4 : The Weird
Laras tampak tak bersemangat di sekolah. Wajar, kedua sahabatnya, yaitu Qistina dan Cesi sedang mengikuti OSN astronomi di kota Bandung. Ia menghela napas sambil memandangi lapangan sekolah dari lantai tiga.
"Kenapa sih? Kok kayak bete gitu?" ucap Edi yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Tumben muncul-muncul enggak usil?" tanya Laras.
"Kangen diusilin lu?"
Laras diam sejenak. "Dikit."
"Ya udah nih." Edi memasukkan jarinya ke lubang hidung, lalu memeperkannya ke seragam Laras.
"Edi! Lu jorok banget sih, najong!" seru Laras yang semakin kesal.
"Lah, katanya kangen diusilin? Kok malah marah?"
"Tau ah! "
Edi terkekeh. "Becanda kali, Ras. Gua ganti jari pas meper ke baju lu kok, santai aja. Mana tega gua sejahat itu sama lu. Lagian juga, upil gua kan suci."
"Yeu, mana ada upil suci," balas Laras.
"Ada lah, noh upilnya si Suci."
"Beda konteks, Edoy!"
Keadaan hening sejenak. Edi dan Laras sesekali saling melempar lirikan mata, tetapi ketika lirikan mereka bertemu, keduanya saling membuang pandang.
"Tumben enggak bareng Taraka sama Darsa?" tanya Laras memecah keheningan.
Edi menghela napas. "Mereka juga ikut olimpiade, Ras. Kan kita doang yang goblok."
"Eh! Sorry ya, Di. Gua itu bukannya goblok, tapi cuma ngalah demi sahabat. Biarin mereka berdua yang dapet panggung utama."
Edi tertawa. "Iya, percaya kok."
"Ngomong-ngomong kok hari ini suasananya tentram banget, ya?" tanya Laras.
"Hari ini Hengkara enggak di sekolah, Jihan juga enggak masuk kata anak IPS."
"Pantes tentram rasanya, mendadak hawa sekolah beda," kata Laras.
Pada satu kesempatan, Edi terlihat gelisah. "Eh, Ras, nanti pulangnya beli es krim mau enggak?"
"Ayo," jawab Laras.
"Ta-tapi tungguin gua futsal dulu."
"Iya, enggak apa-apa, ayo." Laras tanpa sadar tersenyum pada Edi.
Melihat senyum Laras yang jarang-jarang tertuju padanya membuat wajah Edi memerah. "Ka-kalo gitu gua balik ke kelas dulu."
Laras mengangguk. "Oke."
Edi pun pergi berjalan meninggalkan Laras seorang diri di balkon depan kelasnya.
Di tengah jam pelajaran siang ini, suasana di kelas terasa sunyi. Suara guru yang monoton terdengar membosankan, dan Laras merasa butuh sedikit istirahat dari kebosanan tersebut. Pada satu momen, ia mengangkat tangan.
"Saya izin ke kamar mandi, Bu," ucap Laras sambil tersenyum kepada gurunya.
Bu guru mengangguk. "Baik, segera kembali, ya, Laras."
Laras meninggalkan kelas dengan langkah ringan. Suasana di koridor sekolah terasa hening. Semakin ia mendekati kamar mandi, semakin gelap dan sepi suasana di sekitarnya. Selain para peserta olimpiade, rupanya mayoritas penghuni sekolah pun banyak yang tidak hadir saat ini, dari murid sampai jajaran guru karena sakit, termasuk Jihan.
"Tumben, kok sepi banget ya?" gumam Laras bermonolog. Di tengah suasana yang sunyi seperti ini, ia agak merinding.
Sesampainya di kamar mandi, dengan langkah hati-hati Laras membuka pintu. Suara tetesan air dan desir angin menyambutnya. Dari empat bilik yang ada di dalam kamar mandi perempuan, hanya bilik paling pojok yang pintunya terbuka, sisanya tertutup rapat. Laras mencoba mengabaikan keheningan yang mulai mengganggu dan masuk ke dalam bilik pojok.
Sebenarnya ia tidak benar-benar buang air. Laras hanya duduk di toilet yang tertutup sambil membuka ponselnya dan berselancar di aplikasi burung biru.
Di tengah kegiatannya membunuh bosan, tiba-tiba, lampu di kamar mandi berkedip-kedip dan padam.
"Woy! Jangan main lapu!" bentak Laras.
Tak ada jawaban, dan lampu masih padam. Laras menahan napas, merasa seolah-olah ada yang tidak beres.
"Woy! Gua gibeng lu ya!" seru Laras lagi.
Terdengar suara keran air menyala dari arah westafel diiringi kekehan dan suara bincang-bincang beberapa perempuan di luar bilik kamar mandinya, lalu lampu tiba-tiba menyala.
"Siapa sih? Iseng banget." Ia masih menggerutu dengan wajah gusar ke arah pintu.
Saat kembali menatap ponselnya, Laras tiba-tiba terdiam, lantaran saat ini ponselnya sedang membuka fitur kamera. Muncul secuil rasa takut saat mengingat latar belakang sekolah ini.
Suara keran air dan kekehan beberapa siswi masih terdengar di luar bilik. Laras pun segera bangkit dan hendak keluar, tetapi ketika ia berusaha membuka pintu, pintu biliknya terkunci. Lebih tepatnya seperti ada yang menahan dari luar agar pintu tak bisa terbuka.
"Woy, yang di luar, tolongin dong! Gue kekunci nih," ucap Laras. "Jangan becanda, woy!"
Namun, suara kekehan itu masih saja ada dan tampak tak peduli dengan perkataan Laras. Dari suaranya, seperti ada tiga orang yang sedang berbincang sambil tertawa, tetapi tak jelas apa yang mereka perbincangkan.
"Woy, yang di luar, tolong bantuin dong," ucap Laras sambil berusaha membuka pintu.
Lampu kamar mandi tiba-tiba mati kembali. Saat ini suara-suara di luar bilik masih terdengar monoton seperti tayangan yang diputar ulang. Hal tersebut membuat Laras semakin takut.
Hingga pada satu momen, lampu kembali menyala bertepatan dengan hilangnya suara mengobrol di luar bilik. Ponsel Laras tiba-tiba saja bergetar, ada sebuah panggilan masuk dari nomor pribadi.
'Siapa nih?' Pikir Laras.
Awalnya ia biarkan panggilan itu sambil terus berusaha membuka pintu, tetapi lambat laun karena merasa kesal, Laras pun mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, siapa ini?" tanyanya dengan nada agak kesal.
Terdengar suara orang mengobrol tak jelas dengan kekehan persis seperti di luar bilik tadi. Laras meneguk ludah, ia kembali menatap layar ponselnya yang kini tiba-tiba saja kembali membuka fitur kamera.
"AAAAAAAA!"
Dalam gambar kamera depan ponsel Laras, ia tak sendirian. Ada tiga orang gadis di belakangnya yang menatap kosong ke arah kamera. Suara obrolan tak jelas dan kekehan itu masih terdengar, tetapi kali ini datang dari segala arah. Laras berteriak dan semakin brutal mendobrak pintu.
"TOLOOONG!"
Di tengah teror tersebut, tiba-tiba pintu bilik terbuka karena ada yang membantunya dari luar. Laras pun terjatuh di lantai dan merangkak cepat sambil berusaha bangkit. Ia terjatuh lagi dan bersandar di dinding dengan wajah ketakutan.
"Ras, lu kenapa?" tanya Cesi dan Qistina yang berdiri di luar bilik.
"A-ada setan!" Laras menunjuk ke arah bilik pojok dengan gemetar, tetapi tak ada siapa pun dan apa pun di sana.
Cesi mengecek ke dalam bilik, tetapi memang tak ada setan atau apa pun yang aneh di sana. "Mana? Enggak ada tuh."
"Ta-tadi ada," balas Laras.
"Ya udah, lu tenangin diri dulu aja ya. Nanti pas pulang baru kita cerita-cerita, sekarang balik ke kelas dulu gih," kata Qistina.
Laras mengangguk, lalu berjalan pergi dengan langkah cepat. Saat sedang berjalan di koridor, ia berpapasan dengan Edi yang kala itu keluar dari kelas dan hendak menuju toilet laki-laki yang berada di sisi kiri toilet perempuan.
"Bau, bau, bau," ledek Edi sambil menutup hidungnya. "Abis berak lu ya?"
Laras tampak pucat. Ia sama sekali tak menimpali ledekan Edi. Melihat Laras yang begitu, Edi pun mengerutkan kening. "Lu ngapa dah, Ras? Kayak abis liat setan aja."
"Emang!" sahut Laras. "Tadi ada setan di kamar mandi perempuan. Untung ada Qistin sama Cesi, kalo enggak ...."
"Lah, bukannya mereka olimpiade di Bandung?" tanya Edi yang semakin bingung.
"Tadi ada kok, udah pulang kali."
"Darsa sama Taraka aja belum pulang, Ras, palingan mereka sampe sekolah tuh malem dan langsung pulang ke rumah."
"Ada, Di, serius, tadi ada Qistin sama Cesi. Mereka masih di kamar mandi kok sekarang."
"Yakin itu Cesi sama Qistin?" tanya Edi. "Jangan-jangan bukan orang."
"Yakin," jawab Laras.
"Mau cek?"
Kini Laras meneguk ludah, seakan meragukan ucapannya sendiri. "A-ayo."
Edi dan Laras bergerak bersama menuju kamar mandi perempuan. Koridor yang sepi dan gelap membuat suasana semakin mencekam. Mereka tiba di pintu kamar mandi dan secara perlahan membukanya.
"Sini, liat, tadi mereka masih di sini," ucap Laras sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
Edi yang masih tak yakin, mengintip ke dalam dan melihat kamar mandi yang sepi tanpa jejak keberadaan Cesi dan Qistina. Keempat bilik kamar mandi pun terbuka, yang berarti tidak ada siapa-siapa di dalam sana.
"Mana?" tanya Edi. "Ngumpet?"
"Eh, gue beneran lho, tadi mereka ... tadi mereka ...." Laras terdiam melihat kamar mandi yang kosong. "Qis? Ces?"
Edi menatap Laras dengan ekspresi yang berubah dari bingung menjadi cemas. "Lu enggak bercanda, kan?"
Laras menggelengkan kepala dengan wajah pucat. "Mereka beneran ada di sini tadi. Suara mereka, lampu mati-nyala, pintu yang kekunci." Laras menunjuk bilik yang berada di pojok.
Edi masuk ke dalam kamar mandi perempuan, ia membuka lebar pintu bilik pojok yang tadi ditempati Laras, tetapi pintu itu terbuka dengan mudah. Tidak ada tanda-tanda kejadian aneh seperti yang dialami Laras.
"Lu yakin liat Cesi sama Qistin di sini?" tanya Edi dengan penuh keraguan. "Kemaren kali, lu lupa."
Laras memandangi pintu bilik yang terbuka lebar. "Yakin, Di."
Edi mendecakkan lidahnya, mencoba mencari pemahaman tentang apa yang baru saja terjadi. "Lu enggak lagi sakit atau banyak pikiran kan, Ras?"
"Lu ...." Laras tersenyum pilu. "Enggak percaya ya, Di?"
Edi tersenyum, lalu mengusap kepala Laras. "Percaya kok, tapi keluar dulu ya dari sini, nanti kalo ada yang liat, kita malah dituduh yang enggak-engak."
Laras mengangguk. Mereka meninggalkan kamar mandi. Kini Edi lanjut pergi ke kamar mandi laki-laki, sementara Laras kembali ke kelas. Di perjalanan, Laras masih mencoba memahami kejadian yang baru saja terjadi. Apakah itu hanya imajinasi ataukah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan?
Waktu sekolah sudah selesai dari satu jam yang lalu. Saat ini Laras sedang melamun di kursi taman, masih memikirkan kejadian siang tadi. Sesekali ia memandang ke arah Edi yang sedang sibuk bermain futsal di lapangan
Ia juga sudah menghubungi Cesi dan Qistin untuk memastikan, dan jawabannya memang cukup mencengangkan. Kedua sahabatnya kini sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta.
"Eh, jangan bengong, nanti kesusuban," ucap Edi yang muncul dari arah depan.
"Kesurupan, Di," balas Laras.
Edi terkekeh. "Gua ganti baju dulu ya, abis itu kita makan es krim. Tenang aja, gua yang traktir."
"Hati-hati digangguin setan penunggu kamar mandi, Di," celetuk Laras.
"Santai, gua kan bareng-bareng, jadi aman."
Edi pun berjalan bersama beberapa rekan futsalnya menuju kamar mandi.
Kurang-lebih sepuluh menit berlalu. Saat sedang melamun menunggu Edi, tiba-tiba terdengar suara pengumuman dari pihak sekolah.
"Pengumuman, waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Diharapkan para siswa-siswi dan guru segera bersiap-siap untuk pulang dan mengosongkan gedung sekolah. Sekali lagi, diberitahukan, waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore ...."
Dua orang satpam terlihat berkeliling sekolah, sepertinya mereka mencari anak-anak yang masih berada di dalam sekolah untuk memberikan peringatan, sekaligus mengusirnya keluar dari sekolah.
Tak lama berselang, Edi datang dengan celana abu-abu, dan kaos hitam bergambar band metal. "Ngeliatin apa sih?" tanya Edi.
Laras sedang mendongak. Ia menunjuk ke arah langit. Edi sontak menatap ke arah langit mengikuti arah telunjuk Laras.
"Kenapa dah?" tanya Edi heran.
"Hari ini gagak-gagaknya enggak ada, Di," jawab Laras.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top