09: My Heart

Jika aku bisa, aku lebih baik memilih berdiam diri di rumah atau justru mengajukan perpindahan kelas, mungkin perpindahan sekolah akan lebih baik.

Daripada akhirnya aku harus kembali berurusan dengan orang-orang yang aku benci. Kembali, sekali lagi aku harus bertemu dengan mereka. Tiga orang pemuda jahil yang suka mencari gara-gara.

"What are you doing?"

"Ini menyenangkan, meneror masa-masa sekolahmu, aku yakin harimu lebih berwarna sekarang."

Aku menatap malas orang-orang ini, rasa kesal dan muak telah tertanam sejak pertama kali aku bertemu mereka. Dan hari ini perasaan itu bertambah kali lipat ketika dengan sengaja mereka menyembunyikan keseluruhan peralatan sekolahku. Ya! Aku tengah dipermainkan, dan ini benar-benar tidak lucu!

"Aku mohon kembalikan, tidakkah kalian lelah?"

"Ayolah, kau bisa mencarinya lebih teliti, jika bisa pun barang-barang itu akan kembali semuanya," ujar Dazt sembari tersenyum miring, tampaknya dia sangat puas melihat wajahku yang telah pasrah ini.

"Ayo, Dazt! Kita pulang sekarang!"

"Ayo!" Aku menatap tak percaya ketiga pemuda itu. "Sampai jumpa, Lein. Aku harap kau menemukannya, atau tidak kau harus membeli baru." Tawa itu lagi, benar-benar mengesalkan!

Kepergian mereka membawa bencana padaku, pasalnya di saat-saat seperti ini kenapa kejahilan mereka bertambah? Hah! Aku benar-benar ingin menyumpahi pemuda itu, aku harap dia tak pernah disukai orang-orang! Atau aku harap dia bisa merasakan di posisiku sekarang!

"Dasar, Dazt! Kau benar-benar pemuda yang paling aku benci!"

Berjam-jam aku mengelilingi kelas dan area tempat dia biasa berada. Memang satu persatu buku dan barang-barang ku berhasil aku temukan, tapi ada satu yang tak bisa aku temukan, walaupun aku telah mencarinya ke segala tempat.

"Jangan-jangan dia membuang liontinnya," gumamku yang kini memilih beristirahat di salah satu bangku taman sekolah. Aku benar-benar lelah, sudah berapa putaran kulakukan untuk menemukan seluruh barangku. "Pemuda itu! Dia benar-benar keterlaluan!"

Hari melelahkan ini aku akhiri dengan perasaan dongkol akibat ulah Dazt. Di tengah suasana matahari terbenam, aku harus pulang sendirian, menyusuri jalanan panjang sembari mengamati pepohonan rindang yang hampir ada di setiap rumah.

Sejujurnya ini menggelikan, tapi liontin itu sangat berharga. Tahu kenapa benda berbentuk bundar itu berharga? Sebab tak lain dan tak bukan, benda itu aku buat dengan susah payah hanya untuk seseorang dan sekarang? Raib sudah!

Ingin sekali aku mengutuk Dazt agar pemuda itu tak bisa bahagia dan memiliki teman, seperti apa yang aku rasakan. Rasanya jika membayang bagaimana dia tertawa mengejek dan membuat ulah hampir setiap hari, aku ingin menghampirinya dan meninju wajah itu tepat di tengah-tengah anak-anak lain.

Ah! Jalanan panjang itu akhirnya usai. Aku pun segera mengetuk pintu dan membukanya sembari berucap, "Aku pulang." Dengan nada yang cukup lirih.

"Akhirnya kau pulang gadis remaja! Bagaimana harimu? Bermain dan bersenang-senang bersama gadis-gadis lain? Atau bergabung dengan klub laki-laki?"

Aku menutup mataku sejenak, kemudian berjalan dengan sedikit cepat melewatinya. "Maaf, aku hanya terlambat saja."

"Huh! Mungkinkah kebiasaan ayahmu dahulu seperti ini? Hanya memikirkan kesenangan dan kebahagiaan," ucap Bibi Emily yang terus-menerus mengiringi langkahku sampai ke anak tangga pertama.

Aku tanpa peduli segera berlari ke atas, masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat. Hari ini rasanya aku ingin sekali berendam dan tidur sepuasnya, seperti apa yang selama ini aku mimpikan. Bebas!

Oh, tapi ingat jika itu hanya sebuah impian, yang tidak akan pernah bisa aku lakukan selama berada dalam kurungan ini.

Selesai membersihkan diri dan membereskan kamar serta barang-barang lain, aku segera turun ke bawah untuk menyiapkan makan malam. Sebenarnya, aku cukup kesulitan untuk menyiapkan semuanya sendirian, tapi mau bagaimana lagi? Bibi saja tidak pernah peduli.

"Makan malam yang buruk, bagaimana bisa dia hanya menyajikan ini dan segelas air putih. Benar-benar anak ini," gumam Bibi yang memang sebagian hanya terdengar samar di indera pendengar ku.

Malam ini aku cukup bersyukur karena waktu seolah berjalan begitu cepatnya, jadi aku bisa menghindari secara langsung percakapan memuakkan bersama keluarga kecil Bibiku.

Aku memilih pergi ke kamar saja, menghabiskan waktu dengan hanya memandangi langit dan menulis jurnal kehidupan di sebuah buku catatan pemberian kakak waktu ulang tahunku yang ke-12.

"Aku memandangnya bagai rembulan malam.

Senyum dan lengkungan bulan sabit, keduanya nyaris membuatku tak berdaya.

Hingga kini, tak ada yang bisa aku ucapkan kecuali tanda yang aku berikan.

Andai saja kau lebih tahu, mungkin setiap malam aku tak akan bercerita bersama rembulan.

Namun, andai kau tahu, apakah kau akan menatapku seperti halnya adik kecil manis?"

Betapa menyesakkan malam itu, hampir aku membuat seluruh air mataku jatuh. Merasakan perasaan terpendam pada seorang lelaki penyuka hujan, lelaki yang hampir setiap harinya memberikan senyuman manis itu.

Rasanya aku benar-benar tidak bisa memendamnya, ada gejolak aneh untuk mengungkapkan seluruh perasaanku padanya. Aku tahu, pertemuan kami tak berselang lama. Namun, dia memiliki sisi kehangatan dan kenyamanan tersendiri.

Dan itu yang selama ini aku cari.

***

|| Hati tidak pernah berbohong, kan? ||

Sang Pianis Hujan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top