Four : Now, 1969
Empat tahun kemudian ....
Aku menatap datar orang-orang di depan ku, sedangkan mereka tampak bersemangat melemparkan tas berwarna cokelat itu ke sana kemari. Hampir setiap hari aku diganggu oleh mereka bertiga dan aku? Aku hanya diam karena tidak dapat melawan. Aku tidak melawan bukan berarti lemah, hanya saja malas untuk menganggap mereka itu ada.
"Mereka itu tak berarti."
Bel sekolah memang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, dan entah kenapa aku harus terjebak di kelas bersama tiga kakak kelas yang suka mencari gara-gara ini. Aku membenci mereka dan aku lebih membenci diriku karena harus pulang dengan urutan terakhir. Alasannya malas berdesak-desakan dengan murid lain, terlebih aku menghindari tatapan Eliza yang selalu mengintimidasi.
"Ayo, ambil tasmu kalau bisa!" ejek salah seorang dari mereka.
"Kembalikan, Dazt." Aku meminta dengan nada malas. Tanganku berusaha menggapai tangannya yang panjang. Aku tahu, dia sangat tinggi.
"Dasar pendek!" Ia menepuk-nepuk kepalaku seolah seperti bantal, senyuman licik itu masih selalu teringat, menyebalkan!
"Dazt, keluarkan saja barang-barangnya!" usul teman dari pemuda itu. Aku sempat menatap salah seorang temannya dengan kesal, mengapa juga dia harus mengusulkan perbuatan jahat seperti itu.
Aku yang sudah kesal hendak mencegahnya tapi semuanya sudah terlanjur begitu saja. Semua barang-barang yang aku bawa berhamburan keluar. Wajahku mungkin memerah, marah. Aku ingin sekali mencakar wajah mereka.
Tanpa menunggu segera saja aku memungutinya dan memasukkan kembali, sebuah kilasan masa lalu melewati pikiranku, hal tersebut kadang membuatku sedikit sedih sekaligus menyesal. Hal yang sama dengan posisi Kak Shele tertabrak mobil.
"Lein gadis kotor! Lein gadis kotor!" Mereka bertiga selalu mengejekku dengan kalimat-kalimat itu. Bahkan terkadang juga membuatnya sebagai lagu. Ya lagu ejekan yang sengaja di lontarkan padaku. "Pantas saja tidak punya teman!"
Aku yang sudah menenteng tasku menatap tajam Dazt yang berdiri di depanku, bukanya takut ia malah menertawakan diriku dengan sangat keras seakan aku ini sedang membuat lelucon. Dasar pemuda menyebalkan!
Kemudian sebuah ide muncul di pikiranku. Tanpa berpikir lagi aku menendang kakinya dan segera berlari dengan melontarkan kalimat ejekan yang sama. "Dazt pengecut! Dazt pengecut!" seruku sembari berlarian di dalam kelas.
Dia menatapku penuh kebencian, aku yakin dia sangat marah saat ini. Dan benar dugaan ku, detik itu pula Dazt mulai mengejar ku seperti singa yang hendak memangsa korbannya. "Kesini kau!"
Oh sial! Kenapa aku harus tertangkap! Pemuda itu mencengkeram tanganku dengan sangat kuat sampai-sampai rasanya perih sekali, aku yakin bekas itu nantinya akan membentuk luka merah. Aku yang sebenarnya sedikit takut pun berusaha memberontak dengan sekuat tenaga dari cekalannya.
"Lepaskan! Lepas!"
Ya, usahaku tidak mengkhianati hasil. Aku sengaja mengigit pergelangan tangannya dan menginjaknya dengan penuh tekanan. Saat itu pula akhirnya aku berhasil terlepas dari monster itu, segera aku mengambil tas milikku dan menatapnya dengan wajah kesal.
"Kau mengejekku, hah?! Akan aku buat gadis kecil sepertimu menderita," geram Dazt. Ia hendak meraihku kembali. Namun, itu gagal karena aku berhasil lari sebelum ia dapat menangkap lagi.
"Dazt penjahat! Dazt penjahat! Dia ingin membunuhku!" Sembari mengucapkan itu aku berlari sekuat tenaga menghidari kejaran mereka. Hampir saja Dazt menangkapku lagi, untungnya aku berhasil meloloskan diri saat sampai di gerbang sekolah, sebab di sana terdapat dua guru yang sedang berbicara dengan salah satu orang tua siswa.
"Huh!" Aku menghela nafas lega dan mulai berjalan pulang dengan bersenandung kecil. Tiba-tiba saja senyumku sirna karena suara gemuruh dari langit. Oh tidak, sebentar lagi sudah dipastikan hujan akan turun dan aku tidak ingin pulang dengan keadaan basah, pastinya Bibi akan memarahiku besar-besaran.
Kulihat di depan sana terdapat sebuah halte yang kebetulan sepi. Tanpa menunda, aku berlari menyebrangi jalan. Tapi entah kenapa jalanan tidak mendukungku, sebuah genangan licin membuat tubuh kecilku ini terjatuh dan naasnya dress putih bersih kesayanganku harus kotor karenanya.
Sungguh! Hari yang menyebalkan. Aku benar-benar membenci hari ini.
"Oh jangan sekarang!" kesalku sembari menatap langit. Tanpa menunggu aba-aba setitik air berjatuhan dan aku yakin hujan akan segera mengguyur tubuh kurusku ini. Dengan perlahan aku berdiri, lututku yang berdarah rasanya perih karena terkena air. Dengan langkah yang sedikit tertatih-tatih aku menuju halte yang tiga langkah lagi hampir sampai.
"Apa kau butuh bantuan?" Aku tersentak kaget lalu menoleh, mendapati seseorang yang tidak asing lagi bagiku. Wajahnya yang masih sama saat terakhir kami bertemu serta tatapan mata yang menghangatkan itu.
"Kak Valt!" seruku dengan nada yang sedikit tak percaya. Aku lihat ia tersenyum dan membantuku untuk berjalan.
"Leena?" tanyanya yang mungkin memastikan. Aku yakin jika ia masih ingat dengan diriku, walaupun aku tahu itu sedikit sulit.
"Ya." Ia tersenyum lebar dan aku juga.
Hampir beberapa bulan atau bahkan tahun terakhir aku tidak bertemu dengan Valt, entah karena aku yang tidak begitu memperhatikan atau memang dia yang sedikit sibuk. Walaupun terkadang aku dapat melihat ia beberapa kali bermain hujan, tapi tak sesering dulu. Bahkan aku sendiri yang merasa sibuk semenjak pertemuan terakhir kami.
"Kau baru pulang sekolah?" Aku mengangguk, lalu timbul sebuah petanyaan yang sudah kupikirkan dari tadi.
"Apa yang Kak Valt lakukan di sini?" tanyaku sedikit penasaran, karena jika dilihat-lihat ia tidak pernah keluar dari rumahnya yang tampak sepi itu.
"Aku selesai berlatih," jawabnya, masih menggunakan nada bicara halus yang khas. Ia menoleh ke arahku, aku masih mengingat dengan baik manik biru khas darah Inggris itu. Dia memiliki rupa yang mengagumkan.
"Apa kau mau menemaniku?"
Aku mengerutkan kening karena sedikit bingung dengan ajakan itu, pasalnya di sini masih hujan dan akan basah kuyup jika kami beranjak. "Mau ke mana?" tanyaku dengan raut bingung.
"Bermain hujan," balas Valt sembari menunjuk hujan deras yang ada di depan kami.
Ia menatapku seolah memohon. Sempat aku berpikir untuk sejenak, bagaimana kalau Bibi marah melihatku pulang dengan keadaan basah? Aku pasti akan kena pukul lagi. Tapi ... di sisi lain, aku juga ingin merasakan hujan-hujanan bersama Valt, ini sebuah kesempatan, bukan? Lagi pula, aku tidak bisa menolak permintaan darinya.
Sudahlah masalah dengan Bibi akan aku pikirkan nanti, sekarang aku ingin bersamanya.
"Kalau tidak mau, tidak masalah, Leena."
Aku menggeleng kuat-kuat untuk menampik ucapannya. "Baiklah," ucapku dengan mantap, yang aku lihat dari sini Valt tampak tersenyum bahagia. Entahlah, kebahagiaan kecil itu ikut membuatku merasakan sesuatu ketenangan.
Kini pemuda itu sudah berdiri di bawah hujan, membelakangiku. Aku dapat melihat punggungnya dari belakang. Ia lelaki dewasa yang baik hati, andai saja ayah masih ada, mungkinkah ia akan sama seperti Valt? Aku pikir jawabannya iya.
Jika dibandingkan dengan Paman, dia jauh lebih kejam, orang yang selalu menyiksaku dengan kata-kata tajam dan memukulku dengan tongkat panjang yang selalu ia bawa. Bahkan sampai saat ini aku masih merasakan rasa sakit itu.
Di bawah hujan. Kami berdua hanya berdiri berhadapan sembari menikmati dinginnya air deras yang turun dari langit. Baru saat itulah aku baru merasakan sebuah ketenangan di dalam hati, mungkinkah ini yang dimaksud Valt saat itu? Ketenangan itu berada di dalam hati, merasakan keheningan sejenak demi menghilangkan rasa jenuh dan luka.
Di seberang sini, aku benar-benar kembali terpukau dengan dirinya. Wajah tenang nan menawan itu seakan membuat kehangatan di tengah dinginya hujan. Serta tatapan lembut yang tidak pernah bisa aku hindari.
"Aku antar kau pulang." Suara Valt membuatku tersadar dari lamunan, aku berusaha menatapnya di tengah derasnya hujan.
"Aku tidak ingin merepotkanmu, sungguh," ucapku berusaha keras agar pemuda itu dapat mendengarku. Belum apa-apa Valt menarik tanganku untuk berteduh ke tempat semula.
"Maafkan aku. Karena aku, kau jadi ikut basah kuyup."
Dapat aku rasakan ada kecemasan di setiap nada bicaranya. Tidak ingin dirinya merasa bersalah, aku menggeleng berusaha menyakinkanya. "Tidak masalah." balasku.
"Akan aku antar, tidak baik jika anak kecil sepertimu pulang sendiri," ujarnya. Sebenarnya aku sempat ingin tertawa mendengar ia menyebutku anak kecil, tapi mendadak terhenti karena ia sudah menggenggam tanganku yang sudah dingin. Dia seperti seseorang yang baru untukku.
•••
Suara benda kaca jatuh terdengar. Aku memejamkan mata sejenak sebelum sebuah suara menggelegar terdengar di sore itu. "Oh, hujan-hujanan?! Bagus, pantas saja tak ingat pekerjaan rumah!" bentak Bibi.
"Maaf," lirihku berusaha untuk memohon agar Bibi memaafkan mau memberiku pengampunan.
Namun, tiba-tiba saja Bibi menarik tanganku, alhasil tubuhku ini menghantam dinding di depanku. Oh ini sangat menyakitkan. Aku lihat Paman menuruni tangga dengan membawa selalu tongkat panjang yang terbuat dari kayu itu.
"Wah, sekarang Lein berani melawan, ya?" celetuknya sembari menatapku dengan seringai kecil.
Aku menggeleng kuat dan menatap mereka dengan pandangan memohon. Dalam benakku hanya ada harapan semoga Bibi berubah menjadi baik atau ada peri kecil yang membantuku seperti dalam dongeng dongeng. Aku harap suatu saat ada seseorang yang membawaku keluar.
Paman menarik rambutku dan menyeret ke tengah-tengah ruangan. Di sana Bibi berdiri sembari tersenyum lebar, setelah nya Pria itu memukul tubuhku ini bagaikan sebuah kasur.
"Paman, maafkan aku." Telinganya seolah tersumpal, tangannya tergerak terus untuk menyiksa tubuhku. "Maafkan aku, tak akan aku ulangi lagi, aku janji," ucapku sambil menangis menahan rasa sakit.
"Simpan tangis dan ucapan manis palsumu itu!" bentak Paman. Pria itu menghentikan aksinya dengan memberikan tatapan tajam.
Selepas mereka pergi, aku memilih bersandar di tembok belakang dan menatap kepergian sepasang suami istri kejam itu dengan pandangan tak berdaya. Hanya senyuman kecut yang ku perlihatkan.
***
|| Ayah, Ibu. Aku mohon bawa aku. ||
Sang Pianis Hujan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top