01: Rain in 1965
Jendela kaca berembun. Tetesan air mengalir begitu saja di balik kaca tempatku memandangnya. Aku selalu di sini, melihatnya keluar rumah disaat hujan turun dengan deras. Entah mengapa dirinya begitu menyukai hujan. Tidak dengan diriku yang selalu membenci tahi angin yang bertambah deras seiring berjalannya detik. Bagiku hujan itu membuat beberapa tempat menjadi berlumpur dan aku sangat benci itu, kotor.
Satu lagi, jika hujan turun dengan deras yang paling tidak aku sukai adalah suara girih yang saling bertautan, menyambar satu sama lain. Bisa dibilang aku ini penakut tapi memang benar, aku tidak menyukai suara itu. Beberapa orang mungkin memiliki opini yang sama denganku. Rasanya benar-benar mengerikan, bukan begitu?
Kembali lagi kutatap makhluk lawan jenis yang sedang duduk di bangku taman, lebih tepatnya, terletak persis di depan rumahku. Jika dihitung-hitung sudah beberapa jam yang lalu ia duduk di sana, memandang hujan yang mengguyur tubuhnya.
Aku selalu cemas jika ia sakit karena hujan, rasanya ingin sekali aku keluar dan memberikannya payung. Namun, aku tahu jika Kakak tidak akan pernah membiarkan siapa pun keluar dari kamar ketika hujan tiba.
Menghela napas berkali-kali, itu yang aku lakukan, bersamaan dengan itu terlihat embun di depan kaca jendelaku. Hujan belum juga berhenti dan aku semakin khawatir dengannya. Bagaimana kalau dia sakit? Bagaimana kalau dia disambar petir?
Oh, jangan berpikir yang tidak-tidak. Mana mungkin ia disambar petir, lagi pula ia tidak membawa sesuatu yang berpotensi disambar, bukan? Baiklah sekarang tenangkan diri dan mulai berpikir.
Aku segera turun dari kursi, melangkah ke arah pintu dan mengintip dari baliknya untuk memastikan jika kakak berada di kamarnya. Dengan langkah hati-hati aku membuka dan menutup pintu kamarku, kemudian berjalan menuju tangga dan turun. Sebelum keluar, tak lupa aku mengambil payung berserta jaket hujan milik ayah dahulu.
Gagang yang terasa dingin itu mulai aku putar dengan perlahan, meredam suara agar siapa pun tidak terganggu di sore seperti ini. Aku menatap ke atas, memastikan kakak tidak terjaga akan aksi nekatku.
Menutup pintu dengan hati-hati, sekarang aku berjalan menghampiri orang yang sedang duduk di kursi besi yang sedikit berkarat itu. "Untukmu!" ucapku sembari menyodorkan jaket hujan yang aku bawa.
Orang itu menatapku dengan senyum menawan. "Tidak perlu," balasnya dengan nada bicara yang sopan dan santai.
"Bagaimana jika Kakak sakit?!" tanyaku yang sedikit menaikkan nada suara, sebab hujan yang sedikit deras itu berhasil melemahkan suara kami.
Orang itu hanya terkekeh dan melihatku kembali. "Apa kau pernah melihatku sakit?"
Ah, benar juga ya. Aku bahkan tidak pernah melihatnya absen selama musim hujan ini, tapi entahlah, ada kalanya aku tidak memperhatikan kehadirannya karena Kakakku yang sering marah dan meminta untuk tidur ketika hujan.
Tidak ada topik. Aku pun terdiam sembari berdiri di sebelahnya, tidak tahu harus berkata apa untuk saat ini. Aku lihat dia menatapku kembali dan menepuk tempat di sampingnya. Dengan senyum kecil, aku duduk sesuai perintah.
"Apa itu rumahmu?" Pertanyaan itu membuatku mengangguk sebagai jawaban. "Kau ini manis sekali." Mendengar itu membuatku tersenyum malu-malu. Walaupun, aku sadar jika dia sedikit lebih tua dariku.
"Apa Kakak menyukai hujan?"
Ia mengangguk dan menatapku dengan senyum hangatnya. "Tentu saja," jawabnya kemudian. Aku bisa mengingat jawaban itu memiliki nada yang sangat bahagia, seolah tidak ada beban apa pun di dalam dirinya.
"Kenapa?" tanyaku. Saat ini aku sangat ingin mengatahui apa pun tentangnya, entah kenapa tapi dia benar-benar tampak mengagumkan.
Pertanyaan dariku itu membuatnya seperti berpikir sejenak, sedetik kemudian ia tersenyum kecil dan menyentuh depan dadanya. "Ada ketenangan di sini."
"Di sini?" Aku mengikuti apa yang ia lakukan, menyentuh dada kiri letak jantung berada. Aku bisa merasakan degup jantung yang terasa samar-samar dalam diriku.
"Ya," balasnya. Lagi-lagi senyum indah dan hangat itu tidak pernah tertinggal dalam setiap ucapannya.
Menit berikutnya ia menghadap diriku dan bertanya. "Oh iya, siapa namamu?" tanyanya.
"Namaku Leena, L-E-E-N-A." Ia terkekeh mendengar ucapanku, apa itu terlalu buruk? Aku mengejanya karena banyak sekali orang yang salah dengan itu. Bahkan Bibiku sendiri sering lupa.
"Aku tahu cara mengejanya, Leena."
Mendengar itu aku ikut tertawa kecil. Kini aku menatapnya dengan lekat. "Nama Kakak?" Pertanyaan itu berhasil aku luncurkan padanya sedetik yang lalu.
"Namaku Valt, V-A-L-T." Jawabnya itu mengikuti apa yang aku lakukan tadi, sungguh dia benar-benar manis. Valt kemudian tertawa akan ucapannya sendiri, begitu pula dengan diriku yang ikut-ikutan tertawa karenanya. Memang, tawa itu menjadi sebuah ciri khas akan dirinya.
"Umurmu berapa, Leena?"
Aku terdiam dan menghitung-hitung mengunakan jariku. "12 tahun," jawabku mantap. Bahkan, aku tidak yakin dengan umurku sendiri. Karena yang aku inggat saat itu, di umur yang masih belia aku telah dituntut menjadi dewasa.
"Kau kecil sekali," komentarnya saat tahu umurku.
"Umur Kakak berapa?"
Orang itu tampak terdiam sejenak, baru beberapa detik kemudian membalas dengan nada lembutnya. "Umurku 18 tahun."
"Kakak besar sekali." Ia kembali tertawa dan mengambil alih payung yang sedari tadi aku bawa.
"Suatu saat kau akan menjadi dewasa, bukan?" Aku menatapnya, melihat wajah tampan yang tampak pucat itu. Sungguh, iris matanya yang tenang dengan seulas senyum di bibir manisnya.
"Bagaimana rasanya jadi orang dewasa? Apakah menyenangkan?" tanyaku penasaran. Pasalnya aku memang ingin tahu bagaimana perasaan orang orang dewasa. Menghadapi masalah besar, mungkin? Atau jadwal padat yang harus dijalani?
"Tergantung," balasnya dengan singkat. Justru karena balasan itu semakin membuatku sedikit bingung akan ucapan anehnya. "Tergantung bagaimana caramu menjalaninya, jika kau anggap mudah maka akan menyenangkan begitu pun sebaliknya," terangnya dengan jelas dan rinci.
Ia tersenyum dan menatapku dengan pandangan hangat. "Anggap saja menyenangkan." Ucapannya itu mungkin masih melekat dalam benakku. Memberiku sebuah makna tentang masa depan.
Ngomong-ngomong, entah bagaimana bisa orang itu memiliki senyum hangat yang membuatku nyaman dan tenang. Tidak seperti kebayakan orang yang selalu menganggapku remeh. Walaupun, ini pertama kalinya aku berkenalan dengan orang asing seperti Valt. Namun, dalam benakku ada rasa aman.
Aku menatap orang disampingku ini dan menyentuh tangannya yang dingin itu. "Kak Valt," panggilku.
Tampak sekali ia sedikit terkejut. Namun, aku tidak terlalu jelas untuk melihat rautnya yang pasti, karena cahaya mentari yang mulai hilang serta malam semakin berkuasa akan kedudukannya.
"Ya?" tanyanya sembari menungguku membuka suara kembali.
"Aku harus kembali," ujarku dengan pelan. Sebenarnya aku masih ingin duduk di sampingnya dan bercerita banyak hal, tapi aku takut. Takut jika Kakakku akan marah.
"Oh, baiklah."
"Apa kakak tidak akan pulang?" tanyaku sekadar memastikan.
"Aku akan menunggu sampai hujannya reda," jawabnya sembari menatap ke atas, tangan kanannya terulur menyentuh bulir-bulir hujan yang turun. "Mereka terlalu sayang untuk dilewatkan," lanjut pemuda itu.
Melihat diriku yang masih berdiri di sana membuatnya kembali bersuara. "Lebih baik kau pulang sebelum ia memarahimu." Ucapan Valt membuatku sedikit takut karena membayangkan bagaimana kalau Kakak tahu.
Namun, sebelum aku benar-benar pergi dia sempat menyekal tanganku dan menariknya pelan. Ia memberikan payung hitam itu kembali, sembari tersenyum pastinya. Melihat aksinya, aku segera menolak kembali payung itu. "Kakak pakai, aku masih memiliki jaket ini."
Dia tampak ragu, tapi detik selanjutnya Valt menunjuk jaket yang sedari tadi ada di tanganku. "Janji akan pakai itu?"
Aku menatap sekilas jaket itu, aku tidak bisa menampik fakta bahwa tubuhku memang menggigil karena dinginnya malam bersatu dengan hujan. Kini aku berdiri, memasangkannya. Dengan begitu juga, Valt ikut bangkit dan tetap melindungiku dari buliran hujan.
"Tidak akan ada setetes air yang mengenaimu," ucapnya. Tangan kanannya itu bergerak ke belakang kepalaku, menarik tudung dari jaket besar yang kini aku kenakan. Entah jaket ini yang terlalu besar atau tubuhku yang memang kecil, sampai seluruh tanganku tenggelam.
"Terima kasih, aku akan pulang." Segera aku berlalu pergi. "Sampai jumpa Kak Valt!" Aku melambaikan tangan dan ia membalasnya. Segera kakiku ini berlari ke arah rumah lantai dua di depanku dan masuk dengan perlahan.
"Apa yang kau lakukan?!" Aku langsung tersentak kaget dan menatap ke lantai atas. Kakakku, Sheena sedang berdiri di puncak tangga dan menatapku dengan tatapan tajam. Aku tak bisa mengucapkan apa pun, yang aku bisa hanya memohon agar Kakak tidak memarahiku untuk malam ini.
"Kau tahu jika di luar hujan!" bentaknya, ia menuruni tangga dan mendudukkan diriku di sofa. "Sudah aku bilang jangan pernah mendekati orang asing!"
Aku hanya menunduk dan meremas tanganku. "Ta—tapi dia kasian," balasku dengan nada yang sedikit takut.
"Sekali tidak tetap tidak! Ingat, Lein!" Ia membanting sebuah vas bunga di depanku dan berjalan menaiki tangga. Mataku berkaca-kaca menatap kepergian Kakakku, dengan langkah pelan aku menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Menangis.
Saat kulihat dari jendela kamar, orang itu sudah tidak ada di sana, ia sudah pergi. Aku hanya menghela napas berat. "Hujan, sampai jumpa."
Kak Sheena atau biasa dipanggil Shele, dia adalah seorang perempuan yang sangat baik, walaupun terkadang suka memarahiku. Namun, aku tahu kemarahannya itu sebagai bentuk sayang padaku. Perempuan cantik berambut coklat itu selalu ada untukku selama ini. Kakakku bahkan rela tidak melanjutkan sekolahnya karena mengurusku dan rumah ini, terkadang aku melihatnya berpakaian rapi dan kembali saat sore hari. Itu artinya kakak bekerja juga.
Di dalam rumah ini hanya ada kami berdua dan juga Bibi. Namun, untuk beberapa hari ini Bibi tidak ada di rumah di karenakan sedang melakukan perjalanan ke luar kota bersama teman-temannya. Dia termasuk sosialita yang gemar melalukan perkumpulan dengan teman-temannya.
Orang tuaku sendiri meninggal dua tahun yang lalu, disebabkan kecelakaan maut yang menimpa saat mereka hendak pergi ke luar kota untuk menghadiri sebuah konser ternama. Dahulunya, ayah seorang penulis lagu dan ibu seorang desainer, mereka cukup sibuk dan jarang menemui kami.
Bahkan sebenarnya, sebelum tinggal bersama Bibi, aku dan Kak Shele tinggal di rumah nenek yang berada di sebuah perumahan Greenpark yang berada di Mullingar, Irlandia. Namun, karena nenek telah meninggal akhirnya kami ditampung oleh Bibi yang kebetulan belum berkeluarga.
Di umurku yang masih sangat kecil, mungkin terdengar sedikit mengherankan karena kehidupan keluargaku yang sudah berantakan. Yatim piatu dan jauh dari orang-orang di luar sana. Ya, aku mengakui walaupun sekarang aku ini sekolah, tapi aku tak memiliki teman sama sekali. Mereka menjauhiku.
Kilasan kecil itu membuat diriku menatap kembali suasana di luar sana. Hujan telah usai, hanya rinai kecil yang membasahi sebagian kecil tempat dan kini langit telah berganti warna menjadi gelap karena malam telah tiba. Aku pun bangkit dari letakku duduk dan bersiap untuk mandi.
Setelah selesai dari mandi, bersih-bersih dan merapikan kamarku kini waktunya diriku untuk menyelami dunia bawah sadar. Aku menatap ke arah pintu kamar, biasanya Kak Shele akan datang dan memberiku ucapan, mungkin untuk malam ini tidak.
"Aku tahu dia tidak akan datang bersama pesawat kertasnya," lirihku.
Dengan perasaan aneh aku mulai menutup mata dan merilekskan diri, untuk malam ini saja aku harap aku bisa merasakan mimpi yang benar-benar sempurna. Tanpa rasa hampa, kecewa atau pun ketakutan.
~
"Awal dari pertemuan itu tidak terduga."
Sang Pïanis Hujan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top