Terikat Janji Masa Kecil

Yasril tersenyum sendiri saat membaca kalimat di layar ponselnya. Hatinya terasa hangat. Diiringi detak jantung yang berdesir hebat.

Ternyata begini indahnya pernikahan. Pantas banyak yang mendambakan. Cukup menyenangkan setiap kali menyadari bahwa ada seseorang di sisinya.

Jika dulu dia selalu ingin cepat pulang dari kantor karena khawatir, maka sekarang beda lagi. Rasa penasaran dan antusias lebih mendominasi. Tidak ada kebosanan meski mereka bertemu setiap hari.

"Oi, ini manusia satu kenapa, sih? Kerjaannya senyum-senyum mulu. Kayak abege lagi kasmaran."

Yasril tersentak. Dia memutar bola mata kesal. Dasar pengganggu kesenangan!

Enggan menerima komentar lebih banyak dari kawannya, Yasril memutuskan untuk berhenti sejenak. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Kemudian jarinya bergerak mengetuk meja pelan, pura-pura tidak sadar akan tatapan Raza dan Kafka.

Siang ini, mereka sepakat makan bersama. Kafka yang menawarkan diri untuk mentraktir mereka. Sekarang ketiganya sedang menunggu pesanan.

"Gue ngajakin kalian ke sini karena ada yang mau diomongin," ujar Kafka.

"Ngomong aja lagi."

"Gimana mau ngomong? Lo dari tadi sibuk main hape sendiri," timpal Raza sewot.

Yasril hanya mengedik tak acuh. "Ya udah, gue dengarin, nih."

Kafka berdehem. Pandangannya tampak serius. "Minggu ini Kania ulang tahun. Gue pengen ngasih kejutan. Gue butuh bantuan kalian."

Raza dan Yasril sontak saling pandang. "Tinggal lo kasih. Ngapain ngelibatin kita?" jawab Raza cepat.

"Kalian bantu nyiapin sekaligus ikutan. Kita semua kan temanan. Hitung-hitung nostalgia masa kuliah. Udah lama juga kita berempat nggak ngumpul."

"Buat apa bawa-bawa ulang tahun segala? Bocah! Kalau mau ngumpul, ya langsung hubungi. Ngaku aja lo mau nyari muka."

Bukan rahasia lagi kalau pemuda itu menyukai Kania. Pasalnya, Kafka belakangan semakin gencar melakukan pendekatan. Apalagi, setelah Kania menerima penolakan mutlak dari Yasril.

Kafka mendelik ke arah Raza. "Nggak usah nyinyir lo."

Yasril mendengus geli. "Maaf, gue nggak bisa ikutan Minggu ini. Udah ada rencana sama istri gue."

"Nggak bisa ditunda? Lo udah lama banget absen dari perkumpulan."

"Gimana kalau ajakin istri lo sekalian?"

Yasril bergeming beberapa saat. Andaikan kondisi sang istri sama seperti yang lain, tentu dia tidak akan menolak. Masalahnya, Yumna belum benar-benar sembuh. Jangankan berinteraksi intensif dengan orang baru, keluarganya saja bahkan hampir tidak pernah dihubungi. Yasril menjadi satu-satunya perantara.

"Kapan-kapan, deh."

Kafka mencebik keras. "Posesif banget lo jadi laki. Dia secantik apa sampai bikin lo kayak nggak rela gitu? Tenang, kita nggak minat sama istri orang."

Yasril tersenyum tipis. Memaklumi reaksi teman-temannya. Meski demikian, dia tidak berniat membahas masalah Yumna lebih jauh. "Nikah dulu baru lo bisa paham."

Raza dan Kafka sontak mengumpat. Kesal bukan main. "Dasar bucin!"

Selanjutnya, mereka tidak lagi membahas masalah kejutan untuk Kania. Percuma melibatkan Yasril yang jelas-jelas enggan hadir. Percakapan berbelok ke arah isu ekonomi dan politik terkini.

Jeda sejenak saat mereka menyantap makanan. Hingga butir nasi terakhir tandas, bahkan sepanjang perjalanan balik ke kantor dengan menumpang mobil Kafka, mereka sama sekali tidak menyinggung perihal perempuan.

Ketika terjadi keheningan di dalam mobil, Yasril memilih untuk mengecek ponselnya lagi. Ada satu pesan masuk dari sang istri. Senyumnya langsung merekah hingga sukses menarik atensi Kafka dari kursi kemudi.

"Za, kok lama-lama gue muak lihatin tingkah nih manusia, ya?"

Raza tertawa dari arah belakang. "Maklum, lha. Yas jomlo dari embrio sebelum nikah. Jadi, baru ngerasain gimana enaknya punya pasangan."

Yasril yang mendengar percakapan mereka, sekali lagi memutar mata malas. "Anggap aja gue nggak kasat mata."

Gelak ringan terdengar tak lama kemudian. Begitulah ikatan pertemanan mereka. Walau terkadang kalimat sinis terlontar, tetapi selalu ada cara untuk memutarbalikkan suasana kembali cerah.

"Omong-omong, Yas, lo kan udah jarang banget lembur, kerjaan lo gimana?"

"Sejauh ini, lo ngenilainya gimana?"

"Nah, makanya gue nanya. Kita semua tau seberapa pusing berurusan dengan perkara hukum. Cara lo ngatur waktu gimana?"

"Intinya, Yas, si Raza mau minta wejangan sama lo. Dia punya niat nikah dalam waktu dekat kali."

"Emang lo nggak kepo?"

"Sama, sih."

Yasril menatap lurus ke depan. Pikirannya memutar kembali rutinitas selama tiga bulan ke belakang. Ketika dia harus beradaptasi dengan keadaan.

Minggu-minggu awal pernikahan terasa berat. Dia harus mengurus Yumna secara penuh. Sempat pula kerjaannya nyaris terbengkalai.

Untungnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Yumna segera mau berobat. Memang pertama kali butuh diantar ke rumah sakit, tetapi hari-hari berikutnya Yumna naik taksi online sendirian.

Agar tetap mendampingi Yumna, Yasril tidak bisa lagi lembur atau bahkan menginap di kantor, dia memaksakan diri pulang lebih awal. Kerjaannya dibawa serta ke apartemen. Saat malam menjelang, bukannya istirahat ekstra, dia masih terus berkutat dengan berkas-berkas.

Berhubung Yumna menderita insomnia, jadilah mereka begadang bersama hingga kantuk menyergap. Biasanya Yumna membunuh waktu dengan menonton sesuatu lewat ponsel. Sesekali, terselip obrolan di antara mereka. Lalu aktivitas tersebut perlahan menjadi kebiasaan.

"Lha, ditanyain malah bengong. Yas!"

Yasril tersentak. Dia memutar kepala ke arah Kafka. "Gue bawa pulang kerjaan."

"Serius lo? Istri lo nggak ngambek? Biasanya cewek-cewek gitu, pengen diperhatiin terus."

"Dia justru yang nemanin gue begadang."

Raza bersiul rendah. "Pantas lo betah di apartemen!"

"Baik juga istri lo. Bersedia nemanin suami begadang, padahal udah ditinggal kerja seharian."

"Cantik, baik hati, pengertian, rajin ibadah. Istri lo paket lengkap, ya?"

Yasril hanya menyeringai tipis, sedangkan Kafka dan Raza saling tatap lewat kaca spion depan.

Yasril tidak pernah mengira, bahwa sesi obrolan singkat mengenai sang istri, ditutup oleh seringai tipis yang terbit di sudut bibirnya, sukses meledakkan rasa ingin tahu kedua kawan karibnya.

*

Saat malam tiba, Yasril akan menyelesaikan sisa kerjaan, sedangkan Yumna duduk di sampingnya. Sedari tadi ponsel lelaki itu terus bergetar, tetapi tidak dipedulikan. Bukan apa-apa. Hanya saja, Yasril malas merespon karena sudah tahu topik yang akan dibahas.

Itu panggilan dari Kafka atau Raza. Mereka seolah tidak mau tahu, padahal dia sudah menjawab sebelumnya. Begitu kukuh membujuk Yasril untuk ikut serta dan mengajak Yumna ke acara ulang tahun Kania. 

"Kenapa tidak diangkat, Yas?" Yumna melirik sekilas ke arah meja.

"Tidak penting."

Yumna cukup terganggu karena mendengar getaran dari ponsel Yasril. Dia penasaran siapa kira-kira yang begitu agresif menelpon sang suami pada jam begini.

"Yakin? Ponselmu bunyi terus."

"Mungkin mereka sedang kurang kerjaan."

"Mereka?"

"Raza dan Kafka."

"Mending kau nonaktifkan ponselmu kalau begitu."

"Takutnya ada orang penting lainnya yang menghubungi."

"Bukannya mereka rekan kerjamu juga? Coba diangkat, mungkin masalah kantor."

Yasril menghela napas singkat. Dia mengalihkan pandangan dari layar laptop sesaat. Menoleh ke kanan sambil mengulurkan tangan demi mengacak pelan rambut Yumna. "Sama sekali bukan. Abaikan saja. Lanjutkan tontonanmu."

Yumna masih ingin menyanggah, tetapi Yasril kembali fokus pada kerjaan. Sejalan dengan getaran yang terhenti. Yumna pun pada akhirnya memutuskan untuk malas pusing. Sepertinya benar kata Yasril, teman-temannya sedang iseng.

Yumna lantas mengerjap. Memangnya umur mereka berapa? Masa bertingkah kekanakkan begitu?

Ah, sudahlah. Bukan urusannya. Yumna mendongak saat Yasril bangkit dari sofa.

"Mau ke kamar mandi," ujar Yasril sebelum dirinya sempat bertanya.

Tak berselang lama, sepeninggal Yasril, getaran keras kembali terdengar.

Yumna refleks memutar bola mata kesal. Dia menatap benda pipih itu beberapa detik. Jangan-jangan, mereka memang punya urusan mendesak?

Khawatir Yasril melewatkan sesuatu, Yumna memilih untuk menjawab panggilan tersebut. Ketika tombol hijau ditekan, belum sempat Yumna bersuara, rentetan kalimat langsung terdengar di seberang sana.

"Ayolah, Yas. Apa salahnya ngajak istri lo, huh? Lo aneh banget. Orang lain kalau punya istri dengan kualitas bagus pasti bakalan dipamerin. Mau sampai kapan lo kurung? Kita-kita pengen kenalan. Kali aja dia punya kembaran. Nggak usah lebay, please. Nggak ada yang berniat nikung lo. Mau, 'kan? Janji nggak bakal bertingkah macam-macam, deh. Kita cuma kepo soal istri lo. Lagian, lo nggak kangen ngumpul bareng apa? Sejak nikah, lo jadi kayak makhluk gaib tau, nggak? Susah banget ditemuin di luar kantor. Gue paham istri lo bikin betah, tapi masa lo mau terus-terusan kayak gini? Kan lo emang niat kencan sama dia, ya sekalian gitu. Oke, Bro?"

Yumna gelagapan. Bingung harus merespon seperti apa. Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Halo? Lo dengar omongan gue, 'kan? Yas, Yasril?"

Yumna masih bergeming.

"Mendadak tuli lo? Gue anggap lo setuju, deh."

Sambungan terputus.

Yumna seketika linglung. Dia mengembalikan ponsel ke posisi semula dengan gerakan amat lambat.

Maksud orang itu apa? Yasril susah ditemui setelah menikah? Bagaimana bisa?

Yumna tertunduk lesu saat satu pemikiran merasuk ke dalam otaknya. Tentu! Semua terjadi karena keberadaannya. Yasril senantiasa menemaninya. Mengurusnya dengan hati-hati.

Astaga, apakah lelaki itu telah mengorbankan pergaulannya demi Yumna?

Tapi tunggu, tadi dia sempat mendengar bahwa Yasril tidak mau mengajak Yumna bertemu teman-temannya. Apakah lelaki itu enggan membawa masuk Yumna ke dalam lingkungan sosialnya? Kenapa?

Yumna berkedip dua kali. Ada yang aneh. Di kota ini, Yasril memang belum pernah mengajaknya bertemu orang lain secara khusus kecuali psikiater. Yasril seolah membatasi interaksi sosialnya. Namun, kenapa teman lelaki itu berkata bahwa dirinya berkualitas dan layak dipamerkan?

Mungkinkah … Yasril malu memiliki istri sepertinya? Itukah yang membuat Yasril mengarang cerita bagus tentang sosoknya?

Dada Yumna tiba-tiba sesak. Bongkahan batu seolah menutupi jalur pernapasannya.

"Yumna? Hei, Yumna! Kau kenapa?" Yasril menepuk pundaknya. Yumna menoleh patah-patah. "Ekspresimu terlihat aneh! Kau butuh sesuatu? Kau lelah? Tidurlah duluan. Nanti aku menyusul."

Yumna menyentuh punggung tangan Yasril. Dia mendongak, menatap tepat ke manik mata lelaki itu. Lama dan dalam.

"Barusan aku angkat panggilan dari temanmu."

"Apa yang dia katakan?"

"Aku belum sempat bicara, dia langsung memintamu agar bersedia mengajakku ikut kumpul ke suatu tempat sebelum sambungan terputus," bisik Yumna ragu.

"Tidak usah dipikirkan. Kita tidak wajib pergi."

"Apa kau malu karena ada aku?"

Kening Yasril berkerut samar. "Kenapa aku harus malu?"

"Terus kenapa kau tidak berniat ikut, padahal temanmu sampai menelepon berkali-kali begitu?"

Yasril menggenggam tangan istrinya. "Aku pikir, kau mungkin tidak nyaman bertemu orang baru."

Yumna menelan ludah payah. Ternyata Yasril memikirkan kondisinya hingga sedemikian detail. Dia meremas jemari sang suami. Tekadnya sudah bulat. "Aku tak apa."

"Artinya, kau mau ikut?"

Yumna mengangguk takzim. Dia beringsut maju. Mendekap Yasril sangat erat. Maaf, bisiknya dalam hati.

Betapa menyedihkan. Dia menikmati seluruh perhatian Yasril. Tanpa pernah mengerti, bahwa sesungguhnya dia adalah sebuah beban.

Sadar atau tidak, selama ini Yumna telah memanfaatkan janji itu. Tentang Yasril yang berkata akan selalu setia menjaganya. Walau dunia teramat kejam, bahkan bila seluruh manusia berpaling, Yasril akan tetap berdiri di pihaknya.

Pada akhirnya, Yumna menyadari, bahwa Yasril, alasan kenapa terus-menerus berada di sisinya, menikahinya, menyelamatkannya dari kegilaan, menerimanya dalam kondisi terburuk sekalipun, adalah sebab terikat oleh janji masa kecil.

Janji yang merantai kaki Yasril hingga detik ini.

Bersambung.

22 Oktober 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top