Bab 6: Sudirman

Setelah memesan taksi online, aku mengamati Wulan yang duduk di sebelahku di atas bangku panjang, mendengarkan musik melalui earphone. Menurut psikiater, musik dapat menenangkan jiwa dan mengalihkan pikiran-pikiran buruk. Wajahnya tenang, dan sesekali ia menggoyangkan ujung kakinya.

Aku tersenyum.

Di tempat ini, Wulan memang tidak menunjukkan rasa takut. Namun di area publik, ia belum merasa nyaman jika sendirian dan masih rentan terkena serangan panik. Tetap saja, kemajuannya terbilang pesat. Ia dapat berinteraksi dengan keluarga kami secara normal -- bahkan ia berusaha menanggapi Chandra apabila bocah lincah itu bertanya padanya. Maklum, anak berusia enam tahun itu baru saja masuk SD dan sedang aktif-aktifnya.

"Nanti malam mau makan apa?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam taksi.

Wulan melepas earphone-nya dan menoleh ke arahku. Aku mengulang pertanyaanku. Ia malah tertawa.

"Kok ketawa?" tanyaku. Padahal dalam hati aku sangat bahagia.

"Mas selalu nanya itu setiap kali jemput aku. Emang Mas udah lapar?" balas Wulan.

Aku menggeleng. "Tapi kita perlu mikirin makan malam juga, kan.Uni Ratna bilang padaku, Sari agak rewel hari ini, sehingga ia nggak sempat masak."

"Ya udah, aku lagi kepengen ikan goreng."

***

Begitu taksi online yang kupesan datang, aku tak mengarahkannya langsung ke apartemen kami di Suryajati Tower, melainkan ke sebuah restoran untuk mengambil ikan goreng yang kupesan untuk makan malam kami.

Sambil membayar pesananku ke kasir, aku diam-diam mengamati gerak-gerik Wulan di area terbuka. Psikiaternya mengatakan bahwa mengajaknya ke tempat umum -- sambil ditemani tentunya -- merupakan langkah awal untuk membaurkan Wulan ke antara lingkungan sosialnya. Tak mungkin aku bisa menemaninya terus. Suatu saat ia harus beraktivitas sendiri, entah berbelanja, jalan-jalan, atau melakukan kegiatan lainnya.

Wulan sudah tak perlu kutemani terus-menerus. Matanya masih mengamatiku ke mana pun aku bergerak, namun ia bertahan duduk manis di salah satu meja yang kosong. Beberapa minggu lalu, ia menempel padaku, tak mau kutinggalkan sendirian, bahkan ketika ia dapat melihatku. Setiap kali ada orang asing yang mendekat ke arah kami -- tanpa disengaja -- Wulan akan gemetaran lalu menarik napas tak beraturan. Kata dokter, aku harus menenangkannya agar ia tak terkena serangan panik.

Namun itu dulu. Sekarang ia sudah tidak seperti itu lagi. Aku bahagia.

***

Di lobby Suryajati Tower, aku melihat dua perempuan, satu lelaki, dan seorang anak kecil duduk di sofa. Tiara, Bagus, dan Lita, yang masih mengenakan pakaian kantor, bangkit berdiri begitu menyadari kedatangan kami, sementara Chandra berlari ke arahku dan memeluk kakiku.

"Om Danar!" serunya.

Aku memeluknya dengan satu tangan, karena tanganku yang lain memegang plastik makanan. Wulan berinisiatif mengambilnya agar aku dapat menggendong keponakanku itu.

"Gimana dijemput Tante Lita?" tanyaku.

Biasanya tugasku mengantar-jemput Chandra pergi dan pulang sekolah, namun karena hari ini aku berhalangan, maka Lita menawarkan diri untuk menggantikanku. Kebetulan juga Chandra pulang sore karena mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

"Seru. Aku diajak nonton video Tar Wor di hape," ujarnya.

Aku melirik ke arah Lita. "Tar Wor?"

"Trailer The Last Jedi," jelas Lita, menyebut judul film seri kedelapan Star Wars yang akan dirilis akhir tahun ini. "Dia nggak pernah diajak nonton Star Wars, ya?"

Aku meringis dan menggeleng. "Biasanya dia nonton kartun di tivi," ujarku, merasa seperti paman yang buruk.

Lita berdecak. "Nanti Chandra nonton sama Tante Lita aja, ya? Om Danar nggak usah diajak."

"Mau, Tante ... Tapi Om Danar juga diajak," pinta Chandra.

Lita tertawa. "Oke, oke, nanti kita semua nonton bareng."

Aku mengalihkan perhatianku ke arah Tiara, yang sedang mengobrol basa-basi dengan Wulan. Tak ingin menyela, aku melemparkan pandangan bertanya pada Bagus yang menunggu dengan sabar sampai ada yang memerhatikan kehadirannya.

"Ada acara apa, Gus?"

Bagus mengangkat bahu. "Tiara bilang mau ngajak kalian semua makan malam bersama di apartemenmu untuk merayakan misi barumu. Kakakmu sudah pulang?"

Aku melirik ke jam tanganku. "Sebentar lagi," jawabku. "Kenapa Tiara nggak memberitahuku lebih awal? Aku cuma bawa makanan cukup buat keluargaku saja."

"Nggak usah khawatir," sahut Bagus sambil menunjukkan kantong plastik yang dibawanya. "Ini cukup buat kita semua, termasuk keluargamu."

"Sepertinya berat, perlu kubawa sebagian?" tanyaku.

Bagus menggeleng. "Aku bisa, kok."

"Ya udah, yuk, naik ke apartemenku."

Aku memimpin jalan menuju lift dan membawa tamu-tamuku ke unit apartemenku. Uni Ratna tak terkejut melihat mereka -- sepertinya Tiara sudah memberitahu rencana kedatangannya pada Uni Ratna. Ia sengaja tak bilang padaku karena ingin mengejutkanku. Walaupun aku tak begitu suka dengan kejutan, aku mengapresiasi perbuatannya.

"Agak berlebihan, sih, Ti," protesku. "Aku bahkan nggak pergi jauh-jauh, cuma di Senayan."

Tiara mencomot sirip ikan gurame goreng yang kubeli dan memasukkannya ke mulutnya. Ia memang tak tahu diri. Padahal aku sedang membuka plastiknya dan meletakkan ikan itu di atas piring besar.

"Mau juga, Om Danar," ujar Chandra yang melihat aksi Tiara.

"Nanti kesedak duri. Kamu makannya ayam goreng," sahutku, meskipun aku sedikit tak tega melihat wajah jagoan kecilku merengut.

"Kalau nggak ada duri nggak apa-apa, kan?" komentar Tiara sambil mencomot daging ikan dan menyuapkannya ke mulut Chandra.

"Ti, kamu ..." protesku.

Ia mengabaikanku. "Kalau kamu cuma di Senayan, kenapa Pak Alfred sampai menyuruhmu cuti dari timku?"

"Aku harus totalitas, fokus seratus persen membina timku," ujarku. "Makanya aku sampai pindah tinggal di asrama atlet juga."

Tiara mengangguk, namun ia tak puas. Tangannya mencomot daging ikan lagi.

"Kamu beli makanan apa?" tanyaku, melongok ke arah makanan yang sedang dipindahkan Uni Ratna ke piring-piring lauk, berharap Tiara tak menyerang makananku saja. Aku melihat ayam goreng sambal ijo, tumis bunga pepaya, pepes jamur, serta tahu dan tempe goreng.

"Masakan Sunda," sahutnya sambil tersenyum, sepertinya ia membaca pikiranku. "Ya udah, aku duduk di sofa aja."

Ia menyusul Bagus dan Lita yang duduk di sofa ruang tengah. Lita sedang memangku Sari -- yang kini berusia empat bulan -- dan Bagus sedang mengajak main cilukba dan membuatnya tertawa. Mereka terlihat alamiah bermain dengan anak-anak. Tidak demikian aku, aku hanya bisa dekat dengan keponakan-keponakanku saja.

Tak lama kemudian, Mas Prad pun pulang. Kami mulai santap malam dan mengobrol, membahas pekerjaan baruku sebagai pelatih di PB TI. Tentu saja kami tak mengungkit bahwa ini adalah misi baru yang ditugaskan oleh Penumbra. Bahkan aku tak memberitahu Tiara, Bagus, dan Lita mengenai penyelidikan yang harus kulakukan bersama Elka karena aku tak tahu apakah aku boleh menceritakannya -- aku jadi ingat aku belum melihat isi dokumen yang diberikan Bu Gisella kepadaku.

Ah, aku tak ingin memikirkannya sekarang. Aku ingin menikmati kebersamaan dengan keluarga dan sahabat-sahabatku. 

.

.

.

Juni 2017

"Danar, kamu dipecat," ujar Tiara dari atas panggung, matanya terarah padaku.

Kami sedang merayakan ulang tahun Tiara yang keduapuluh enam di salah satu restoran ternama di Jakarta. Tak main-main, ia menyewa seluruh lantai dua restoran sehingga tidak ada pengunjung lain selain para undangannya. Meskipun ekslusif, namun acara ini tak terlalu mewah. Tiara hanya mengundang teman-teman terdekatnya. Selain Bagus dan Lita, tamu yang kukenal hanyalah Serafina, mantan klienku itu, dan Ilona, partner-nya di Rosetta yang kini menjadi CEO setelah Tiara meninggalkan bisnis butiknya itu demi mengelola CyberTech.

Aku berhenti mengunyah dan membalas tatapannya dengan penuh tanda tanya. Dipecat? Apa maksudnya? Kukira dia menyukai kinerjaku? Berbagai pertanyaan mengerumuni otakku. Namun, sebelum aku melontarkan responku, sang sosialita telah membuka mulutnya lagi.

"Maksudku, aku memberikan kesempatan padamu untuk memulihkan diri," lanjut Tiara. "Kamu sudah berjasa banyak padaku, Danar. Kamu bodyguard paling berkesan yang pernah bekerja denganku, padahal aku yakin ini bukan pilihan pertamamu. Oleh sebab itu ..." ia berhenti sejenak, "... aku menawarkan pekerjaan lain untukmu, yaitu menjadi pelatih kepala di Klub Pumsae Ragunan."

Mulutku spontan terbuka. Untung kuenya sudah kutelan. "Mana mungkin ... Klub Pumsae Ragunan sudah digusur belasan tahun lalu, Tiara."

Tiara menggeleng. "Aku membeli bangunan tempat klub itu tadinya berdiri, lalu merenovasinya menjadi klub taekwondo lagi. Aku tahu seberapa berharga tempat itu untukmu. Ini hanya sedikit ucapan terima kasihku karena sudah membantuku."

Sial. Aku merasakan mataku berkaca-kaca. Tiara turun dari panggung dan memelukku. "Pria sejati tak perlu malu menangis," bisiknya.

Aku buru-buru mengusap mataku dengan tangan. Ia menepuk punggungku sebelum kembali ke panggung dan memberikan apresiasi kepada teman-teman lainnya, termasuk Lita dan terakhir Bagus. Ketika ia selesai, ia turun dari panggung dan disambut oleh kekasihnya, yang menghadiahinya ciuman hangat di kedua pipinya.

***

Ternyata pemberian Tiara bukan hanya pekerjaan baru. Aku semakin terkejut mengetahui ia menyiapkan satu unit apartemen untuk keluargaku di Suryajati Tower. Tempat yang sama dengan tempat tinggalnya sekarang. Hanya saja, katanya, gedungnya berbeda, karena ia tahu aku pasti protes jika ia memberikan unit yang terlalu mahal.

"Bukan diberikan, sih. Kalian tetap harus bayar sewa. Tapi aku kasih diskon khusus buat kalian. Aku tahu kamu nggak mungkin mau dikasih unit gratis, ya, kan?" ujar Tiara.

"Ini berlebihan, Tiara."

"Omong kosong. Kalau kamu masih aja enggan, aku ... aku ..." Sepertinya ia kehabisan ide akan mengancamku dengan apa lagi.

Aku tertawa kecil. "Aku nggak mau berutang terlalu banyak padamu, Ti. Aku baik-baik saja, serius."

"Sombong."

Aku melotot. "Kamu bilang apa?"

"Kamu itu sombong, Nar. Kamu nggak membiarkan aku mengucapkan terima kasih dengan caraku sendiri. Kamu pikir aku nggak menghargai bantuanmu untuk kegiatan vigilante-ku? Mungkin awalnya kamu terpaksa karena kugaji, tapi keterlibatanmu di aksi-aksi yang kemudian hari bukanlah keharusan." Mata Tiara menuju kaki kiriku yang masih dibalut sepatu khusus. "Kamu sampai cedera dan terluka begini. Percayalah padaku kalau aku bilang kamu layak mendapatkannya."

Aku menggeleng. "Kamu juga udah berbuat banyak untukku. Membayar biaya perawatan Mas Prad sampai dia sembuh. Menolong Wulan dari psikiater gadungan itu. Menuntaskan dendamku pada Sujatmo dan Doni. Kurasa, tanpa perlu ini semua, kita sudah impas."

Tiara menghela napas dan bersandar ke dinding di sebelahku. "Kalau ada yang kupelajari selama duapuluh enam tahun hidup di dunia, jumlah uang yang dimiliki seseorang dapat menjadi faktor pembeda untuk masa depan mereka. Katakanlah, dua orang yang sama-sama berbakat dan memiliki potensial untuk sukses, namun yang punya uang lebih banyak memiliki peluang lebih besar untuk maju. Karena uang bisa membayar pendidikan, logistik, transportasi, dan tetek-bengek lainnya."

"Kamu benar. Tapi ..."

Tiara mengangkat tangannya. "Aku belum selesai," potongnya. "Dunia ini nggak adil, Nar. Kamu pasti lebih tahu soal ini daripada aku. Lihat, orang-orang yang terlahir di keluarga kaya. Lalu lihat dirimu, atau Bagus. Aku tahu kalian pekerja keras dan berintegritas. Tapi apakah kamu bisa mencapai sepersepuluh kekayaan mereka? Entahlah, mungkin bisa, kalau kamu membuka usaha dan sukses seperti Mark Zuckerberg. Tapi lebih mungkin enggak. Yang kaya tetap kaya, dan yang miskin tetap miskin.

"Yang kulakukan ini hanya mendongkrakmu sedikit, supaya kamu dapat mewujudkan potensimu, tanpa harus mencemaskan keluargamu. Kenapa aku menyembuhkan Mas Prad? Yah, selain karena orang sakit memang seharusnya disembuhkan, juga karena aku nggak mau kamu mencemaskan kakakmu dan nggak bisa bekerja dengan baik. Sama halnya dengan Wulan. Dan sekarang aku memberikan unit ini untukmu supaya kamu nggak perlu mencemaskan keluargamu. Mereka layak mendapat hunian yang baik. Pendidikan yang baik. Semua ini supaya orang-orang baik dan jujur sepertimu bisa bertahan di dunia yang kejam."

Aku menatapnya penuh haru. Tak kusangka, wanita sosialita yang angkuh dan cenderung narsis ini memiliki pemikiran yang begitu mendalam.

"Dan ingat, aku nggak kasih gratis, loh. Kalian tetap harus bayar. Jadi kalian nggak berutang padaku. Dan kamu masih harus membantuku dalam aksi vigilante-ku kalau kamu udah sembuh nanti. Ngerti?"

Oke, aku tarik kembali kata-kataku barusan. Dia memang baik kalau ada maunya. Atau itu hanya kedoknya supaya aku tak merasa tak enak padanya. 

.

.

.

Agustus 2017

Malam itu, setelah Tiara, Bagus, dan Lita pulang, aku beristirahat di kamarku, berbaring di atas tempat tidur twin size-ku, merenungkan kejadian yang terjadi hari ini. Aku mengulang apa yang harus kukerjakan di dalam pikiranku. Aku belum mengepak pakaianku. Tidak heran, karena Pak Alfred baru mengabariku dua hari lalu. Masa kepelatihanku baru resmi Senin depan. Tetap saja, ini terasa sedikit aneh. Terlalu terburu-buru. Pasti ada sesuatu yang mendesak sehingga mereka buru-buru menugaskanku dan Elka ke PB TI.

Atau sebenarnya tidak buru-buru?

Aku melirik ke USB flashdisk yang berada di atas nakas di sebelah tempat tidurku. Penasaran dengan isinya, aku meraihnya dan mencolokkannya ke USB port di laptopku. Tak main-main, sebelum dapat mengakses isinya, aku harus memasukkan username dan password akun Penumbra-ku. Setelah layar menampilkan pesan untuk menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen di dalam flashdisk ini, aku melihat beberapa folder yang diberi judul secara gamblang: job description, data atlet, data staff, dan yang terakhir paling menarik perhatianku. 

Suspect

.

.

.

Bersambung.

(20 April 2018)

2000+ kata

#148 Action

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top