Syarat Jatuh Cinta
Yasril menutup laptopnya saat orang yang ditunggu telah tiba. Dia merapikan barang-barangnya di atas meja. Lantas mendongak dan tersenyum simpul.
"Kamu nggak berencana menemuiku untuk membahas kasus, 'kan?"
Yasril menggeleng. "Duduk dulu. Sudah aku pesankan, Ka. Strawberry milkshake dan cheese muffin."
Ka atau Kania. Senior Yasril semasa kuliah. Mereka terpaut dua tahun. Kania adalah seorang pengurus BEM fakultas ketika Yasril berstatus maba. Kini, gadis itu bekerja sebagai jaksa.
"Tumben," komentar Kania.
Cafe yang mereka kunjungi terletak di tengah hutan kota. Pohon-pohon menjulang tinggi. Bangku-bangku kayu berjajar rapi.
Sinar matahari menembus melalui celah-celah dedaunan. Banyak pengunjung yang datang untuk bersantai atau sekadar berfoto ria. Konsep yang diusung oleh pihak pengelola memang instagramable.
Yasril sengaja datang ke sini karena membutuhkan suasana yang segar dan nyaman di tengah padatnya perkotaan. Dia memilih duduk di area outdoor, daripada indoor.
Kania menopang dagu menggunakan tangan kiri. Pandangannya lurus ke depan. "So?"
"Apa?"
"Aku punya firasat buruk tentang pertemuan ini. Berapa tahun aku kenal kamu? Sembilan atau sepuluh? Kamu pakai pola yang mirip ketika hendak merealisasikan rencana tertentu."
Yasril berdehem. "Kamu nggak mau menunggu pesanan dulu?"
Kania tertawa halus. "Kenapa mukamu tegang? Apa dugaanku benar?"
Yasril terdiam sejenak. Membalas tatapan Kania. Dia lantas menghela napas pelan. "Kamu ingat apa yang aku katakan tentang hubungan ... romantis?"
Sorot mata Kania menjadi awas. Dia tidak mungkin lupa kala itu. Ketika Yasril akhirnya memberi kesempatan baginya untuk mendekat.
Kania telah jatuh hati sejak mereka masih berstatus senior-junior. Yasril tampak berbeda di antara mahasiswa lainnya. Dari sisi penampilan, dia bukanlah yang paling mantap. Namun, lelaki itu menonjol dengan caranya sendiri. Dia tetap aktif berargumen meski dialeknya terdengar aneh dan mengundang tawa.
Dia punya kemampuan beradaptasi yang baik. Cara bicaranya agak kasar, tapi punya kepedulian tinggi. Tak heran, Yasril sukses menarik perhatian para senior, termasuk Kania.
Sayangnya, tak peduli sekuat apa pun pendekatan yang dilakukan, Yasril seolah menutup diri dari hubungan romansa. Hingga tiga tahun yang lalu, Yasril menunjukkan perubahan.
"Siapa pun boleh mendekat, tapi tidak ada jaminan kalau kamu akan membuka hati." Kania menelan ludah. "Kenapa ... tiba-tiba bahas itu?"
Yasril bergeming. Ekor matanya melirik waitress yang menghampiri mereka. Dalam penantian tersebut, tak tersirat ekspresi apa pun di wajahnya.
"Yas?" panggil Kania sepeninggal waitress.
"Kamu perempuan paling dekat denganku saat ini."
"Oke, terus?"
"Aku sangat senang bila kita tetap berteman."
Hening.
Kania menegakkan badan. Kedua tangannya saling menumpuk di atas meja. Dia pernah mencoba pacaran bersama pemuda lain, tapi gagal. Kania berharap Yasril adalah yang terakhir. Meski tidak secara harfiah pacaran, pemuda itu seolah memberi lampu hijau.
"Aku pikir, kamu mulai memandangku secara berbeda saat mau merespon panggilan aku-kamu. Ternyata sama saja, ya?"
"Maaf," sahut Yasril. Hanya kata itu yang terlintas di benaknya.
"Kenapa?" Kania mengerjap. Egonya terluka. Rasa percaya dirinya dihempaskan. "Apa yang kurang dari aku?"
"Nggak ada."
Kania mendengus tipis. "Nggak ada?"
"Masalahnya, kita nggak selalu butuh sosok yang sempurna untuk jatuh cinta, 'kan?" Yasril mengernyit samar. "Aku minta maaf karena membiarkanmu menunggu selama tiga tahun ini."
"Sembilan tahun, Yas."
"Apa?"
"Kamu serius atau pura-pura nggak tahu kalau aku suka padamu sejak lama?"
Yasril bergeming. Sangat tahu, bisiknya dalam hati. Kania berlaku baik padanya. Tak segan membantu ketika dia terkena masalah. Berperan layaknya senior panutan.
Hanya saja, dia tidak membuka diri untuk menjalin kisah romansa. Yasril terlalu fokus mengejar impian kala itu. Tatkala angannya nyaris tercapai, dia justru menerima patah hati pertama.
Setelahnya, Yasril mencoba membiarkan gadis lain masuk di hidupnya. Dia kira semua dapat berjalan lancar. Nyatanya, tahun terus berganti, tapi perasaannya setia menetap. Padahal, Yasril berusaha menutup kenangan tentang Yumna setelah pertemuan terakhir mereka waktu itu.
"Kata Kafka, dulu kamu berubah gara-gara ditinggal nikah," ucap Kania. "Jangan bilang, sekarang kamu balik lagi gara-gara perempuan itu cerai sama suaminya," imbuhnya sarkastik, setengah bercanda.
Yasril menarik napas. "Namanya Yumna. Kamu benar, dia diceraikan suaminya."
Kania terbeliak. Kaget karena Yasril tak membantah, ditambah candaannya tepat sasaran. Lalu senyum sinis terbit di sudut bibirnya. "Mengutip istilah masa kini, kamu itu ... PHP untuk gadis lain, sekaligus bucin terhadap satu orang."
"Nggak ada yang berperan sebagai PHP, Ka. Sejak awal, aku nggak menjanjikan apa pun untukmu, ingat?" Yasril menolak tuduhan tersebut. "Bucin, ya? Entah bagaimana kamu memandangnya, tapi kami punya sejarah panjang yang nggak bisa dimengerti orang lain."
Kania menyugar rambutnya. "Yas, aku boleh menamparmu?"
"Hm?"
Tanpa aba-aba, Kania langsung bangkit. Dia beringsut ke depan. Tangan kirinya bertumpu pada meja, sedang tangan kanannya melayang ke udara. Hanya sepersekian detik terjeda, dia berhasil menyalurkan emosi terpendamnya.
Seluruh pasang mata tertuju ke arah mereka. Yasril menyentuh pipi kirinya shock. Kania menghempaskan bokong ke kursi. Gadis itu bersedekap sembari mengembuskan napas kuat.
"Nggak sebanding dengan sakit hatiku, tapi aku cukup puas," ujar Kania terkesan pongah.
Yasril terdiam sesaat, sebelum seringai andalannya muncul. Setelah dipikir-pikir, dia selalu berurusan dengan gadis bar-bar. Dulu Yusra, sekarang Kania. Semoga tak terjadi lagi di masa depan.
Apa dirinya memang amat menyebalkan hingga memicu para gadis melakukan tindak kekerasan?
"Aku menyesal jatuh cinta pada orang bodoh sepertimu. Apa yang kamu harapkan dari perempuan itu? Berniat menggantikan mantan suaminya?" kecap Kania sebelum menyedot milkshake-nya.
"Namanya Yumna. Aku punya janji seumur hidup padanya. Mana mungkin aku diam saja di saat dia bersedih?"
Kania menunduk. Mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. "Sial, aku iri pada orang yang belum pernah kutemui. Katakan, dia sehebat apa sampai membuatmu begitu?"
"Ka, habiskan pesananmu. Kamu ke sini naik apa? Mau aku antar pulang?" Yasril sadar bahwa gadis ini sedang tidak baik-baik saja. Kania hanya mempertahankan harga diri. Tergambar jelas dari gerak-geriknya.
"Dia pasti cantik, berpendidikan tinggi, karir yang matang. Ceritakan, seberapa hebat gebetanmu sampai kamu mau menunggunya selama ini?"
Yasril berdiri. Pertemuan mereka harus segera diakhiri. "Ayo pulang."
Kania mendongak. Pandangannya nanar. "Katakan," pintanya.
Yasril mengatupkan bibir hingga membentuk garis lurus. Dia mengambil ransel miliknya sekaligus sling bag Kania. Kemudian memutari meja. Menarik tangan Kania lembut agar mau bangkit.
"Aku heran terhadap perempuan. Kalian mempertanyakan sesuatu yang jelas-jelas bikin sakit hati. Masochist atau apa?" gerutu Yasril.
Kania tertatih mengimbangi langkah Yasril. "Aku kesal kepada laki-laki. Berlagak bagaikan pahlawan, padahal kalian sumber penyakitnya."
Yasril berhenti sejenak. Menoleh ke belakang. Menunggu Kania menyesuaikan diri. Menautkan jari-jemari mereka. "Perempuan yang aku suka bukan siapa-siapa. Nggak hebat seperti yang kamu bayangkan. Namun Yumna, dia mengisi momen-momen penting di hidupku."
Kania berhenti. Mereka saling bersitatap tanpa melepaskan genggaman.
"Kamu pernah bilang, salah satu alasanmu nyaman bersamaku karena aku nggak merokok. Asal kamu tahu, semasa SMA aku adalah perokok aktif. Yumna menghentikanku dengan caranya yang unik."
Kania menunduk. Menyejajarkan langkahnya. Mereka kembali berjalan.
Keheningan panjang merayap. Yasril melirik lewat ekor mata. Dia sontak mendesah pelan saat mendapati ekspresi sendu gadis itu.
"Kamu naik apa, Ka?"
"Mobil."
"Mana kuncinya? Sini aku antar."
"Motormu?"
"Gampang, nanti balik ke sini lagi pakai ojol."
"Nggak usah. Aku sanggup sendiri."
"Ya sudah, hati-hati." Yasril mengurai genggaman, tapi Kania menahannya.
"Cuma itu?"
"Maaf?"
"Apa nggak ada kesempatan buat aku?"
"Ka ...."
"Dia masa lalu. Kamu mau mengorbankan masa depanmu untuk sesuatu yang nggak pasti? Cuma karena cerai, dia nggak lantas bersedia dinikahi olehmu."
"Aku nggak bilang mau menikah?" Yasril mengerutkan dahi samar.
"Terus apa? Kamu mendorongku menjauh karena dia, 'kan?"
Yasril memutar bola mata. "Ngaco. Jangan menyimpulkan seenaknya. Di mana mobilmu? Biar aku antar."
"Nggak butuh!"
"Aku ceritakan sambil jalan," tawar Yasril.
"Deal!"
Yasril mendesis seraya mengikuti langkah kaki Kania.
***
Yasril baru selesai makan malam ketika poselnya berdering, pertanda sebuah panggilan masuk. Dia bergegas menerimanya setelah mendapati nama Zaki tertera di layar.
Mereka memang sering bertukar kabar. Zaki, remaja berusia 15 tahun itu senang menceritakan banyak hal padanya.
Yasril tak keberatan. Walau situasi antara dirinya dan Yumna tak sama lagi, dia tetap berhubungan baik dengan keluarga sahabatnya itu.
"Halo?"
Yasril mengerjap. Suara Zaki terdengar serak. "Ya?"
"Kak Yumna, Bang."
"Yumna kenapa?"
Zaki menarik napas panjang. " Aku merasa bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak tahu harus bagaimana. Kak Yumna, Bang, dia ... Kak Yumna ... bercerai."
Yasril tertegun sangat lama.
"Aku belum terlalu paham kondisinya. Bang Yafiq minta rujuk, Kak Yumna menolak. Mamak dan Bapak ikutan membujuk, tapi dia bersikukuh. Katanya, mereka sudah tidak menemukan kecocokan. Lalu setelah itu ..., dia jadi aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Kadang ketawa, kadang menangis. Suka bergumam sendiri. Pandangannya tak fokus saat diajak bicara. Kak Yumna tidak mungkin ... gila, 'kan?" bisik Zaki tercekat di akhir kalimat.
Yasril seketika linglung. "A-apa?"
"Aku kurang paham masalah pernikahan. Hanya saja, apa ketidakcocokan antarpasangan bisa bikin orang jadi seperti itu? Aku harus bagaimana, Bang? Kasihan Kak Yumna. Orang-orang yang datang menjenguk, sebagian memang bersimpati, sebagian lainnya justru asyik bisik-bisik di belakang keluarga kami. Salah satu teman sekolahku sampai mengonfirmasi hal tersebut padaku. Dia mendengar tentang kemungkinan kakakku gila dari mamaknya."
Yasril memijat pangkal hidungnya. "Bagaimana respon keluargamu?"
"Rencananya mau dibawa ke RSJ. Kak Yumna langsung mengancam akan menyakiti diri sendiri begitu dikabari. Kata Kak Yusra, alasan mereka bercerai pasti bukan cuma ketidakcocokan. Sayangnya, baik Kak Yumna maupun Bang Yafiq menolak berterus terang."
Lengang.
Yasril berusaha mencerna semua informasi yang didengarnya.
Dulu, mereka tetap berkomitmen menjadi sahabat. Meski demikian, keduanya menyadari tentang batas-batas yang tak boleh dilanggar. Dan pada akhirnya, segala jenis interaksi di antara mereka lenyap seiring berjalannya waktu.
Yasril menahan diri untuk tidak mencari tahu apa pun mengenai Yumna kecuali menanyakan kabarnya kepada Yusra dan Zaki sesekali waktu. Khawatir mengundang tanda tanya bila terlalu menunjukkan kepedulian kepada istri orang. Lagi pula, sudah ada Yafiq yang lebih berhak menjaga Yumna.
Sepengetahuannya, Yumna baik-baik saja. Sempat mengalami guncangan ketika keguguran, kemudian berangsur pulih. Setelah sekian lama, kenapa tiba-tiba muncul berita semacam ini?
"Bang Yas?"
Yasril tersentak. "Beri Abang waktu untuk berpikir, Dek. Sekarang tugasmu cukup awasi Yumna. Jangan sampai dia membahayakan dirinya."
"Maaf merepotkan, Bang. Aku tutup dulu kalau begitu."
"Tolong laporkan perkembangan kondisi Yumna."
"Iya."
***
"Jadi, mereka bercerai dan temanmu down, begitu?"
Yasril tak menjelaskan situai detailnya. "Kurang lebih."
"Luar biasa, ya?"
"Apa?"
"Adiknya menelponmu semalam, sore ini kamu langsung bertindak. Tapi, aku tetap belum paham. Jika memang nggak berniat menikahi dia, kenapa kamu menyuruhku berhenti mendekat?"
Mobil melambat karena macet. Yasril menoleh ke kiri. "Karena dulu ataupun sekarang, aku selalu peduli padanya. Itu janjiku," sahutnya tegas. "Giliranku bertanya, seandainya hubungan kita mengarah ke jenjang serius, apa kamu siap menghadapi kenyataan, bahwa dia akan senantiasa muncul dalam prioritasku?"
Kania bergeming.
"Bagaimana, Ka? Kalau kamu siap, menikahlah denganku."
-Bersambung.
Aku pengen tahu gimana pandangan kalian tentang perasaan Yasril?
Apa terkesan aneh dan 'bodoh'? Secara, Yumna bukan siapa-siapa, sedangkan di dekatnya ada gadis selevel Kania.
Apa dia serius ngajak Kania nikah? Apa rencananya untuk 'menyelamatkan' Yumna?
Aku sendiri, mengenal orang sejenis Yasril di dunia nyata. Dia suka teman masa kecilnya dari TK sampai sekarang. Umur si doi udah 22+
Berapa tahun naksirnya, tuh?
Padahal, sama kayak Yumna-Yasril, mereka tinggal di pulau berbeda, jarang berinteraksi, beda lah sama masa-masa remaja. Tapi ya gitu, perasaannya awet banget.
Setelah aku cari tau, ehm, yang bikin gagal move on itu ... kenangannya. 😆
Aku update besok kalau vote seluruh chapter sampai 1k, ya. Kalau belum, mungkin Senin depan? Tunggu aja, deh. :(
3 Agustus 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top