Bab 1: Dojang
Aku melangkahkan kakiku di atas matras biru di dalam sebuah dojang berbentuk segiempat dikelilingi dinding putih. Di hadapanku, murid-murid membentuk empat barisan, setiap barisan terdiri dari sembilan atau sepuluh orang. Mereka mengenakan dobok (seragam) berwarna putih-putih, dan di pinggang mereka melingkar sabuk hitam. Aku merapatkan kedua kakiku dan berdiri tegak dengan tangan di belakangku sambil memandangi mereka dengan tajam. Mereka membungkuk sekitar tujuhpuluh derajat untuk memberi hormat.
"Selamat sore," aku menyapa.
"Sore, sabeumnim!" sahut mereka serempak.
"Seperti biasa, kita mulai dengan pemanasan, lalu peragaan, lalu berlatih tanding. Kalian sudah tahu pasangan masing-masing. Sudah siap?" ujarku.
"Siap, sabeumnim!"
Olahraga bela diri seperti taekwondo amat menekankan penghormatan terhadap pelatih dan sikap ksatria terhadap sesama. Bela diri tak boleh digunakan untuk melukai teman sendiri. Aku mengingatkan setiap muridku untuk selalu mengekang diri mereka. Perkelahian adalah opsi terakhir dalam menangani konflik.
Ironisnya, beberapa bulan yang lalu, aku justru menggunakan ilmu bela diriku untuk melakukan tindak kekerasan. Tentu saja, lawan yang kuhadapi berniat mencelakai diriku -- atau lebih tepatnya, mencelakai mantan atasanku. Aku dipaksa terlibat dalam misi gila atasanku mencari pembunuh saudaranya, yang ternyata merupakan dalang suatu konspirasi aneh di Jakarta.
Misi itu menyebabkan cedera di pergelangan kakiku kambuh lagi. Aku memperparah cederaku karena aku menghilangkan rasa nyerinya dengan obat penahan sakit, lalu ikut turun dalam pertempuran terakhir yang mengacaukan wilayah tengah hingga selatan Jakarta. Apa boleh buat, aku telah berjanji pada atasanku bahwa aku akan mendukungnya hingga akhir. Akibatnya, pemulihan cederaku menjadi lebih lama daripada seharusnya. Kini, dua bulan setelah kejadian tersebut, pergelangan kakiku masih harus dibebat. Aku tak dapat berjalan tanpa sedikit pincang. Untunglah, sebagai instruktur kepala di klub taekwondo ini, aku memiliki beberapa anak buah yang bertanggung jawab melatih langsung setiap hari.
Dojang ini membawaku ke dalam nostalgia lebih dari duapuluh tahun lalu -- ketika seorang bocah lelaki berusia delapan tahun tanpa sengaja memasuki tempat ini dan bertemu dengan orang yang mengubah hidupku. Om Wiguno, begitu aku memanggilnya, merupakan pemilik klub taekwondo ini di masa lalu. Tanpa dia, aku takkan pernah mengenal dunia taekwondo. Ia bahkan mempersilakan aku ikut berlatih tanpa harus membayar karena ia melihat potensi di dalam diriku.
.
.
.
Ragunan, Jakarta Selatan, 1994
Aku sedang menggambar di atas tanah merah dengan dahan pohon rambutan yang telah patah dan jatuh ke tanah, ketika segerombolan anak lelaki yang bertubuh lebih besar tiba-tiba datang dan menghancurkan gambarku dengan kaki mereka yang beralaskan sandal jepit.
"Gambar lu jelek!" ejek anak yang bertubuh paling tinggi dan gemuk. Aku bahkan tak mengingat namanya.
Aku menatapnya tajam. "Aku nggak ganggu kalian, kenapa kalian ganggu aku?"
"Karena ini adalah dahan pohon rambutan gue!" ujar anak gemuk tersebut. "Dasar pencuri!" Ia merebut kayu tersebut dari tanganku dan mendorongku.
"Danar pencuri! Danar pencuri!" seru kawan-kawan si anak gemuk, mengitariku sambil bernyanyi.
Aku hanya diam. Ranting itu jatuh di halaman rumahku, makanya aku mengambilnya. Namun percuma membalas anak-anak nakal seperti itu. Lebih baik aku pergi saja.
"Ya sudah, silakan ambil rantingnya. Aku mau pulang," ujarku.
"Eits, tunggu!" Si anak gemuk mencengkeram kerah leher kaosku. "Teman-teman, mencuri itu adalah perbuatan ..."
"Dosa!" ujar teman-temannya serempak.
"Pencuri harus diapain, teman-teman?"
"Dihukum!" sahut teman-temannya serempak.
Aku menghela napas. Tak mungkin aku mampu melawan enam anak lelaki yang bertubuh lebih besar daripada diriku. Namun percuma mengadu kepada Ibu. Ibu sangat repot mengurusi Wulan, adikku yang masih berusia sebulan. Maka hanya ada satu pilihan jika aku tak ingin celaka.
Melarikan diri.
Aku melepaskan sandal jepitku yang putus dan berlari di atas tanah merah, mengabaikan noda tanah yang menempel pada telapak kakiku. Mereka mengejarku. Tentu saja, aku cepat menghilangkan jejakku dari kejaran anak-anak bertubuh gemuk yang tak begitu gesit. Namun, napas seorang bocah lelaki berusia delapan tahun tak begitu panjang. Aku bersembunyi di sebuah gang untuk mengatur napasku yang terengah-engah. Jantungku berdebar sangat cepat, rasanya seperti ingin keluar dari dadaku.
"Dia pasti masih di sekitar sini! Nggak mungkin dia bisa lari secepat itu!" Suara si anak gemuk semakin mendekat.
Aku panik. Mataku melihat ke sekitarku. Gang ini merupakan kompleks perumahan. Aku tak mungkin masuk ke rumah orang sembarangan. Namun salah satu bangunan di pinggir jalan tak memiliki pagar. Kulihat beberapa anak melenggang masuk dan keluar dengan bebasnya. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam bangunan tersebut.
Bangunan itu adalah sebuah dojang atau arena berlatih taekwondo. Lantainya beralaskan matras biru dan dindingnya berwarna putih. Di salah satu sisi dinding, terpampang bendera merah putih yang berjajar dengan bendera Korea Selatan. Sepertinya anak-anak yang berlatih di sana baru saja bubar, dan kelas selanjutnya belum dimulai. Mereka masih mengobrol dan bercanda di tepi matras biru. Mereka semua mengenakan seragam putih-putih dengan sabuk warna-warni di pinggang mereka. Pada saat itu, aku tak mengerti arti warna sabuk mereka.
Seorang lelaki tua berambut hitam dengan helaian putih dan bermata sipit tersenyum dan berjalan ke arahku. Aku menundukkan kepala, menyadari bahwa aku membawa jejak kaki tanah merah ke dalam ruangannya.
"Hai, Nak! Siapa namamu?" sapanya.
"Da--Danar," ujarku. "Ma-maaf, Pak, aku bikin lantainya kotor." Aku mengantisipasi kalau-kalau ia akan memarahiku.
"Panggil aku Om Wiguno," sahut lelaki tua itu sambil mengulurkan tangannya ke arahku. "Kamu mau latihan taekwondo, Nak?"
"Taekwondo?" tanyaku heran. Di sekolahku tidak ada ekstrakurikuler bela diri. Maklum sekolah negeri yang tak begitu bagus.
"Jenis bela diri dari Korea Selatan," jelas Om Wiguno. "Kamu tahu bendera itu?" Ia menunjuk ke dinding.
"Bendera Korea Selatan, Om," jawabku.
"Kamu anak pintar," ujar Om Wiguno sambil mengacak rambutku. "Danar, kalau kamu bukan mau berlatih taekwondo, kenapa kamu bisa masuk kemari?"
"Aku ..." Aku menelan ludah, bingung harus menjawab apa. "Aku kabur dari anak-anak yang mengejarku, Om."
"Kenapa mereka mengejarmu?"
"Mereka bilang aku mencuri dahan pohon mereka. Padahal udah patah dan jatuh ke halaman rumahku."
Di luar dugaanku, Om Wiguno malah tertawa. "Danar, mereka cuma cari gara-gara denganmu. Ibumu di mana?"
"Ibu ngurusin adik bayi, Om," ujarku.
"Kamu punya kakak?"
Aku mengangguk. "Sore-sore Mas Prad jualan kue keliling kompleks."
Om Wiguno terdiam sesaat sambil mengamatiku. Memerhatikan kaki kotorku yang tak mengenakan alas kaki. Lalu melirik ke arah rak tempat sepatu anak-anak asuhannya meletakkan sepatu mereka. Mungkin ia juga melihat kaosku yang sedikit lusuh.
"Ya udah, Danar, kamu boleh tunggu di sini sampai anak-anak nakal itu pergi. Kalau kamu suka, kamu boleh ikut latihan taekwondo. Oke?"
Dan itulah asal mulanya aku mengenal dunia taekwondo.
***
Om Wiguno mengantarku pulang ke rumah dan memberikan sandal jepit baru. Kemudian ia berbicara kepada Ibu, yang menangis karena telah menelantarkanku hingga aku hampir dicelakai anak-anak nakal.
"Lain kali kamu jangan main sendirian, ya, Nar," pinta Ibu sambil memelukku. "Kamu main sama teman-temanmu saja."
Aku hanya diam. Teman-temanku di sekolah tak begitu banyak, dan mereka tinggal jauh dari rumahku. Teman sekelasku yang rumahnya dekat denganku adalah gerombolan anak yang menggangguku itu.
"Atau tunggu Mas Prad pulang, baru kamu main sama Mas Prad," ujar Ibu, melihatku tak memberikan respon.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
***
Om Wiguno tak langsung mengajakku berlatih taekwondo. Namun melihatku diganggu oleh anak-anak nakal itu bukan hanya sekali dua kali, melainkan hampir setiap hari, ia memutuskan untuk mengajariku. Pada awalnya, ia tak memberitahu Ibu. Aku hanya menghabiskan setiap sore sepulang sekolah di dojang-nya. Lama kelamaan, Ibu curiga karena aku selalu pulang dengan penuh keringat namun penuh semangat.
"Danar ke mana, sih, setiap sore?" tanya Ibu.
"Main," ujarku singkat.
"Tapi kamu ... ada yang beda. Cara jalanmu, atau cara berdirimu, Ibu nggak yakin."
Aku masih menutup mulutku rapat.
"Kamu udah nggak diganggu anak-anak nakal itu, kan?" tanya Ibu.
Aku menggeleng.
"Syukurlah," ujar Ibu. "Ibu ngerasa nggak enak sama kalian, Ibu kurang perhatiin kalian. Apalagi Mas Prad, masih kecil udah harus kerja keras. Tapi kamu tahu, Wulan masih perlu perhatian Ibu. Dia sakit-sakitan. Ayahmu kerja di tempat yang jauh dan jarang pulang. Jadi Ibu minta maaf, ya, Nar, kalau kamu dan masmu kurang diperhatiin sama Ibu."
"Nggak apa-apa, Bu," sahutku. "Aku bisa ngurusin diriku sendiri."
Mendengar ucapanku, Ibu malah menangis dan memelukku. "Danar anak yang baik, Ibu sayang banget sama kamu."
Aku makin merasa tak enak karena berbohong kepada Ibu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengaku. Bahwa setiap sore aku bukannya bermain, namun berlatih taekwondo. Dan aku sangat menyukainya. Lebih daripada menggambar.
"Nak ... Ibu bukannya mau melarang ... tapi Ibu nggak bisa bayarin kamu kursus taekwondo," ujar Ibu.
Aku mengangkat bahu. "Om Wiguno nggak minta aku bayar, kok."
"Tapi kamu nggak boleh nerima gratisan dari orang lain."
Ucapan Ibu terngiang di telingaku. Aku menyampaikannya kepada Om Wiguno. Ia memintaku membawa Ibu untuk bertemu dengannya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun pada akhirnya Ibu mempersilakanku untuk tetap berlatih taekwondo. Om Wiguno menjadikanku asisten kecilnya. Aku datang lebih pagi sebelum jam kursus untuk membantu Om Wiguno membersihkan dojang-nya.
Setelah aku semakin mahir menguasai ilmu bela diri taekwondo, aku juga diikutkan berbagai lomba antar klub. Ternyata, aku tak hanya bagus di level klub saja. Aku dapat mengalahkan taekwondoin dari klub lain dan beberapa kali memenangkan kejuaraan. Om Wiguno melihat bakatku. Pada usia limabelas tahun, aku disuruh ikut seleksi atlet tingkat provinsi DKI Jakarta. Aku berhasil lolos dan resmi diterima di sekolah atlet Ragunan. Untunglah rumahku masih di daerah yang sama, sehingga aku bisa mengunjungi keluargaku pada akhir pekan.
Sayangnya, nasib Om Wiguno tak sebaik hatinya. Kompleks tempat dojang-nya berdiri digusur untuk pembangunan tempat tinggal kaum berpunya. Ia terpaksa menjual dojang-nya kepada orang lain. Om Wiguno sendiri pindah ke daerah Bekasi. Aku masih menyempatkan diri mengunjunginya. Akan tetapi, dengan bertambahnya kesibukanku, aku pun semakin jarang bertemu dengannya.
.
.
.
2017
"Danar!"
Suara riang seorang perempuan yang kukenal mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke ambang pintu. Perempuan berkuncir kuda dan kacamata itu melambaikan tangan kanannya ke arahku. Tangan kirinya memegangi karton berisi dua gelas kopi.
"Kalian ambil alih dulu," ujarku kepada para asistenku.
"Baik, sabeumnim," sahut mereka.
Evelita Darmadi. Jika ada persahabatan yang "dipaksakan", maka seperti ini wujudnya. Aku dan Lita tak saling mengenal hingga atasanku itu mempertemukan kami. Atasanku menyuruh kami bekerja sama dan memanfaatkan kelebihan kami masing-masing -- dia sebagai hacker, aku sebagai ahli bela diri. Namun lambat laun, aku menganggap Lita salah satu teman terbaikku. Orangnya spontan, kreatif, lucu, menyenangkan, namun tidak agresif.
"Hei, Lit, ada apa?" tanyaku.
"Nih, kopi buat kamu," ujar Lita, menyodorkan salah satu gelas kopi kepadaku.
"Makasih." Aku meraihnya dan meneguknya perlahan. Sudah tak begitu panas.
"Aku mau nyampain kabar penting ke kamu, Nar. Bisa ngomong di tempat yang agak tertutup?"
"Boleh, di ruanganku," sahutku.
Aku memimpin jalan ke ruanganku yang berukuran tiga kali tiga meter. Hanya ada sebuah meja kayu dengan tiga buah kursi -- satu kursi tempat dudukku, dan dua kursi bersebelahan menghadapku. Aku mempersilakan Lita duduk di salah satu kursi sambil menyeruput kopiku sekali lagi.
"Ayahku memanggilmu. Katanya kamu akan diberikan suatu misi baru," ujar Lita tanpa basa-basi.
"Misi dari Penumbra?" tanyaku.
Lita mengangguk.
"Misi apa itu? Kamu tahu sesuatu, Lita?" aku bertanya lagi.
"Seharusnya aku nggak dikasih tahu, tapi aku neror Kak Phillip buat ngasih tahu aku. Trus aku cuma dikasih tahu dikit doang," gerutu Lita. "Sepertinya kamu disuruh nyelidikin sesuatu yang berhubungan dengan Asian Games tahun depan di Jakarta-Palembang."
Aku diam sejenak. Setelah menatap Lita beberapa saat, aku mengalihkan pandanganku ke meja kayu. Mungkin Lita memang tak tahu terlalu banyak. Dia bahkan masih baru menjadi agen Penumbra, lebih baru dariku. Aku sendiri baru hampir tiga bulan menjadi agen Penumbra. Pak Alfred Darmadi -- ayah Lita -- dan Phillip Darmadi -- kakak Lita -- yang telah menjadi agen Penumbra bertahun-tahun pasti lebih tahu soal ini. Jadi aku mengurungkan niatku untuk bertanya lebih jauh kepada Lita dan memutuskan untuk mencari tahu langsung dari Pak Alfred.
"Kapan Pak Alfred ingin bertemu denganku?" aku membuka suara.
"Ayahku bilang, kalau kamu udah selesai ngelatih, temui dia di markas Suryajati Tower," sahut Lita.
.
.
.
Bersambung.
(29 Maret 2018)
1800 kata
.
.
.
Bakal banyak narasi. Semoga gak bosen hahaha. Rencananya setiap bab kurang dari 2k kata, dan tamat 20 bab. Mudah2an bisa terwujud, gak molor kaya cerita utamanya. Cerita ini nggak bakal terlalu banyak intrik, kok. Lebih fokus ke tokoh Danar-nya aja.
SUPER SLOW UPDATE XD
.
.
*dojang: arena berlatih bela diri Korea seperti taekwondo, hapkido, dll.
*dobok: seragam taekwondo
*sabeumnim: instruktur kepala
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top