Bab 7: Pelatnas
Kosong.
Aku mengernyitkan alis pada layar laptop yang menampilkan folder hampa tersebut -- namun belum sempat aku mengolahnya dalam pikiranku, ponselku berdering. Aku tersenyum kecut memandang nama pemanggilnya.
Lavina Kartika.
"Halo, Elka. Waktu yang tepat. Kamu pasti tahu aku sedang membuka flash disk pemberian Bu Gisella," ujarku tanpa berbasa-basi.
Elka tertawa dari seberang telepon. "Ada notifikasi yang memberitahuku kamu melakukannya," sahutnya ringan.
"Oke, jelaskan, kenapa kosong?"
"Ada di panduan misi, Nar. Folder itu harus kita yang isi, setelah kita mengumpulkan data-data di lapangan," ujar Elka. "Penumbra menganut asas praduga tak bersalah. Kalau sudah ada nama para tersangka penggelap dana, pasti mata kita tertuju ke sana. Secara tak langsung, kita jadi bias, ingin menyudutkan mereka. Penumbra nggak mau itu terjadi."
"Oh," ujarku. "Lalu sebenarnya Penumbra sudah punya nama-nama tersangka?"
"Menurutmu?" Elka tertawa lagi. "Pasti ada, tapi mereka nggak akan memberitahu kita, Nar."
Aku menghela napas dan ikut tertawa pahit. Perasaan ini -- dibebankan tugas namun tak berdaya -- familiar bagiku, mirip dengan pengalamanku saat menjadi pesuruh Tiara. Aku lebih suka diberikan satu set instruksi yang jelas dan mendetil, tak perlu menebak atau menduga, karena tinggal kuikuti dengan pasti, daripada berhadapan dengan ketidakpastian seperti ini. Anehnya, beberapa orang merasa nyaman dengan ketidakpastian -- bahkan sanggup merancang rencana A, B, sampai Z untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.
"Terus buat apa kamu telepon aku, El?" tanyaku lagi.
"Aku cuma mau ingatkan kamu, Nar. Hati-hati saat membuka folder ini atau menyimpan dokumen bukti ke dalam folder ini. Jangan sampai ada yang melihat. Kalau aku yang buka juga sama, kamu akan mendapat sinyal notifikasi. Jadi kita bisa saling mengingatkan. Begitu aja, sih," jawab Elka.
Entah aku harus percaya sepenuhnya pada Elka atau tidak. Ia tampak lebih berpengalaman dariku. Bisa saja ia menyembunyikan sesuatu. Namun aku tak dapat berbuat apapun kecuali ikut aturan main Penumbra.
Lagipula, aku bersemangat kembali ke pelatnas PB TI. Ini pertama kalinya aku menjadi pelatih tim nasional taekwondo. Mereka merupakan keluarga kedua setelah keluargaku yang sebenarnya.
"Oke, deh, aku tutup dulu, ya, El. Selamat malam." Aku mengakhiri pembicaraan.
"Malam, Nar," balas Elka.
.
.
.
-- Senayan, Jakarta Selatan, 10:00 WIB
Kawasan Senayan Trade Center (STC) masih sepi pengunjung walaupun gedung perkantoran telah sibuk beraktivitas seperti biasa. Toko-toko baru buka, dan para pegawai sibuk menata dagangan dan merapikan etalase. Aku janjian bertemu dengan Elka di pelataran parkir STC sebelum bersama-sama berangkat ke kantor PB TI yang terletak di dalam STC. Perempuan berkulit sawo matang itu turun dari ojek online dan membuka helmnya, lalu tersenyum dan melambai ke arahku. Aku balas menyapanya.
Hari ini kami akan diberikan briefing oleh Letjen (Purn.) Andika Prasetya, ketua PB TI, dan Fadhil Damayanto, ketua bidang pembinaan prestasi untuk persiapan Asian Games, yang juga merupakan mantan atlet taekwondo di era 1990-an. Pada tahun 2007 sampai 2010, beliau melatihku dan rekan-rekanku di pelatnas hingga kami mencapai puncak kejayaan.
"Hai, Danar, apa kabar? Lama nggak berjumpa." Fadhil menggenggam erat tanganku dan menepuk punggungku.
"Baik, Mas Fadhil. Saya senang bisa bertemu lagi dengan Mas Fadhil," ujarku sambil tersenyum.
"Saya juga," sahut Fadhil. "Dan ini pasti Mbak Lavina?"
"Panggil saya Elka, Mas," ujar Elka.
"Selamat bergabung dengan pelatnas." Fadhil menjabat tangan Elka. "Pak Andika sebentar lagi datang. Kalian duduk dulu, biar saya pesankan minuman. Mau minum apa?"
"Apa aja boleh, Mas," sahutku.
Fadhil memanggil bawahannya dan meminta empat gelas teh tawar untuk kami. Sambil menunggu kedatangan Pak Andika, kami mengobrol ringan -- lebih tepatnya Fadhil dan Elka saling bertanya jawab -- dan aku mendengarkan saja. Aku lega karena Fadhil memerhatikan Elka terlebih dahulu sehingga aku tidak perlu bicara.
Sayangnya, selang beberapa menit kemudian, ia berpaling ke arahku.
"Gimana keadaanmu, Danar? Adikmu udah sembuh?" Fadhil tahu sedikit kisah Wulan yang sakit karena aku pernah menceritakan hal itu kepadanya saat ia masih menjadi pelatihku.
Aku mengangguk. "Jauh lebih baik."
"Dan katanya kamu pernah jadi bodyguard orang-orang kaya? Ceritain, dong, sedikit," pinta Fadhil lebih lanjut.
Aku terdiam sejenak, berpikir harus mulai dari mana. Untunglah kedatangan Pak Andika menyelamatkanku. Begitu sang jenderal datang, kami bangkit berdiri dan memberi hormat kepadanya. Pak Andika menjabat tangan kami satu persatu, mulai dari Fadhil, aku, lalu Elka. Kemudian ia duduk di sofa yang memuat satu orang.
Seperti penampilan pensiunan tentara pada umumnya, Letjen (Purn.) Andika masih tegap dan gagah. Meskipun ia mengenakan pakaian kasual, caranya membawakan diri menunjukkan bahwa ia terlatih secara fisik dan mental. Gaya bicaranya pun tegas namun ramah, tidak galak. Fadhil memperkenalkan aku dan Elka kepada Pak Andika secara singkat, lalu acara briefing pun dimulai.
"Jadi begini," Fadhil memulai pembicaraan sambil menyerahkan tiga kopi lembaran kertas kepada Pak Andika, aku, dan Elka. "Seleksi pelatnas tahap pertama sedang berlangsung. Berdasarkan prestasi, kami akan menyaring tiga puluh atlet untuk disertakan dalam pelatnas tahap pertama. Nantinya kita akan mengirim duabelas orang, enam putra dan enam putri, ke Asian Games. Kita pakai sistem ranking -- atlet yang menunjukkan performa baik akan dipertahankan, sedangkan atlet yang performanya buruk akan dipulangkan. Coba lihat halaman pertama, di sana ada daftar nama atlet yang sudah kita panggil ke Senayan."
Aku membaca daftar nama yang tertera di halaman pertama dokumen yang kupegang. Sebagian besar sudah kukenal. Mereka merupakan juniorku saat aku masih menjadi atlet profesional, dan ada beberapa yang seumuran denganku namun belum pensiun. Melihat nama-nama mereka membawaku ke dalam kenangan masa lalu yang menyenangkan walaupun karirku harus berakhir pahit.
.
.
.
Samarinda, Juli 2008
"Mas Danar!"
Suara perempuan yang kukenal itu memanggilku. Aku mengangkat kepalaku dan mengalihkan pandanganku dari kepingan emas yang menjuntai di leherku -- medali PON (pekan olahraga nasional) pertamaku. Wajah cantiknya memicu otakku untuk mengingatkan namanya.
Giani Paramita. Mahasiswa tingkat dua jurusan broadcast journalism dari London School of Public Relations di Sudirman, Jakarta Selatan.
Kami pertama kali bertemu di Senayan tahun lalu, sekitar bulan Juni-Juli juga. Saat itu, Giani baru saja menyelesaikan tahun pertamanya dan sedang magang di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta. Tentu saja ia belum menjadi wartawan magang. Katanya ia lebih seperti pesuruh yang diperintah oleh wartawan sungguhan.
"Giani? Kok bisa di sini?" tanyaku.
"Aku lagi magang, terus kantorku nugasin aku buat meliput PON di Samarinda. Makanya aku kemari. Sekalian jalan-jalan," cerocos gadis itu sambil tertawa riang. "Selamat, ya, meraih medali emas! Keren banget sumpah, Mas!"
Aku tersenyum, lebih disebabkan oleh keceriaan Giani daripada kebanggaanku mendapat medali. Maksudku, aku bangga meraih medali emas, namun perasaan itu sudah lewat setengah jam yang lalu. Sekarang hatiku lebih berbunga-bunga memandangi wajah ekspresif gadis cantik ini.
"Makasih, Gi."
"Sekarang aku mau wawancara kamu, ya. Kita duduk di sana aja, yuk! Di sini panas banget seriusan," ujar Giani sambil menunjuk ke arah kursi plastik kosong di bawah tenda.
"Emang kamu udah jadi wartawan beneran?" Aku tak tahan menggodainya.
Giani manyun. "Aku emang itungannya masih magang, tapi aku udah dapet name tag buat pers, loh!" Ia memamerkan kartu yang terkalung di lehernya, bertuliskan Giani Paramita, pers X-zone. "Terus aku emang nggak ditugasin buat wawancara kamu, sih, tapi buat latihan lumayan, kan. Mau, ya? Mau, ya?"
"Oke." Kebetulan aku juga tidak sibuk, hanya diwawancarai satu atau dua stasiun televisi. Maklum aku bukan atlet dari cabang olahraga populer.
Senyum cerah Giani kembali lagi ke wajahnya. Ia memimpin jalan ke tempat yang tadi ditunjuknya. Setelah kami memosisikan diri saling duduk berhadapan, Giani mengeluarkan buku catatan dan alat perekamnya. Ia terlihat serius dan profesional.
"Nanti aku usulin ke Bos biar dimasukin ke liputan," ia memberitahuku. "Oke, udah siap, Mas?"
Aku mengangguk.
Giani melontarkan pertanyaan seputar kemenanganku dan persiapanku -- apa saja yang kulalui sebelum mencapai keberhasilan ini. Caranya bertutur lancar dan fasih. Bandingkan denganku yang hanya sanggup menjawab dengan pendek saja. Namun Giani dengan piawai mendorongku untuk menceritakan lebih banyak, memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan kritis namun tidak memaksa, sehingga aku tetap merasa nyaman. Aku sangat kagum dengan kepribadian gadis ini.
Tanpa kusadari, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
.
.
.
Senayan, Agustus 2017
Beberapa titik di Istora Senayan sedang direnovasi. Namun arena taekwondo masih belum tersentuh. Kami berempat masuk ke dalam dojang dan menyaksikan beberapa atlet profesional DKI Jakarta sedang berlatih tanding. Kedatangan kami menghentikan kegiatan mereka. Seorang lelaki berusia seumuran denganku melebarkan matanya, lalu setengah berlari menuju ke arahku, dia menepuk punggungku dan menggenggam tanganku erat.
"Eh, Danar! Lama nggak main ke sini, bro!" serunya.
Irwan Tirtohadi merupakan sahabatku sejak di SMA Ragunan. Boleh dibilang dia sudah seperti saudaraku sendiri. Kami sama-sama membela DKI Jakarta, sering mengikuti turnamen yang sama, dan bahkan beberapa kali turun di kelas yang sama, walaupun Irwan lebih sering disuruh mengikuti kelas satu tingkat di bawahku karena postur tubuhnya sedikit lebih kecil dariku. Bedanya, ia masih aktif bertanding di usianya yang ketigapuluh satu ini. Ia juga sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Kami masih sering berhubungan, hingga ketika aku bekerja untuk Tiara.
Aku tersenyum kecil. "Iya, nih, Wan. Klien terakhir lumayan lama minta jasaku."
"Hm, aneh juga. Jadi bodyguard doang, kan? Nggak ada yang lain-lain, misalnya dipacarin?" ledek Irwan.
Aku menggeleng cepat. "Dia emang klien paling kaya yang pernah kutangani. Makanya minta perlindungan ekstra."
"Anyway, aku senang kamu dateng ke sini lagi, meskipun aku nggak nyangka kamu jadi pelatih sementara aku masih bertanding. Padahal tuaan aku."
Hanya dua bulan. Irwan lahir bulan Maret, sedangkan aku bulan Mei.
"Aku bukan melatih kelasmu, sih, Wan. Dari briefing tadi, aku kebagian melatih tim putri," sahutku.
Tawa Irwan menyembur. "Hokinya mereka, dong. Eh, kamu belum kenalan sama beberapa anak baru, kan? Sini biar kenalan dulu."
"Sekalian sama Elka juga." Aku tak melupakan rekan kerjaku.
"Oiya, Mbak. Kenalin, Irwan," ujar Irwan sambil mengulurkan tangannya.
"Elka," balas sang pemilik nama.
Sementara Fadhil dan Pak Andika masih berbincang-bincang di tepi lapangan, Irwan memanggil Oka Solihin, mantan senior kami yang kini berprofesi menjadi kepala pelatnas Asian Games. Oka menginstruksikan anak-anak asuhannya untuk berbaris dalam lima banjar, kemudian memperkenalkan nama dan daerah asal. Namun sebelumnya ia mengenalkan aku dan Elka terlebih dahulu.
"Nah, beberapa dari kalian mungkin udah kenal sama Danar. Mantan atlet dari DKI, peraih perunggu Asian Games 2010. Danar, nanti bagi-bagi tips, ya, buat memotivasi anak-anak biar dapat medali seperti kamu," ujar Oka.
"Semoga kalian bisa lebih baik dari aku," tuturku. "Harus emas, ya!"
"Siap!" sahut para atlet serentak.
"Danar akan menangani tim putri. Asistenmu ada dua, yaitu Audrey Karissa dan Heri Maulana," ujar Oka.
Para atlet putri berbisik-bisik di antara mereka sehingga Oka harus menertibkan mereka kembali. Selanjutnya ia memperkenalkan Elka sebagai ahli gizi. Elka tidak akan banyak berurusan dengan para atlet saat berlatih. Ia bertugas menghitung asupan nutrisi yang diperlukan mereka setiap harinya.
Kemudian giliran para atlet memperkenalkan diri mereka. Dari tigapuluh orang, aku mengenal baik delapan belas orang karena pernah bergabung dalam pelatnas yang sama. Tujuh orang lainnya kukenal sebatas wajah dan nama saja -- kami tak pernah berlatih bersama namun aku pernah bertemu mereka di pertandingan daerah.
Sedangkan lima orang lainnya belum kukenal sama sekali: Yusuf Aji Kuncoro, 19 tahun, dari Riau. Ridho Satrio Wirawan, 20 tahun, dari Kalimantan Tengah. Shella Wiandralya, 23 tahun, dari Bandar Lampung. Ananda Rahman, 23 tahun, dari Jawa Timur. Terakhir, Made Dahlia Srinatha, 24 tahun, dari Bali.
Aku berusaha menghafal nama dan wajah mereka. Khususnya Shella dan Dahlia yang akan menjadi anak asuhanku.
Setelah perkenalan, aku dan Elka kembali berkumpul dengan Pak Andika dan Fadhil untuk membicarakan strategi kami. Kali ini Oka ikut bergabung. Ia menjelaskan peta persaingan atlet internasional yang sudah lama tak kuikuti sejak aku menjadi bodyguard Tiara. Menurutnya, Shella berpeluang meraih emas, namun ia harus turun kelas.
"Anaknya berbakat dan bersemangat, tapi suka moody. Makanya dia baru kepanggil pelatnas sekarang, padahal lainnya masih usia delapan belas, sembilan belas sudah sering dipanggil," ujar Oka.
"Dia ada di kelas mana sekarang?" tanyaku.
"Kelas bantam (53 kg), tapi mau diturunkan ke kelas terbang (49 kg)," jawab Oka. "Beratnya terakhir 51 kg. Masih bisa diturunkan 2 kg lagi."
"Seharusnya masih sanggup," kataku. Dalam taekwondo, berat badan harus ditimbang setiap kali akan bertanding. Jika kelebihan, bisa didiskualifikasi.
"Ya, tapi nanganin moody-nya itu yang susah," kata Oka setengah tertawa.
"Kalau Dahlia bagaimana?" tanyaku.
"Sejauh ini, Dahlia masih termasuk pelengkap. Performanya masih termasuk jajaran belakang, namun bisa saja dia memberikan kejutan seperti saat menang di kejuaraan daerah kemarin," jelas Oka.
"Tolak ukur kita bukan lagi kejuaraan daerah, Mas Oka. Mereka harus mulai dipersiapkan mengikuti pertandingan internasional," tuturku.
Oka mengangguk. "Memang itu rencananya, Nar. Karena itu, mulai besok, aku mau kamu turun langsung mengamati para atlet putri dan menyiapkan rencana jangka setahun untuk mereka."
.
.
.
Bersambung.
(9 Mei 2018)
2000+ kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top