Five : Coffee House
Suara berisik dari luar ruangan membuatku terpaksa harus membuka mata. Aku menatap jam yang berada di meja samping. Ini masih sangat pagi dan kenapa orang-orang di bawah sana sudah bangun?
Dengan langkah perlahan aku gapai gagang pintu kamar dan membukanya sedikit, sebuah suara tajam menembus indera pendengar dan berhasil membuat jantungku hampir berpindah tepat. Tanpa menunggu aku segera saja keluar dari persembunyian.
"Iya?" Wanita itu tampak memandangku dengan tatapan tajam.
"Oh, kau baru bangun? Bagaimana tidurmu, Tuan Putri? Nyenyak?!" Wanita itu menyeretku ke bawah dengan sangat kasar. Benar-benar kasar, bahkan aku bisa merasakan perih di lutut serta tanganku yang tergores.
Aku lihat dia mengambil sebuah gelas berisi air dan mengguyurkan padaku. Pagi itu dingin, sangat dingin. Tolonglah ini masih sangat pagi dan air di pagi hari itu rasanya seperti air es yang diambil dari Kutub Utara.
"Bangun dan bersihkan semua ini!" gertak wanita itu. Aku yang keadaan masih kedinginan pun menurut dan melakukan yang ia perintahkam, jika tidak maka akibatnya akan lebih buruk.
Menit berikutnya, seorang anak laki-laki baru saja turun dan menyambar sebuah gelas berisi susu hangat. Ia tersenyum miring ke arahku, lalu berjalan kembali ke kamarnya. Dia sepupuku, namanya Rey, anak laki-laki yang sangat nakal dan jahil.
Setelah empat tahun yang lalu Bibi dan pria asing bertemu, mereka mengadakan pernikahan tepat dua hari setelah Kakakku kecelakaan. Entah apa yang ada dipikirannya, wanita itu sama sekali tidak peduli dengan keadaan keluargaku.
Dan selama dua tahun itu juga aku sendiri tanpa adanya Kakak. Membersihkan rumah, memasak, bersih-bersih, semua kulakukan sendiri. Bahkan Bibi sekali pun tidak pernah melakukan pekerjaan rumah, jangankan mengerjakan ia sama sekali enggan untuk menyentuh perabotan rumah.
Aku bernapas lega setelah semua yang kukerjakan selesai, kini waktunya diriku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
"Sudah selesai?" tanya Bibi Emily saat kami berpapasan di anak tangga.
"Sudah," balasku. Ia mengangguk kemudian berlalu begitu saja dengan raut sinisnya.
"Ingat! Jangan buat ulah lagi saat di sekolah, aku enggan datang sebagai walimu." Aku hanya diam sebentar lalu kembali melanjutkan langkah menuju kamar, beberpa langkah saat aku masuk sebuah kalimat jahat terlontar dari mulut wanita itu. "Dasar anak kotor!"
***
Sepulang sekolah aku berniat mampir ke tempat Valt biasa berada, seperti saat pertama kali bertemu, mungkin? Tapi entah apakah pemuda itu ada atau tidak, karena ia akan berada di sana saat hujan turun saja.
Jadi di sinilah aku berada. Di depan sebuah kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari gedung sekolahku. Aku sendirian, memandangi area sekitar dan sesekali tersenyum hangat pada pelanggan lain yang baru saja keluar ataupun masuk.
Tanpa berpikir lagi aku membuka pintu kayu tersebut. Suara lonceng terdengar samar, aroma coffee yang khas menyeruak ke seluruh indera penciuman. Aku mengedarkan pandangan sejenak sebelum kemudian menemukan sosok yang melambai ke arahku dengan senyum lebarnya.
"Leena, apa kabar?" tanyanya ketika aku baru saja duduk di depannya.
Seulas senyum simpul aku berikan padanya sebelum mulai menjawab. "Ya, sampai saat ini cukup baik."
"Mau pesan sesuatu yang menarik?" tanyanya sembari menatapku dengan lembut. Entahlah, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi tatapan itu sekali lagi ia berikan padaku.
Sampai beberapa detik kemudian seorang pemuda menghampiri meja tempat kami duduk. Ia tampak tersenyum hangat ke arah Valt, dan dapat kusimpulkan bahwa ia mengenal baik Valt.
"Oh, hai kawan. Apa yang membawamu kemari?" tanyanya sembari menghadap ke arah Valt. Namun, detik berikutnya pemuda itu menatapku dengan tatapan bertanya tanya. "Dan-siapa gadis yang kau bawa ini?"
"Perkenalkan ini Leena," ucap Valt. Si pelayan kedai ini tampak menatapku dengan senyum hangatnya.
"Leena. Wah, nama yang cantik. Perkenalkan namaku Seth," ujarnya sambil menjabat tanganku. Aku rasa dia sangat ramah, terbukti respon baik serta sikapnya yang tak jauh beda dengan Valt.
"Hai, Seth. Senang bertemu denganmu," ucapku.
"Manis sekali." Aku tersenyum malu mendengar pujian dari Seth. Sungguh, jika seperti ini, aku tidak bisa menahan rasa manis yang berhasil membuat diriku merasa aneh.
"Kalian ingin pesan apa? Akan aku siapkan yang spe-"
"Coklat panas saja," potong Valt.
Seth mengangguk dengan paham. "Baiklah, baiklah. Eh ... dan kau Leena?" tanyanya padaku. Belum sempat aku menjawab Valt sudah mendahuluinya.
"Sama kan saja."
Pemuda berambut pirang itu mengangguk dengan berlalu pergi. "Tidak butuh waktu lama pesanan kalian akan segera sampai," ucapnya.
Tak ada percakapan di antara kami, sampai akhirnya suara batuk kecil keluar dari mulut Valt. Aku menoleh, aku lihat dia tersenyum kearahku dengan sangat manis.
"Melamun?" tanyanya.
"Tidak, hanya saja aku-"
"Aku?" selanya. Dia tampaknya penasaran dengan apa yang ada dipikiranku.
Helaan napas keluar dari mulutku. "Aku sedikit memikirkan tentang Kakakku," ucapku sambil memandangi keluar jendela.
"Ia akan bahagia jika kau bahagia." Mendengar itu entah kenapa sedikit membuatku tenang, semoga saja yang terucap dalam mulutnya itu terjadi.
Tak lama kemudian, pemuda bernama Seth tadi datang dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman yang mengeluarkan kepulan asap di atasnya, ia meletakkan minuman itu di atas meja tempatku dan Valt berada.
"Terima kasih," ucapku dengan nada lirih.
"Tak masalah." Bukannya pergi, pemuda itu justru mengambil tempat duduk di samping Valt dan menatap kami bergantian.
"Jadi kalian ini menjalin hubungan?" tanya Seth secara tiba tiba. Mendadak aku tersentak akan pertanyaan itu, aku bahkan hanya terpaku di tempatku sembari menunduk.
"Kami tetangga." Aku menyela pada akhirnya. Kepalaku mendongak, melihat tepat ke arah iris biru milik Valt yang menunjukkan seulas senyum-aneh, yang mana hal ini berhasil membuat tubuhku seolah tergelitik oleh ribuan bulu.
Seth tampak mengangguk-angguk dengan menyipitkan matanya, membentuk kecurigaan. "Begitu, ya? Aku pikir kalian ini ... ah lupakan saja!"
Beberapa saat setelah hal itu, keadaan di antara kami bertiga mendadak senyap. Sampai kemudian. "SETH!" Suara teriakan seseorang membuatku ikut menoleh mencari sumber suara.
"Astaga, aku rasa si meja itu mencari diriku." Seth segera beranjak dan meninggalkan kami berdua.
Ternyata kepergian Seth menyisakan diriku yang masih terasa aneh, entah ada apa denganku. Tapi rasa-rasanya ada sesuatu mengganjal setelah pertanyaan Seth terlontar.
"Pukul berapa sekarang?" Pertanyaan tiba-tiba dari Valt membuatku menoleh ke arah nya sekilas. "Ayo, habiskan coklatnya dan aku antar pulang," lanjutnya. Aku angguki saja ucapnya dengan cepat dan mulai menikmati cokelat panas itu.
***
Di jalanan beraspal pinggir kota, kami berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Yang dapat kulihat sejauh ini Valt memanglah berbeda, berbeda dalam artian karena ia tidak pernah membuatku terancam seperti kejadian di masa lampau.
Sebab kejadian di masa lalu itulah yang membuat Kak Shele selalu memarahiku jika aku pergi atau berbicara dengan orang asing. Terlebih lagi jika itu seorang lelaki. Ah, aku merindukan dia.
Tepukan dipundak kananku berhasil membuatku sadar dari lamunan masa lalu. Valt menatap seolah bertanya. Namun, aku hanya menggeleng saja meyakinkan tak ada sesuatu yang buruk.
"Lihat, kita sudah sampai tapi kau tetap melamun saja," ucapnya, "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya seolah seperti seorang kakak yang menanyai adiknya.
Kepalaku menggeleng pelan, "Tidak, tidak ada apa pun," balasku.
"Benarkah?"
"Benar," ucapku dengan semangat. Ini sebagai bentuk menghindar dari cercaan tatapan cemas yang ia berikan, sungguh, aku tidak ingin dia merasa direpotkan.
Valt mengangguk paham. "Baiklah, sekarang masuk ke dalam dan segera bersihkan dirimu." Aku hanya menatapnya dengan senyum. Perhatian kecil itu-
"Mengapa menatap seperti itu?"
"Eh-"
"Ayo, masuk sana!" perintahnya sembari mendorong pelan pundakku. Baiklah, aku menuruti ucapannya.
Ketika aku sampai tepat di depan pintu rumah, rasa takut mulai menyerang. Aku menoleh ke belakang berharap menemukan sosok Valt di sana. Namun, hasilnya adalah kekecewaan, pemuda itu bahkan sudah tak ada, entah bagaimana caranya ia pergi dengan begitu cepatnya.
"Aku harap esok ada hari untuk kita bertemu."
Perlahan aku mengirup udara dan menghembuskannya, berdoa dalam hati supaya Bibi dan Paman tidak ada di rumah.
Baru saja aku masuk ke dalam rumah bagai neraka itu. Suara melengking terdengar seolah tepat berada di sampingku.
"Dari mana saja kau?!" Aku menunduk takut, rasanya diriku tak mampu lagi menatap wajahnya yang begitu murka.
"Ah! Pergi bermain? Begitukah caramu hidup? Hanya untuk bersenang-senang?!" Wanita itu menatapku dengan penuh kemurkaan, matanya memerah sebagai simbol marah.
Dengan menunduk aku berucap lirih, "Maaf, aku hanya mampir untuk—"
"Untuk apa?! Banyak alasan yang kau berikan, katakan saja kalau kau memang bermain-main."
"Aku minta maaf, aku tidak akan mengulanginya," ujarku berusaha membuatnya berhenti marah.
Wanita itu tanpa pikir panjang langsung menarik ku ke lantai atas, mendorong ke dalam kamar dengan kasar dan mengunci pintu begitu saja.
"Please, I won't do it again."
***
Dalam benaknya pun tersimpan berbagai macam jenis luka.
***
Sang Pïanis Hujan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top