Tidak akan Pernah Sama Lagi
Yasril terbaring di atas hospital bed. Kaki, tangan, dan dahinya dibebat. Sejak ditemukan pingsan, lelaki itu belum pula sadarkan diri.
Raza menghela napas berat. Memijat pangkal hidungnya kuat-kuat. Dia bukan pasien, tapi kepalanya ikut berdenyut.
Beberapa jam yang lalu, mereka masih bercanda. Yasril tampak berbeda setelah menikah. Raza selalu tergelitik untuk mengisenginya. Namun, situasi mendadak berubah sedemikian drastis.
"Yas, lo nggak bakal mati, 'kan?" tuturnya sebagai pelampiasan frustrasi.
Tubuh Raza sedikit meluncur dari kursi. Lehernya terhentak ke belakang. Tangannya bersedekap di dada. Dia menengadah, memandang langit-langit berwarna putih.
Pikiran Raza berkelana. Dulu, dia sering bertanya-tanya kenapa Yasril enggan membahas istrinya secara spesifik. Terkesan menutupi sesuatu, begitu misterius. Sekarang, setelah menyaksikan kejadian hari ini, Raza akhirnya bisa sedikit mengerti. Pantas saja Yasril tidak terlalu mengekspos masalah pernikahan.
"Gue kira lo bahagia. Gara-gara lo, gue jadi kepikiran buat nikah." Raza mengusap wajah lelah. "Kata dokter, kondisi lo aman. Cuma lecet dikit. Cemen banget kalau lo mati sekarang."
"Berisik!"
Raza melompat dari kursi. "Lo …, lo udah sadar?" ungkapnya lega sembari menunduk. Mengecek kondisi lelaki itu.
Yasril mengerjap amat pelan. Semula pandangannya kabur, lama-lama kian jelas. Muka Raza adalah pemandangan pertama yang dia lihat.
"Bentar, bentar, gue panggilin dokter."
Yasril tak merespon. Sebenarnya dia sudah terjaga saat Raza mulai bicara sendiri. Namun, kelopak matanya berat, kerongkongannya kering, kepala nyeri, pun anggota badan yang lain. Dia perlu beradaptasi.
Yasril memindai keadaan sekitar. Ruangan serba putih, bau obat-obatan bercampur desinfektan, baju pasien, infus yang melekat di punggung tangan, dan segala tetek-bengek yang menunjukkan bahwa dia benar-benar terbaring di rumah sakit. Yasril kembali terpejam. Dia pun haus. Hanya saja, badannya terlalu kebas untuk digerakkan.
Yumna.
Yasril sontak membuka mata. Dia hendak bangun, tetapi segera ditahan. Ternyata tidak butuh waktu lama bagi Raza untuk memanggil dokter.
"Tenang, gue bakal jawab semua pertanyaan lo," tutur Raza seolah memahami betul jalan pikirannya. "Minum dulu."
Usai menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter menyatakan Yasril masih harus menginap di rumah sakit sampai kondisinya benar-benar pilih. Cedera fisiknya cukup parah meski tidak melukai bagian vital.
Sepeninggal dokter, Raza kembali duduk di posisi semula. Hening beberapa saat. Lelaki itu berdehem karena bingung harus memulai dari mana.
"Gini …."
"Yumna mana?" potong Yasril cepat.
Raza menahan napas sekian detik. "Dia …, nggak, sebaiknya lo dengarin penjelasan gue dari awal."
"Gue cuma mau tau kondisi Yumna!"
"Dia udah ditangani."
"Ditangani? Dia kenapa?"
Hening. Raza memalingkan muka.
"Yumna kenapa?!"
Raza mendekat, memegang pundak lelaki itu. "Apa pun yang nanti gue ceritain, lo harus tenang, oke? Kalau nggak, gue bakal minta dokter turun tangan."
"Gue cuma pengen tau kondisi istri gue!" Yasril berusaha memberontak, tapi Raza menahannya sebisa mungkin. "Brengsek! Lepasin gue!"
Raza menekan lengan Yasril yang dibalut perban, membuat sang empunya berteriak kesakitan. "Kondisi lo kayak gini, masih sempat mikirin orang lain?"
Yasril memelotot. "Orang lain lo bilang? Dia istri gue, sialan!" makinya keras.
"Oke! Istri lo baik-baik aja. Dia udah tenang, nggak ngerasain sakit lagi."
"Maksud lo?"
Raza memaksa Yasril berbaring dengan nyaman. "Lihat, darah lo naik ke selang infus," gerutunya, lalu menekan tombol merah guna memanggil perawat.
"Bawel lo!"
Raza mencebik. "Dengarin sampe selesai, baru lo boleh nanya," peringatnya.
Raza dan Kafka khawatir saat melihat Yasril berlari menuju parkiran layaknya orang kesurupan. Mereka pun memutuskan membuntuti lelaki itu. Sayang, karena menggunakan mobil di jam pulang kantor, mereka jadi tertinggal jauh. Ketika tiba di apartemen Yasril, mereka menemukan orang-orang berkerumun dan rusuh. Untungnya. security langsung mengenali mereka sebagai teman penghuni apartemen karena sering main ke sana dulu.
"Setelah dengar kejadian singkatnya, gue dan Kafka milih buat ngecek ke unit lo."
Senyap. Raza tampak kurang nyaman untuk melanjutkan cerita.
"Terus?"
"Pintu unit lo kebuka, lo pingsan, dan Yumna …."
"Yumna?"
Raza menunduk. Saat pertama kali tiba, mereka menemukan Yasril dalam kondisi tidak sadar. Kamar mandi dikunci dari dalam, tetapi suara gemericik air terdengar jelas. Ketika memutuskan untuk mendobrak pintu, Raza dan Kafka sama sekali tidak menyangka bahwa Yumna akan ada di sana.
"Dia pingsan di bathtub," tutur Raza hati-hati. Mencoba menyamarkan cerita sebenarnya. Dia mengkhawatirkan kondisi mental Yasril.
Bukan apa-apa, dia saja sangat terpukul setiap kali mengingat kejadian itu, apalagi Yasril. Raza menegakkan badan. Dia meraih kertas yang tersimpan di atas meja. "Gue nemuin ini di bawah bantal. Ada tulisan untuk Yasril, Yusra, dan Kak Yafiq di masing-masing kertas," terangnya.
"Bantal di kamar gue?"
Raza mengangguk kaku.
Ekspresi Yasril sulit ditebak saat menerima kertas tersebut. Lelaki itu pun tak menunjukkan reaksi yang berarti. Raza menunggu harap-harap cemas.
"Ceritain secara detail."
"Cuma itu."
Yasril menyorot tajam. "Gimana ceritanya lo tiba-tiba inisiatif nyari sesuatu di kamar gue dan nemuin kertas ini?"
Raza bergeming.
"Za, gue nggak pa-pa," ucap Yasril seolah memahami kekhawatiran kawannya itu. Sejujurnya, Yasril dapat menebak ke mana arah pembicaraan ini. Namun, dia masih berharap dugaannya keliru.
Saat ingin membuka mulut, seorang perawat tiba-tiba masuk. Raza menghela napas untuk yang kesekian kali. Membiarkan petugas medis mengisi keganjilan di antara mereka. Setelah infus Yasril dibenahi, dia tak punya alasan lagi untuk berdalih.
Raza pun terpaksa mengatakan seluruh rangkaian kejadian hari ini. Kala itu, ketika pintu kamar mandi berhasil dibuka, mereka menemukan tubuh Yumna terkulai dalam bathtub. Darah segar bercampur air tergenang di lantai.
Walaupun diliputi kecemasan, mereka masih bisa bertindak rasional. Untunglah, tidak lama kemudian, security muncul bersama petugas medis. Yumna dan Yasril langsung dilarikan ke rumah sakit, diikuti oleh Kafka.
Raza shock berat. Penasaran mengenai beban apa yang sekiranya ditanggung Yumna hingga memutuskan bertindak demikian. Menolak percaya bahwa perempuan itu berencana bunuh diri. Pasalnya, meski agak kikuk, Yumna tampak baik-baik saja di pertemuan pertama mereka. Dia memutuskan untuk mencari petunjuk yang mungkin tertinggal. Lalu menemukan surat di bawah bantal. Dengan demikian, fakta bahwa Yumna mencoba mengakhiri hidupnya, tak dapat terbantahkan.
"Gue ngamanin situasi dulu sebelum nyusul ke sini. Nyewa cleaning service buat bersihin kamar mandi lo. Gue pikir, lo nggak akan suka kalau masalah ini kesebar luas. Jadi, gue nenangin orang-orang yang ada di lokasi. Gue juga ngehubungin pihak pengelola apartemen. Mereka sepakat nggak bakalan nyinggung kasus Yumna lebih jauh karena bakal ngaruh ke reputasi mereka, lo sebagai pengacara, bahkan mungkin firma yang udah kita bangun. Kata-kata gue kedengaran kurang pantas di saat kayak gini, tapi demi kebaikan bersama. Lo boleh marah, maaf."
"Keputusan kalian udah tepat," gumam Yasril. "Thanks."
"Kafka lagi keluar nyari kebutuhan lo. Bentar lagi dia mungkin balik."
"Jadi, di mana Yumna?"
Raza tercenung.
"Lo, lo bilang, istri gue baik-baik aja. Dia udah tenang, nggak ngerasain sakit lagi. Maksud lo, dia juga ada di rumah sakit ini?" tukas Yasril dengan suara bergetar. "Artinya, dia selamat, 'kan?"
Raza menunduk dalam.
"Za, jawab gue!"
"Keluarga kalian nggak dikabarin? Hape lo dan Yumna kekunci, gue nggak bisa buka."
"Nggak. Jangan kasih tau siapa pun kecuali udah telanjur. Cepat jawab gue, di mana Yumna?"
Raza mendebas dan bangkit. Tampak keengganan dari mimik mukanya untuk menerangkan lebih jauh. "Sini, gue antar lo ke tempat Yumna istirahat."
Yasril mengangguk singkat. Tanpa pernah tahu, bahwa apa yang kelak dilihatnya, bagaimanapun dia berusaha menerima situasi tersebut, mentalnya tidak akan baik-baik saja.
Terlebih, jika dia membaca surat yang ditinggalkan Yumna. Sungguh, hidupnya, perasaannya, hatinya, segala hal tentang dia dan perempuan itu, tidak akan pernah sama lagi, sedikit pun.
Bersambung.
Kira-kira kondisi Yumna gimana, ya?
Apa yang dia tulis di dalam surat?
27 Oktober 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top