil memandangi kerumunan anggota teater dan melihat Risa melambaikan tangannya ke arahku. “Eh, gue ke sana dulu, ya! Tuh, si Risa udah manggil-manggil dari tadi."

“Yasud. Gih, sana!” jawab Cyra santai.

Aku masuk ke dalam aula dan berkumpul melingkar bersama seluruh anggota teater. Di salah satu sisi terlihat Pak Maulana selaku Pembina dan pelatih teater tengah memberi beberapa lembar naskah pada Danty. Hari ini mereka akan mengadakan poling pemilihan peran. Hasilnya peran utama dipegang oleh Niar dan Danty sedangkan lainnya sebagai pemeran pembantu. Begitu naskah dibagikan, masing-masing anggota mulai menghapal dialog juga penguasaan intonasi dan ekspresi dalam peran. Sedangkan aku pamit untuk kembali ke pinggir lapangan sambil membawa naskahku.

Ketika melintasi separuh lapangan, pandanganku teralih pada satu sosok yang terasa familiar di mataku. Sosok cowok yang sedang membelakangiku dan sedang mengobrol dengan Syta. Tubuh jangkung dengan jaket parka berwarna biru berpadu celana jeans panjang biru gelap lengkap dengan sepatu kets putih dan ransel hitam yang terlihat sangat keren. Dan aku nyaris menganga saat melihat cowok itu berbalik dan menyapaku ketika ia mendekat.

Eh, gileee! Sumpe cakep banget dia. Coba tiap hari gayanya kayak begini, pasti keren banget. Fansnya pasti langsung nambah banyak ini!

“Hai, Mi!” Aku mengerjapkan mata mendengar sapaan Vano untuk kedua kalinya karena untuk sesaat tadi aku seakan terhipnotis dan tak berkedip. Jangan sampai ada yang melihat gelagat anehku yang nyaris kewalahan menyembunyikan debaran jantung yang seakan minta keluar dari rongganya.

“Eh, iya. Apaan?” sahutku nyaris tergagap.

“Lu liat si Ferro, enggak?” tanya Vano lagi.

“Fer ... rro? Kayaknya tadi ada di lab komputer, deh. Coba aja cari di sana!”

“Oh, oke. Thanks, ya!” sahut Vano sambil melambaikan tangannya. Sedangkan aku masih mematung di tempatku berdiri. Anehnya manik mataku masih terus mengikuti ke mana tubuh Vano pergi hingga menghilang di balik pintu ruang lab komputer.

“Heh, Mi! Kenapa lu?” tegur Syta sambil menepuk lenganku dan membuyarkan lamunan yang baru saja menjeratku.

“Hah, eh ... enggak kenapa-napa kok!” sahutku salah tingkah.

“Masa? Kayaknya ada something-something gitu. Ngeliatin Vano sampe kayak gitu lagi. Lu suka sama dia, ya?” tanya Syta tanpa basa-basi.

“Hah?" Aku melongo menatap Syta yang menatapku penuh selidik. "Gue? Eh, ya gitu, deh. Ssttt ....” Aku meletakkan telunjuk di depan bibir sambil berkedip. “Jangan kasih tau siapa-siapa, ya!” Syta terkekeh pelan melihat tingkahku kali ini.

“Beneran??? Kok lu bisa suka dia?” tanyanya penasaran.

“Nggak tau gue juga.”

“Lah tapi kan, dia sukanya sama Tisha?”

“Udah patah hati kayaknya,” jawabku sekenanya sambil nyengir lebar.

***

Semarang, 10 Juni 2019
23.18
13 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top