Seven : You and I
Valt dan aku berjalan bersama di pinggiran jalanan Halesowen. Tahun itu di Halesowen tidak ada satu pun theater, jadi kami menuju rumah milik Tuan Murray. Aku bertanya padanya mengapa harus ke rumah Tuan ini, dia bilang di sinilah tempat sementara untuk latihan. Jika nantinya ada calon berbakat maka mereka akan latihan langsung ke pusat kota di Birmingham.
Kalian tak perlu tahu bagaimana aku menyakinkan Bibi dan Paman agar bisa keluar sore ini. Banyak pekerjaan yang aku kerjakan demi memperoleh izin dari mereka, pada akhirnya aku bisa keluar seperti sekarang ini.
Di depan kami terlihat sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan juga tidak kecil. Rumah tanpa cat dengan menonjolkan ukiran bata itu cukup menarik perhatian. Di depan terdapat pagar kayu, serta kotak pos yang khas. Aku melihat ke sebuah papan yang ada di atas sana. Tercetak jelas sebuah nama keluarga Murray di sana.
Valt tidak mengucapkan apa pun, ia bahkan seenaknya menarik pergelangan tanganku untuk segera masuk. Saat baru saja kami berdua datang seorang wanita dewasa bersurai pirang tersenyum ke arahku-lebih tepatnya ke arah Valt.
"Hei, Valt!" sapanya. Aku lihat Valt hanya tersenyum ke arahnya. "Ini siapa?" Ia menunjuk ke arahku dengan raut yang sedikit berbeda dari tatapannya pada Valt tadi.
"Leena, dia tamu istimewa hari ini," ucap Valt sembari memelukku sekilas. Dari posisiku ini, dengan jelas aku melihat ada yang berbeda dari wanita itu, mendadak raut wajahnya berubah untuk kedua kalinya.
"Oh hei, namaku Adeline," ujar wanita itu memperkenalkan diri, dia menunjukkan senyum manis, cantik sekali ketika aku melihatnya. Aku pun segera membalas dengan senyum.
Valt yang sedari tadi menunggu pun mendadak menyela, "Baiklah kami pergi dulu," ucapnya. Tanpa aba-aba ia kembali mengandeng tanganku untuk masuk ke sebuah ruangan berpintu merah.
Gelap, aku tak dapat melihat apa pun di sana kecuali sebuah lampu yang menyorot seorang perempuan kecil, ia tampak memainkan alunan nada-nada yang sangat lembut. Aku saja sedikit iri melihat hal itu.
"Indah, ya?" Aku menoleh di kala Valt mengucapkan hal itu.
"Sangat indah," koreksi ku. Alunan nada itu perlahan mengecil, ini berarti permainan piano sang gadis kecil telah usai, ia tampak turun dari atas panggung kecil di depan kami dan memeluk seorang wanita dewasa yang duduk di bagian samping, di mana kursi penonton berada.
Tanpa sadar aku tersenyum kecil melihat hal sederhana. Namun, sangat berarti yang sedang berlangsung di depanku. Sangat menyenangkan apabila memiliki seorang yang kita sayang, bukan?
"Kini giliranku."
Aku menoleh sekilas.
"Kau melamun?" tanya Valt, tatapan lembut itu selalu menjadi sesuatu yang istimewa.
"Maaf," balasku tak enak, ia tersenyum seperti mengerti apa yang ada dipikiranku.
"Aku pergi dulu," pamitnya. Aku pun mengangguk sebagai jawaban sembari menatap kepergian pemuda berparas tampan dengan setelan sederhana yang cocok dengannya.
Hening sejenak. Tapi keheningan itu tak bertahan lama ketika jemari hebat Valt mulai menari di atas tuts-tuts piano. Perlahan nada ketenangan keluar, membentuk sebaris bait melodi yang berhasil membuatku terbawa suasana sedih.
Air mataku menetes, entah mengapa rasanya ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuat hatiku terasa terenyuh melihat permainan indah di hadapanku. Alunan itu seakan membuat sisi lain diriku terjatuh, jatuh ke dalam kelamnya masa lalu.
Di depan sana aku dapat melihat betapa bersinarnya pemuda di hadapanku, senyum hangatnya, rambut hitam yang sedikit tak terurus tertimpa cahaya lampu dan mata biru cerah yang selalu menatap hangat.
Aku sadar jika kami berdua memiliki perbedaan usia yang cukup jauh, sekitar lima tahun, mungkin? Secara sadar, Valt sudah aku anggap sebagai Kakakku sendiri, walaupun hasilnya tetap sama, aku selalu menganguminya.
Alunan indah itu selesai, Valt mengakhiri permainan menyentuh itu dengan sebuah senyum lebar khas miliknya. Ia menatapku, benarkah? Eh, aku tidak mengada-ada! Valt benar-benar menatap ke arahku.
Suara tepuk tangan terdengar dari sampingku, seorang pria yang tampak bahagia melihat pertunjukan mengagumkan milik Valt. Tanpa diminta pun aku ikut memberikan apresiasi, menatapnya dengan penuh senyum ketika pemuda itu tiba di depanku.
"Itu sangat mengagumkan," ucapku.
"Benarkah?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk cepat.
"Sungguh, permainanmu bahkan berhasil membuatku meneteskan air mata." Aku menunjukkan bekas air mata di pipi. Dia tertawa kecil sembari menepuk puncak kepalaku dan tersenyum—lagi.
"Kau ingin pergi ke tempat lain?" tawar pemuda berambut hitam itu tiba-tiba. Aku terdiam sejenak, karena aku sendiri juga bingung.
"Bagaimana kalau Selleluna Café," balasku setelah lama berfikir.
Valt menunjukkan seulas senyum. "Kau menyukai tempat itu, ya?"
"Sudah aku putuskan, iya." Anggukan di kepala Valt menunjukkan bahwa dia setuju. Namun, sebelum kami benar-benar pergi, seseorang menghampiri dan membuat kami harus tinggal lebih lama.
"Aku telah memutuskan, Valt," ujar pria berkulit gelap itu sembari memberikan sebuah amplop yang entah apa isinya. "Kau bisa pergi ke Birmingham mulai besok."
Aku hampir melotot tak percaya, bahkan ekspresi Valt hampir seperti diriku, dia tampak terkejut bukan main. "Sungguh?"
"Ya, temanku Aaron O'Neill akan senang menunggumu di sana," ucap Tuan Murray sembari menunjuk seulas senyum kebahagiaan.
Beberapa detik setelah itu, Tuan Murray beralih menatapku dan berakhir mengerutkan kening heran. "Hei, siapa gadis kecil ini?"
"Ah, dia tetanggaku, Leena Nightingale."
Ekspresi Tuan Murray berubah, seperti ada sesuatu yang berhasil membuatnya terkejut. "Nightingale? Kau putri Harry?" Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. "Astaga, sekian lama aku ingin bertemu dengan keluarga kalian. Kau putri seorang pecinta musik terkenal."
"Salam kenal, Tuan Murray," ujarku sembari memberikan sikap ramah kepadanya.
"Ya, aku mengangumi ayahmu itu. Sayangnya dia telah tiada sebab kecelakaan mengenaskan itu." Tuan Murray menggelengkan kepalanya. "Ah, apakah kau juga seorang penulis lagu?"
"Sayangnya tidak."
"Tapi menyukai musik?"
"Ya," balasku.
Tuan Murray menatapku dan Valt bergantian. Keputusannya hari itulah yang berhasil membuat hidupku berubah drastis. "Kalian akan cocok jika bermain bersama, kau bisa memainkan alat musik? Seperti biola?"
"Aku pernah memainkannya sewaktu kecil, tapi untuk sekarang aku melupakannya."
"Kita bisa memulai latihan besok, aku yang akan mengajarimu langsung, oke? Kau tidak keberatan, Nona Nightingale?" tanyanya yang membuatku sedikit tak enak hati menolak tawaran yang cukup mengiurkan ini.
"Aku rasa tidak."
***
Suara lonceng kecil yang terpasang di pintu masuk kedai kopi terdengar. Hari ini cuaca sedikit cerah, dapat kulihat beberapa pengunjung memesan minuman dingin. Bukan seperti hari-hari sebelumnya yang selalu mengeluarkan kepulan asap di minuman yang tersaji, seperti teh atau kopi mungkin?
Valt masih mengandeng tanganku, menuntun diriku ke sebuah tempat yang masih kosong. Kursi kayu lengkap dengan pasangannya, si meja, di sana kami duduk sembari menunggu seseorang datang.
Tak lama seorang pemuda berambut pirang berjalan ke arah kami dengan senyum mengembang. "Tamu istimewa kita," ucapnya penuh semangat.
"Sudahlah Seth, jangan mulai lagi, bisa berikan kami minuman terbaik di sini?" Seth tampaknya sedang berpikir, berusaha mengingat kembali rentetan menu yang aku yakini cukup sulit di hafalkan.
"Baiklah, bagaimana kalau cokelat susu? Atau cokelat kopi?" tawar Seth sembari menatap Valt dan juga aku. Valt sempat menatapku, menunggu jawaban yang mungkin saja membuatnya bimbang.
"Ya, cokelat kopi? Itu lumayan," ujarku kemudian.
"Bagus, lalu makanan?" tanyanya lagi. Aku tampak bingung karena belum hafal dengan beberapa makanan di sini.
"Coba lihatlah!" Seth memberiku sebuah buku menu yang selalu ia bawa. "Tidak ada makanan spesial di sini kecuali burger, daging dan makanan khas Inggris lainnya."
"Aku rasa tidak lapar untuk hari ini, Seth," ungkapku sembari menunggu respon Valt.
"Ya, hanya minuman saja mungkin cukup." Seth tersenyum puas dan berlalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Pandanganku mengarah ke luar jendela besar di sampingku, sore ini banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka adalah para pekerja yang pulang dari aktivitas, dan ada pula orang-orang dewasa yang berjalan dengan bercanda ria.
Di atas sana awan gelap menyelimuti langit, itu artinya sebentar lagi hujan. Uh ... hujan, ya? Suasana yang paling aku rindukan akhir-akhir ini. Entah apa sebabnya, aku menjadi menyukai hujan.
"Lein." Aku menoleh ketika suara itu terdengar, segera aku mengubur dalam-dalam pikiran kecil tadi dan menatap sosok di depanku. "Kau melamun lagi?" Aku tersenyum kecil. "Apa yang kau pikirkan? Hujan?"
Kenapa pemuda di depanku ini dapat menebak dengan akurat? Aku hanya tersenyum dan mengangguk, bagaimana pun juga aku mengangumi hujan-untuk kesekian kalinya. Entah itu sejak aku bertemu Valt atau sejak aku merasa sendiri setelah kehilangan kakakku.
"Kenapa tebakanmu selalu tepat?" Valt tertawa kecil.
"Entah, aku hanya bisa melihat guratan cahaya yang ada di matamu. Kau menganguminya?"
"Ya, aku mulai menganguminya." Tatapanku tak bisa lepas dari manik biru yang berkilau milik Valt. Di sanalah tempat terbaik untukku memandang betapa kagumnya aku-lagi-padanya.
Buru-buru aku melepaskan pandangan kami berdua, saat ekor mataku menangkap pergerakan pemuda berambut pirang datang dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa gelas minuman dan juga makanan yang dipesan beberapa pembeli.
"Pesanan sampai!" serunya sembari meletakkan dengan hati-hati kedua minuman yang sama.
"Terima kasih, Seth." Itu suara Valt. Sebagai ucapan terima kasih juga aku hanya tersenyum kepada pemuda berambut pirang itu.
Seth masih di tempatnya berada, dia menatap kami dengan senyum merekah seperti tengah mendapatkan sebongkah berlian. "Wah-wah, pasangan muda yang romantis," ungkapnya kemudian.
"Seth, aku dan Valt hanya ...."
Ucapanku itu terhenti karena suara khas milik Seth yang menyela, "Hanya teman." Ia menghela napas pelan. "Maka akan aku tunggu sampai kalian bersama."
Kurasakan pipiku memanas karenanya, aku yakin sekarang wajahku memerah malu karena ucapan Seth itu. Sekarang, yang aku harap adalah, semoga kedua orang di hadapanku ini tak menyadarinya. Atau aku akan semakin malu.
"Pipimu merah, Leena!" celetuk Seth. Oh Tuhan! Andai saja aku memiliki kekuatan untuk teleportasi, mungkin aku akan pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Di tambah tatapan aneh dari Valt yang sejak kapan terpaku padaku. Oh Tuhan!
***
"Andaikan aku bisa merubah alur di masa lalu."
Sang Pïanis Hujan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top