5 : The Story
Hari berikutnya, suasana sekolah kembali seperti biasa. Pada jam istirahat, Laras, Cesi, Qistin, Edi, Darsa, dan Taraka berkumpul di kursi taman di halaman sekolah. Cuaca yang cerah memberikan kontras dengan kejadian misterius yang dialami Laras kemarin.
"Udah lah, Ras, kemarin mungkin cuma efek capek atau kesepian aja kali. Biasanya juga enggak pernah ada kejadian apa-apa kan selama tiga tahun ini?" ucap Cesi mencoba menenangkan Laras.
Laras mengangguk, tetapi wajahnya masih terlihat ragu. "Tapi, itu tuh rasanya nyata banget, Ces. Lampu kamar mandi mati-nyala, pintu kekunci, sama ada suara-suara aneh di luar bilik."
Qistin memberi pandangan skeptis. "Lu sering baca cerita atau nonton film horor kali? Jadi timbul paranoid."
Laras mencibir. "Enggak, Qis, bukan imajinasi. Orang kemaren ada lu sama Cesi kok di kamar mandi cewek, makanya gua langsung hubungin kalian waktu pulang sekolah. Kalian enggak percaya?"
"Percaya, Ras, tapi kayaknya bukan yang gimana-gimana deh. Menurut gua sih yang kayak gitu enggak usah digede-gedein," balas Qistin.
Laras memandang Qistin tajam. "Sebelumnya nih ya, lu percaya keberadaan setan enggak sih, Qis?"
"Percaya kok. Lu tau kan kalo rumah gua itu nyatu sama kos-kosan mahasiswa? Di rumah gua sering ada cerita dari anak kos, tapi ya udah biasa aja. Anggap aja enggak terjadi apa-apa."
"Berarti lu pernah digangguin dong kayak gue, Qis?"
"Yaaaa ... pernah sih, tapi enggak yang ekstrim kayak lu. Paling cuma suara aja, dan gua enggak terlalu mikirin atau peduli sih," balas Qistina.
Edi menyengol Darsa, ia berbisik, "Rumahnya Qistin serem?"
"Enggak sih," jawab Darsa. "Tapi di halaman rumah Qistin ada pohon beringin gede. Di bawah pohon itu ada toilet luar buat anak kos-kosan. Mungkin buat anak kosan yang tinggal di sana, kalo mau ke kamar mandi malem agak serem suasananya."
"Sereman mana sama rumah Hengkara? Rumah kalian bertiga deketan, kan?" timpal Edi berbisik.
Darsa menatap datar dengan ekspresi khasnya. "Rumah dukun menurut lu serem enggak?"
Edi mengangguk pelan. "Serem, soalnya biasanya banyak barang klenik."
"Sebetulnya serem itu cuma prespektif aja. Enggak ada tempat di dunia ini yang seremnya mutlak," lanjut Darsa.
Di antara percakapan yang berbeda itu, tiba-tiba semua mata serempak menatap ke arah Cesi.
"Eh ngomong-ngomong, soal siswi yang belum lama ini bundir di kamar mandi," celetuk Cesi. "Jangan-jangan ada hubungannya sama kejadian yang lu alamin, Ras?"
Laras memicing. "Qonita, ya? Gua jadi kepikiran deh jadinya, apa jangan-jangan iya?"
"Itu kan bilik pojok yang lu tempatin bekas ...." Cesi menyeringai, menakut-nakuti Laras.
"Cesi udah ah, kok gua jadi merinding ya," timpal Laras sambil mengusap tengkuknya. "Mana gua inget tempat dia bundir."
"Eh, nginep di rumah Qistin yuk?" celetuk Edi mengganti arah pembicaraan. "Kan luas tuh halamannya, malemnya enak bisa bakar-bakaran."
"Kayaknya seru tuh!" celetuk Cesi. "Gimana, Ras?"
Laras melirik Cesi. "Ayo aja."
"Lu ikut enggak berdua?" tanya Edi pada Taraka dan Darsa.
"Tanya yang punya rumah dulu lah," balas Taraka. "Jangan mutusin sepihak, kalo enggak dapet izin percuma."
"Gimana, Qis?" tanya Edi.
"Duh, seriusan pada mau nginep?"
Semua mengangguk termasuk Darsa.
"Gue tanya nyokap dulu deh, ada kamar kos-kosan yang kosong enggak. Soalnya sabtu ini di rumah ada acara, jadi enggak enak kalo nginepnya di rumah utama."
"Ya udah berkabar aja, Qis, kalo bisa malem ini mumpung udah Jum'at nih, jadi pulang sekolah bisa persiapan nyari bahan bakaran buat besok," ucap Edi.
"Ya udah, nanti gue kabarin lagi ya di grup BBM."
Bel berbunyi, tanda berakhirnya waktu istirahat. Cesi, Laras, dan Qistin berjalan ke kelas mereka, sementara Edi berpisah dengan Taraka dan Darsa yang berada di jurusan IPA.
Hari berganti, dan agenda menginap mereka pun terlaksana. Semalam Qistina bilang, ada satu kamar kosong untuk digunakan bermalam, tetapi karena hanya satu, jadi para laki-laki lah yang nantinya akan tidur di sana. Sementara anak perempuan akan tidur di kamar Qistina di bangunan utama.
Rumah Qistina tinggal, memiliki halaman yang sangat luas. Di sebelah gerbang ada rumah makan gudeg milik keluarganya. Jika masuk ke dalam gerbang, maka ada pohon beringin tua besar di tengah halaman. Di sisi kiri pohon beringin merupakan area kos-kosan yang memiliki enam kamar. Lalu di sisi kanan pohon beringin, ada rumah utama keluarga Qistina. Rumah utama bentuknya L. Di depan pintu, ada lorong yang mana di sisi kirinya merupakan ruang tamu dan kamar tamu. Ada sebuah pintu yang menghubungkan lorong dengan rumah utama. Rumah utama Qistina yang berbentuk petak memiliki dua lantai.
Sedari sore hari mereka berkumpul di halaman rumah Qistina, mempersiapkan segala sesuatu untuk acara bakar-bakaran. Taraka, Edi, dan Darsa berusaha menyalakan arang sementara Cesi, Qistin, dan Laras mempersiapkan bahan makanan.
Malam ini cerah, cahaya bulan terlihat elok tanpa awan-awan penghalang. Saat sedang mempersiapkan sate ayam, Taraka berjalan menghampiri Qistin.
"Sini gua bantu," ucap Taraka.
"Oh, oke." Qistina bergeser untuk memberikan ruang pada Taraka.
Taraka mengambil potongan ayam dan menusuknya dengan tusukan sate. "Rumah lu rimbun banget ya, Qis."
"Iya dong, kalo siang anti panas!" ucap Qistina.
"Teduh, kayak lu."
"Ehmmm ... anjay mabar! Lanjutkan, Bung Tara," ledeek Edi sambil terkekeh.
"Apa sih lu, edan!" balas Taraka yang wajahnya memerah.
"Cie malu tuh," celetuk Laras. "Qis, si Taraka malu-malu tuh."
"Heh! Jangan bersekongkol ya kalian!" Qistina menatap Laras sambil memicing. "Jangan sampe gua beberin rahasia lu, Ras."
"Eh, eh jangan dong, masa gitu sih mainnya," balas Laras.
Dari semua yang terlihat bersenang-senang melempar candaan, malam ini Cesi justru terlihat datar saja. Sesekali gadis itu melirik ke arah Taraka yang tampak akrab dengan Qistina. Namun, pandangan itu tak bertahan lama. Cesi langsung membuangnya entah ke mana, meskipun pada satu titik, ia akan kembali melirik dengan pandangan cemburu.
Menyadari itu, Darsa yang duduk dengan ekspresi tenang, tiba-tiba mengangkat bahunya. "Gimana kalo kita cerita serem malam ini? Mumpung masih ada vibes-nya."
Tiba-tiba, suasana riang menjelma hening sejenak. Matanya yang tajam memperlihatkan maksud tersembunyi di balik ekspresi tenangnya. Darsa menatap satu per satu bola mata lawan pandangnya.
"Seru tuh kayaknya," sahut Edi.
"Boleh juga sih," tambah Taraka dengan senyum setengah tertahan.
Qistin melirik Darsa dengan pandangan tajam. "Serius, Sa? Katanya kalo kita cerita tentang mereka, mereka bakalan ikut ngumpul loh."
Darsa hanya mengangguk menimpali pertanyaan Qistina.
"Kayaknya Darsa juga punya cerita di toilet kayak Laras," bisik Edi pada Taraka sambil tertawa.
"Sssttt ... jangan serem-serem, ya ceritanya," sahut Taraka dengan ekspresi pura-pura takut.
Darsa tetap tenang, ia menghela napas sejenak dengan tampang cool-nya. "Oke, kita mulai dari gua. Sini, yang jauh mendekat, yang dekat merapat."
Mereka semua merapat dan duduk melingkar. Darsa memandang setiap wajah temannya dengan tatapan serius.
"Ceritanya begini," ucap Darsa dengan suara penuh tekanan, menciptakan ketegangan tersendiri pada kelima temannya.
"Dulu, katanya, di sekitar sini pernah ada rumah bekas anggota sekte pemuja setan. Sekte ini melakukan ritual-ritual gelap buat manggil kekuatan gaib demi kepentingan mereka. Setiap malam Jumat, mereka berkumpul di tempat rahasia mereka, dan katanya letaknya itu di bangunan bekas sekolah kita. Makanya banyak cerita horor, kasus bunuh diri, dan misteri kenapa sampai sekarang sekolah udah harus kosong sebelum waktu maghrib. Banyak hal yang ditutupi pihak sekolah."
Semua mata tertuju pada Darsa yang terus menyulut rasa penasaran mereka. Cahaya api dari nyala bara yang berfluktuasi melahirkan suasana yang semakin mencekam.
"Anggota sekte ini enggak terendus. Mereka hidup di tengah-tengah kita, berpura-pura sebagai orang biasa di siang hari. Tapi, ketika malam tiba, mereka mengenakan jubah hitam dan topeng kambing buat merahasiakan identitas mereka."
Laras, Cesi, dan Qistin mengepalkan tangan mereka yang gemetar karena ketegangan cerita Darsa.
"Setiap anggota sekte ini punya tanda khusus di tubuhnya sebagai sign. Tanda itu muncul begitu aja waktu mereka bikin kontrak gabung sama sekte ini. Tanda itu berupa simbol setan yang ditempatkan di bagian tersembunyi dari tubuh mereka, enggak keliatan sama mata manusia biasa."
Taraka menyeringai, mencoba menyembunyikan rasa ngerinya. Sementara Edi terlihat serius mendengarkan Darsa.
"Terus?" celetuk Edi.
"Rumornya, sekte ini punya kekuatan gaib. Mereka bisa ngendaliin pikiran orang lain, ngabulin keinginan anggotanya, dan berkomunikasi sama makhluk halus. Tapi, kekuatan ini enggak datang tanpa konsekuensi. Setiap anggota sekte diharuskan memberikan sesuatu yang sangat berharga sebagai tumbal untuk mendapatkan kekuatan tersebut."
Darsa melanjutkan dengan nada serak guna membangun ketegangan, "Dan, yang paling ngeri, setiap tahun, sekte ini melakukan ritual pengorbanan untuk kebangkitan sang pembawa lentera. Mereka mencari korban di antara warga, menyembelih mereka dengan cara yang kejam, meminum darahnya bersama-sama dan bersulang dengan setan."
Seketika, suasana malam semakin dilumat kengerian. Darsa memandang satu per satu teman-temannya dengan sorot mata yang tajam. Cahaya bulan mempertegas setiap kerutan wajahnya.
"Dan, katanya, setiap kali anggota sekte ini melakukan ritual, ada suara wirid aneh yang tujuannya menghujat Tuhan."
"Darsa udah ah, takut ih," celetuk Cesi. "Apaan sih."
"Lah, Ces, kan cerita serem. Kalo lucu namanya hukum negara," balas Edi. "Negara orang tapi, bukan di sini dong, iya dong, aman ya."
"Udah ah, ngobrolin yang lain aja yuk. Belum juga sembuh shock dua hari lalu, makin enggak bisa tidur gue nanti." Laras juga terlihat takut.
Darsa tersenyum. Jarang-jarang pemuda itu menunjukkan senyumnya di depan orang lain. Perlahan senyum itu berubah menjadi tawa renyah.
"Bercanda," ucap Darsa terkekeh. "Jangan terlalu dipikirin, itu cuma cerita karangan gua kok."
Setelah satu cerita seram dari Darsa, akhirnya mereka semua memutuskan untuk mengganti tema menjadi lebih hangat dan ceria. Cesi sudah ikut membaur dengan canda dan tawa yang lainnya, tak ada lagi gelagat cemburu. Saat keadaan mulai terasa nyaman kembali, Darsa lanjut menyendiri.
Malam itu, di bawah cahaya bulan dan bayangan pohon beringin yang bergerak, semuanya merasakan sentuhan kehadiran gaib dari cerita horor yang dirangkai Darsa. Suasana tetap mencekam meskipun kembali disertai tawa dan obrolan renyah. Cerita Darsa berhasil membangkitkan rasa takut mereka, meninggalkan kesan horor yang sulit dilupakan, mungkin sampai beberapa hari kedepannya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top