Sang Penulis
Bandung, 5 Juni 2016
Aku memandang lekat-lekat manuskrip tua yang dipajang di dinding berwarna putih. Aku mengernyitkan dahi. Manuskrip itu memuat sebuah tulisan aneh dengan stempel sebuah pentagram berwarna merah di tengahnya. Kertasnya berwarna coklat tua dan sisi-sisinya yang kuning sudah mengelupas dimakan usia. Struktur tulisannya tidak cocok dengan sebuah manuskrip, namun aku tak bisa berasumsi kalau ini adalah jurnal harian.
"Bagaimana, Nona Utari?" Apakah Anda bisa mengatasi ini?" tanya si pengantar manuskrip yang membuatku tersadar dari lamunan.
"Saya mendapatkannya dari seorang pria yang menjualnya di jalanan. Saya pikir, karena tulisan itu terlihat antik dan bagus, maka saya membeli dan memajangnya di ruang tamu. Tapi setelah beberapa hari terakhir ini, saya merasa terganggu oleh tulisan itu, dan saya tidak bisa tidur semalaman," ujar Nyonya Neva. Wanita paruh baya itu terlihat elegan dengan alis matanya yang naik turun. "Jadi, apakah tulisan ini dikutuk, Nona Utari?"
Aku hanya bisa tersenyum meliriknya. "Saya belum bisa memastikannya, Nyonya Neva. Kalau tulisan ini mengandung semacam kutukan, saya akan berusaha menghilangkannya. Untuk itu, saya harus membawa tulisan ini dulu untuk meriset dampaknya selama beberapa hari," jawabku memasang raut wajah meyakinkan.
"Oh, oke, silakan saja, nanti saya akan transfer uangnya," jawabnya sambil berlalu cepat, meninggalkanku dengan tulisan aneh itu.
Aku menghela napas dan mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru rumahnya yang mewah. Dinding pualamnya kusam, sedikit terkelupas, dan di salah satu sudutnya aku melihat banyak tempelan dan tumpukan koran lama. "Semoga saja cepat selesai," gumamku pelan.
Aku mengamati lagi bingkai kaca yang melindungi tulisan itu, meraba permukaannya yang berdebu dan kasar. Manuskrip itu sendiri dipenuhi bercak-bercak merah nan mencolok di sisi pinggirnya. Ada enam simbol aneh yang mengelilingi bagian tengah kertas.
"Dapat sesuatu? Aku harap benda itu tidak dikutuk," kata seorang wanita dibelakangku.
Aku membalikkan badan, dan melihat Dewi, partner sekaligus sahabatku yang menatap nanar manuskrip itu dengan tatapan penuh tanda tanya.
Aku tersenyum simpul. "Tulisan ini kelihatan kuno, tapi nilai estetikanya tinggi. Tidak heran ada yang mau membelinya. Kaulihat itu?" Aku menunjuk bagian tengah kertas yang dipenuhi goresan angka dan simbol aneh dengan terkagum - kagum. Dewi malah menunjukkan ekspresi sebaliknya. Mungkin aku memiliki selera seni yang cukup aneh bagi orang awam.
Pandanganku juga tertumbuk pada bagian kanan atas manuskrip. Disana tertulis angka 1966 dan kata "Banyuwangi."
"Hm, hei, aku pinjam pemantik apinya sebentar," ucap Dewi sambil mengeluarkan bungkusan hitam di sakunya. Ia melirik kantong saku kananku.
"Sempat - sempatnya kau melakukan ini di tempat umum," tegurku.
"Ayolah, aku hanya bercanda." Dewi terkekeh melihat raut wajah seriusku.
"Jadi, mulai dari mana?" tanyanya.
Aku mendengus. "Kita bawa dulu manuskrip ini ke tempatku, siapa tahu kita menemukan petunjuk."
Setelah pamit, kumasukkan manuskrip itu secara hati-hati ke dalam tas biru tosca, dan mobil butut Dewi melaju kencang menuju kediamanku. Sebenarnya, aku lebih memilih angkutan umum. Tapi Dewi bersikeras. Katanya, biar kelihatan lebih profesional.
"Jadi, bagaimana?" tanya Dewi tak sabar begitu sampai di depan meja kerjaku.
Aku menghela napas. "Jika kau ingat baik - baik, di tulisan itu tertera angka 1966 dan Banyuwangi."
Selagi aku menjentikkan jari pada tuts-tuts laptop dan mencari informasi mengenai manuskrip-manuskrip tua di Banyuwangi, kulihat Dewi hanya menganggukkan kepalanya.
Namun yang kutemukan adalah peristiwa aneh, sebuah epidemi menulis di Banyuwangi pada Juni 1966.
"Pada Juni 1966, seorang wanita, Febriana Salasa, dikabarkan menulis tanpa henti di alun - alun kota menggunakan pensil dan puluhan kertas bekas. Tidak ada yang tahu pasti apa penyebabnya, tetapi tindakannya itu diikuti oleh beberapa orang tiga hari setelahnya, kemudian setelah sebulan, terdapat sekitar 500 orang yang terjangkiti epidemi aneh ini. Mereka menulis tanpa henti, beberapa orang bahkan ada yang menggores-gores permukaan kayu dengan kuku jari mereka sendiri. Banyak dari mereka yang mati karena dehidrasi dan infeksi karena luka." Suaraku terdengar seperti warta berita TVRI saat membaca salah satu artikel usang itu.
"Kedengaran konyol bagiku. Sebuah epidemi yang aneh ...," Dewi mengerinyitkan dahinya.
Belum yakin, aku menggeledah rak bukuku dan mencari tentang epidemi yang melanda pulau Jawa pada masa - masa silam.
Bak setali tiga uang, aku kembali menemukan apa yang kucari dan menunjukkannya pada Dewi.
Aku berpikir sejenak. "Kita berangkat ke Banyuwangi besok. Sebaiknya pesan tiketnya sekarang." Dewi menganggukkan kepalanya.
Dewi memesan tiket pesawat agar nanti malam kami sudah tiba di kota itu. Siangnya, rasa kantukku menjadi-jadi, namun pikiranku masih saja disergap berbagai spekulasi liar yang menghantui pikiranku. Mengapa dia menulis tanpa henti?
Akhirnya aku terlelap ketika jarum jam di arlojiku telah menunjukkan pukul dua siang. Untungnya, Dewi juga telah memesan kamar di Hotel Santika Banyuwangi kemarin sehingga kami tidak perlu bersusah payah lagi. Aku sungguh beruntung seorang jurnalis seperti dia mau menjadi partner kerjaku.
Banyuwangi, 6 Juni 2016, 13.00 PM.
Aku baru terbangun ketika siang menjelang. Sayup-sayup suara khas orang pedesaan seakan menyambutku. Sungguh pemandangan yang indah. Sepeda motor yang berkeliaran, orang - orang yang berjalan dengan gadget, semuanya terlihat kontras dengan masa lalu kota ini. Kota ini juga punya keterkaitan dengan aktivis PKI, karena salah satu warganyalah-yang menjadi pencipta lagu genjer-genjer.
Aku mengalami deja vu, melihat orang - orang yang berjalan itu kini bertransformasi menjadi para petani di masa lampau yang mengeluhkan beratnya kerja rodi-juga para pedagang yang mengecam tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Ketika malam tiba, mereka mencurahkan isi hati melalui potongan kulit sapi, atau kalau beruntung, kertas-kertas bekas. Aku segera mengambil jurnal dan menulis sesuatu. Menurut spekulasiku, kebanyakan warga kota saat itu tidak bisa membaca, apalagi menulis, jadi mereka hanya menggambar sketsa-sketsa yang berpola aneh dan tak beraturan untuk melepas penat.
Tak jauh dari tempatku berada, di sebuah gang sempit, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita. Rintihannya membuatku makin penasaran.
Aku berjalan cepat menuju mulut gang. Di sana, ada elaki paruh baya, telanjang dada, yang menghunjamkan sebuah belati ke perut seorang wanita yang tergeletak di jalanan. Darah mengucur dan menyembur ke wajahnya. Aku hendak menolong wanita itu, tapi ketika semakin mendekat, pandanganku malah mengabur menjadi putih.
Aku mengerjapkan kedua mataku berkali-kali, cahaya terang berpendar dari atas sana.
Pandanganku mulai menajam. "Di ... di mana?" tanyaku parau.
"Di rumah sakit. Tadi kau menulis seperti orang kerasukan. Tanganmu bergerak - gerak seperti orang yang sedang menulis. Kau menulis tanpa henti di kaca manuskrip itu selama tiga jam. Jarimu kaku dan kau mulai dehidrasi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku menelepon ambulans." Suara Dewi seperti orang mau menangis. Matanya berkaca - kaca, dan aku terperanjat.
"Aku ... aku ingin bicara dengan Nyonya Neva. Siapa tahu dia mengalami kejadian yang sama denganku," kataku pelan.
Dewi mengambil telepon dari tasnya dan telepon terhubung.
Ternyata benar, Nyonya Neva mengalami hal yang sama denganku, secara tiba-tiba kehilangan kesadaran dan menulis tanpa bisa berhenti. Apa yang dilihatnya sama persis dengan yang kulihat. Nyonya Neva menulis hampir setiap hari di tembok, kertas, kayu, atau apapun yang bisa ditulisi setelah beberapa kali menyentuh bingkai kaca tulisan itu.
"Apakah aku juga akan menulis tanpa henti, Utari?" tanya Dewi ketakutan setelah aku menutup telepon.
"Selama kau tidak menyentuh tulisan itu, kurasa kau akan baik-baik saja," ucapku menghiburnya.
Dalam perjalanan ke hotel, aku berpikir keras. Apa maksud mimpi itu? Apa yang ingin disampaikan tulisan itu?
Sungguh tidak masuk akal. Aku tidak tahu dimana Febriana Salasa dimakamkan, atau eksistensi anak cucunya. Sepertinya, kejadian-kutukan ini berpindah menggunakan perantara.
Aku terlampau sibuk, sampai-sampai tak memperhatikan Dewi yang memperkenalkan daerah sekitar hotel itu. Aku hanya mafhum, melihat eksterior bangunan bertingkat itu-yang sama sekali bukan tipikalku. Aku bahkan tak menghiraukan orang-orang berhidung mancung berlalu-lalang, pohon trembesi yang berjajar, dan sebuah gang yang tak asing bagiku. Aku berharap diriku tak terkena deja vu lagi.
Begitu sampai di kamar, aku langsung mencari artikel mengenai Febriana Salasa yang hidup pada masa orde baru. Aku menemukan bahwa dia dianggap sebagai pembawa kutukan oleh masyarakat setempat, dikucilkan dan dihina. Kalangan orang awam percaya wanita ini kerasukan jin yang juga dapat merasuki orang lain sehingga ikut menulis tanpa henti. Sebagian yang lain berpendapat bahwa dia-tertekan jiwanya dan hanya mencari perhatian di tengah keadaan yang buruk.
Setelah selesai membaca banyak artikel, aku segera mematikan laptopku dan beranjak menuju tempat tidur. Kakiku menapak ubin lantai yang kering dengan kantung mata yang menghitam. Tubuhku lunglai dan tanganku masih sakit. Seharusnya aku tidak memaksakan diri. Buktinya, kesadaranku langsung hilang saat naik ke kasur.
Begitu aku membuka mata, aku berada di antara kerumunan orang. Kali ini para petani, para pedagang, kuli, pengemis, orang awam, bahkan kaum ningrat dan pemuka agama tumpah ruah menyaksikan wanita itu-Febriana Salasa.
Febriana Salasa terus menulis tanpa henti. Jari - jemarinya membiru, kuku - kukunya mengeluarkan tetes - tetes darah, tetapi wanita itu tidak berhenti atau terlihat kesakitan. Tangannya bergerak tak keruan, semakin beringas menulis simbol - simbol aneh. Pupil matanya menengadah ke atas langit. Orang - orang disekitarku saling berbisik bahwa wanita itu sedang menulis ilmu hitam dari iblis sendiri.
Tiba - tiba wanita itu berhenti menulis. Sorot matanya menatapku lekat - lekat-memberi isyarat agar aku mendekatinya. Mulanya aku ragu, tapi aku perlahan - lahan mendekatinya. Bibirnya seperti mengucapkan sesuatu berkali - kali. "Kobong." Suaranya sangat tenang dan pelan.
"Kobong." Febriana mengulangi kata - katanya. Tiba - tiba semua menjadi gelap.
Aku mendengar lamat - lamat suara jeritan. Mataku terkatup berkali - kali, aku tergagap - gagap. Ketika berangsur - angsur pandanganku menajam, mataku menangkap pergerakan sebuah bayangan yang jatuh dari balkon-Dewi!
Aku menyibak selimut kamar dan bergegas menuju balkon. Kakiku terpeleset saat terburu - buru menapaki lantai hotel yang licin. Tapi aku bisa melihat, nun jauh di bawah sana, Dewi tergeletak, tak berdaya di jalanan beraspal. Orang - orang di jalanan bergegas menghampirinya.
Pikiranku campur aduk dalam kekalutan. Tanpa berpikir panjang, kutarik manuskrip itu keluar dari tas, dan kupecahkan kacanya menggunakan kepalan tangan. Tetapi tetap saja kertas itu tidak bisa diraih, masih tertempel, lengket di bingkai kaca. Aku merogoh kantong saku kananku.
Sial! Pemantik apinya hilang!
"Kau mencari ini?" Aku tersentak. Sebuah suara tiba-tiba berdengung di belakangku.
Belum sempat aku berbalik, bagian kiri pinggangku disergap hawa dingin yang menggelenyar. Punggung kiriku mati rasa, aku jatuh tersungkur.
Samar-samar melalui kegelapan, aku bisa melihat sosok seseorang yang tertutup jaket tebal. Kantung matanya hitam, rambut hitam sebahu, tangan kanannya memegang pemantik api milikku dan tangan kirinya menggenggam sebuah belati berbentuk sabit yang dilumuri cairan merah pekat.
"Kau? Neva? Ke-kenapa?" Desisku menahan rasa sakit.
Wanita itu-Neva tersenyum simpul. "Kenapa? Kau saja yang tidak jeli, Dewi. Kau ingat bukan hari ini tanggal berapa?"
Neva terkekeh. "Tentu saja kau ingat. Tanggal enam, bulan enam, pukul enambelas lebih enambelas, waktu dimana Febriana Salasa pergi ke alam baka. Semua artikel itu ditulis oleh orang yang sama, dan itu cuma karangan fiktif belaka, sebuah distraksi, agar aku bisa menyeretmu kesini, menuju neraka!" ucap Neva berapi - api.
Neva menyalakan pemantik api dan melemparkannya ke arahku. Ubin lantai berkobar, merambat ke kasur. Ternyata yang licin tadi adalah bensin. Api menyambar mengelilingiku, aku terperangkap.
Sorot matanya memancarkan kebencian, Ia berjongkok di hadapanku. "Kau mau tahu realitanya? Febriana, nenek buyutku, mati ditangan kakek buyutmu di dekat hotel tengik ini, dekat gang, lebih tepatnya."
Aku seolah tertampar dengan fakta ini. Jadi semua mimpi yang kualami ... benar - benar ada dan bukan omong kosong.
Neva berdiri dan melangkah perlahan menuju pintu kamar. "Jangan khawatir, aku tidak akan melakukannya dengan cara yang instan. Nikmatilah dulu penderitaanmu." Wanita itu kembali terkekeh - kekeh. Ia meletakkan sebuah alat kecil di kolong kasur dan bergegas pergi.
Alat itu berdenyut makin cepat, mengeluarkan suara monoton per detiknya. Darahku mengalir dan menggenang, bercampur dengan bensin hingga api menyulutnya. Hal terakhir yang kuingat adalah tubuhku yang hangus menjadi remah - remah abu dan lantai hotelnya ambruk.
<>>>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<<>
Judul "Sang Penulis" diperuntukkan khusus untuk febrianasa
Diperuntukkan untuk Dee_officiall Black_Dracomirator Nellaneva
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top