1 : The Rumor

"Darsa!" Dari arah belakang, seorang pria dengan bando di kepala berlari melewati pria berparas dingin yang sedang menggiring bola.

Dengan sigap Darsa mengoper bola pada pria itu. Umpan dari Darsa begitu cantik mendarat di kaki targetnya.

"Bagus, Tar, hajar lobang kencingnye!" teriak penjaga gawang mereka yang mengamati permainan manis rekan-rekannya.

Taraka. Pria bertubuh atletis itu berhadapan satu lawan satu dengan penjaga gawang musuh. Tak ada penjagaan lagi termasuk dari poninya sendiri yang sehari-harinya menghalangi.

Kwak ... kwak ... kwak ....

Tang!

Bola sepakan Taraka membentur mistar gawang lantaran konsentrasinya pudar dilumat nyanyian para gagak yang berputar-putar di atas bangunan SMA mereka.

Di tempat yang berbeda, begitu mendengar nyanyian para gagak, seorang pria yang sedang duduk di atas batang pohon kecapi pun menutup buku yang ia baca dan segera turun dari sana.

Bukan hanya Taraka, Darsa, dan anggota ekskul futsal saja. Nyanyian gagak itu merupakan sebuah tanda pergantian waktu. Pergantian waktu antara yang hidup dan yang mati untuk beraktivitas. Seluruh kegiatan di sekolah harus berhenti apa pun bentuknya sebelum gelap merajai Bumi.

Mungkin sebagian orang mengartikan senja merupakan bentuk keindahan, tetapi sebagian lain menganggapnya sebagai simbol kengerian.

"Pengumuman, waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Diharapkan para siswa-siswi dan guru segera bersiap-siap untuk pulang dan mengosongkan gedung sekolah. Sekali lagi, diberitahukan, waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore ...."

"Cukup latihan dipertemuan kali ini, langsung pulang ya, mandi sama ganti baju di rumah aja. Kita udah kesorean," ucap Taraka selaku kapten tim.

Jam operasional sekolah normalnya hanya sampai jam empat sore saja. Biasanya beberapa ekskul aktif setelah jam sekolah usai, lalu selesai sekitar pukul lima sore, tetapi tak jarang para siswa asik dengan kegiatan mereka hingga lupa waktu. Oleh sebab itu, pengumuman barusan merupakan peringatan akhir untuk seluruh penghuni sekolah agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan.

Selain para anggota futsal, tiga orang gadis terlihat berjalan menuju gerbang sekolah, mereka tampak sedang berbincang.

"Kenapa ya sekolah kita setiap setengah enam selalu aja ada pengumuman begitu? Jadi enggak fokus gitu kalo ikut kelas tambahan. Kesannya jadi was-was," tanya gadis bertubuh kecil dengan rambut sepanjang bahu.

"Masa udah tiga tahun lu sekolah di sini belum paham rumornya sih, Ras?" balas gadis cantik bertubuh tinggi dengan wajah chinese.

Laras memicing. "Rumor apa, Ces?"

"Ras, Ras ...." Chelsea, atau yang kerap disapa Cesi itu menghela napas. "Konon, kata orang tuh tanah sekolah kita berdiri dulunya kuburan, dan bukan cuma itu aja. Katanya dulu waktu belum jadi sekolah, di sini tuh jadi kayak tempat perkumpulan sekte gitu."

"Sekte apa?" tanya Laras lagi.

"Satanis," celetuk gadis berambut sepanjang leher. Tubuhnya tak setinggi Cesi, tapi lebih tinggi dari Laras. Parasnya memang tak secantik Cesi, tetapi cukup manis dipandang.

"Ih serem banget." Laras tampak ketakutan. "Serius lu, Qis?"

Qistina mengangguk. "Rumor yang beredar sih gitu."

Di tengah percakapan itu, "Grrrrrr!" Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh betis Laras.

"Aaaaaaaa!" gadis itu sontak berteriak dan melompat-lompat tak karuan sambil memeluki Cesi dan Qistina.

Edi, penjaga gawang yang tadi bermain di tim Taraka dan Darsa terbahak-bahak. Pria itu memang terkenal usil.

"Di, jangan dibiasin gitu," ucap Taraka dengan senyum di wajahnya seolah sedang menahan tawa.

"Sekali-kali elah, kocak sih ni orang," balas Edi.

Cesi dan Qistina tertawa kecil sambil menggeleng. Di mata mereka, Edi memang lucu, tetapi yang membuat mereka tersenyum bukan itu. Lantaran Edi selalu mengganggu Laras, ya menurut mereka berdua ada sesuatu yang lucu di dalam hubungan Edi dan Laras yang tidak jelas apa.

"Sialan!" Laras meninju pinggang Edi.

"Bar-bar banget lu jadi cewek! Awas, nanti enggak ada yang suka lu," ucap Edi.

"Biarin! Gua, gua ini."

Cesi, Qistin, Taraka dan Darsa berjalan meninggalkan dua orang itu. Sejujurnya, Edi dan Laras masih jauh lebih baik daripada hubungan empat orang di depannya. Bisa dilihat dari lirikan mata mereka yang tak saling terhubung. Cesi melirik Taraka, Taraka melirik Qistina, dan Qistina melirik Darsa, sementara pria dingin itu tampak tak terlalu minat dengan perkara asmara remaja. Namun, ada satu hal yang ia minati.

"Penyembah setan itu bukan cuma sekadar rumor belaka," ucap Darsa. Jika menyangkut hal mistis, ia selalu sudi meluangkan waktu untuk bicara. "Sejarahnya memang begitu."

Gaya bicara Darsa agak baku, tetapi siapa yang peduli? Sifatnya menjadi idaman dari banyak gadis meskipun parasnya tak setampan Taraka.

"Gagak-gagak itu bernyanyi dan menari di atas sekolah kita bukan tanpa alasan," lanjut Darsa.

"Tapi gua denger-denger dari angkatan sebelumnya, sebelum angkatan kita masuk, gagak-gagak itu tuh enggak ada. Kejadian ini baru terjadi tiga tahun lalu, pas banget sama angkatan kita masuk," balas Qistina.

Topik horor dan mistis memang digemari banyak orang meskipun pada akhirnya hanya akan membuat ciut nyali sendiri.

"Pas banget kita kelas satu ye mulainye, sue banget," timpal Edi yang menyusul dari belakang. "Jangan-jangan kita angkatan yang dikutuk? Atau bahkan-terkutuk." Edi mendramatisir kalimat terakhirnya untuk membangun suasana horor.

"Wajar enggak sih, di angkatan kita kan ada dua orang aneh," balas Laras. Mata gadis itu melirik ke arah kiri.

Melihat gerak mata Laras, mereka semua sontak menoleh ke arah kiri, tepat menyorot pada pria berseragam urakan. Waktunya pas sekali ketika sedang menyinggung dua orang aneh di angaktan mereka, salah satunya muncul.

Merasa diperhatikan, sekilas pria itu melirik pada mereka semua, tetapi ia berusaha tak acuh dan meneruskan langkahnya dengan mata kembali terpaku pada sebuah buku yang sedang ia baca.

"Hengkara ...," gumam Qistina.

"Bapaknya dukun santet yang katanya sih sakti banget. Di rumahnya pasti banyak barang-barang klenik," ucap Laras.

Cesi memicing. "Kalo enggak sengaja deket si Hengkara tuh kerasa banget bau kemenyan enggak sih?"

"Iya, nyengat banget," balas Laras.

Di tengah perbincangan tentang Hengkara, Darsa menatap tajam pada Hengkara yang berjalan tak jauh di depan mereka.

Tak terasa langkah kaki membawa perjalanan mereka menjumpai persimpangan empat. Cesi dan Laras mengambil arah kanan, Taraka dan Edi berjalan lurus, sementara Darsa dan Qistina melangkah di jalur kiri.

Qistina dan Darasa saling bertatapan. Mereka seolah berjalan mengikuti Hengkara, padahal tidak. Sebetulnya rumah mereka searah, dan yang lebih kebetulan lagi mereka bertiga merupakan sahabat dari kecil.

"Dulu Hengkara enggak pendiem kayak gitu," gumam Qistina. "Dia seolah menjauh dari kita berdua."

"Semua dimulai semenjak kematian ayahnya," balas Darsa. "Sekarang dia berubah jadi seseorang yang asing dan misterius bahkan buat kita."

Darsa dan Qistina menghentikan langkah di depan rumah berhalaman luas. "Aku duluan ya," ucap Qistina. Ia berjalan masuk ke rumahnya sementara Darsa masih melanjutkan perjalanan beberapa belas meter lagi.

Lagi, Darsa menghentikan langkahnya begitu tiba di depan pagar rumahnya. Sebelum pulang, ia menatap ke arah Hengkara yang masih berjalan lurus.

Begitu Darsa berjalan masuk ke rumah dan menutup pintu, Hengkara menutup bukunya. Pria itu menatap ke arah langit yang menghitam.

"Sebentar lagi, ya?"

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top