Suara yang Tak Bisa Didengar
Pernikahan selalu menjadi salah satu fase hidup yang dinantikan. Momen menyenangkan bagi banyak pihak. Khususnya calon pengantin.
Seharusnya begitu, tetapi tidak bagi Yumna. Dia tidak merasakan apa pun. Senang, ataupun sedih. Hambar. Bahkan, di saat Yafiq tengah memakaikan cincin padanya, dia tak jua merasakan getar-getar mendebarkan.
Hari ini, selayaknya calon pengantin, mereka berkunjung ke Kota Kabupaten untuk membeli barang-barang seserahan. Ditemani kakak tertua Yafiq, Hamida. Wanita itu memang tinggal di sana.
"Bagaimana menurutmu?"
Yumna menunduk. Menatap jari manisnya. Sebuah cincin emas polos melingkar begitu pas. "Bagus."
"Jadi, kalian ambil yang ini?" Hamida memastikan sekali lagi.
Yafiq mengulum senyum persetujuan. Yumna langsung melepaskan benda mungil itu dan menyerahkannya kepada calon ipar. Hamida membantu mereka melakukan transaksi.
"Setelah ini, kita langsung ke penjahit langganan Kakak?" tukas Yafiq.
Mereka berlalu dari toko perhiasan. Melangkah menuju parkiran. Hamida sengaja membawa mobil untuk memudahkan transportasi mereka.
"Iya. Terus mampir ke rumah Kakak untuk mengambil barang-barang yang lain."
Sebelumnya, Yafiq telah meminta tolong kepada Hamida agar membeli perlengkapan seserahan untuk calon mempelai wanita. Sesuatu yang sifatnya umum. Sepatu, sandal, seperangkat alat salat, peralatan make up, dan lain-lain. Adapun urusan cincin, itu terlalu sakral. Lagi pula, susah menebak ukuran jari mereka bila tidak mencoba langsung.
Benda beroda empat itu mulai bergerak. Mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Hamida diam-diam melirik ke bagian belakang.
Yumna dan Yafiq, mereka tidak terlihat seperti pasangan pada umumnya. Hamida sudah mendengar cerita dari mamaknya. Hanya saja, dia masih belum percaya.
Sejak awal, Yafiq satu-satunya yang menebar senyum. Yumna bertampang datar. Yafiq berusaha mendekat, sedang Yumna diam di tempat. Yafiq yang aktif, Yumna pasif luar biasa. Hamida serta-merta merasa geram. Tak rela adik kesayangannya diperlakukan demikian.
Hamida hilang respek. Tak menyukai Yumna. Terlampau jual mahal. Padahal, dia buka siapa-siapa. Kurang pantas bersanding dengan sang adik. Nilai Yumna adalah nol di matanya.
"Fokus ke depan, Kak. Nanti tabrakan."
Hamida mendengus tipis. Genggamannya pada kemudi mengerat. Jangan sampai dia hilang kendali, dan membuat keributan.
"Yumna, tahu warung bakso Mas Bambang, tidak?"
Hamida menajamkan pendengaran. Berusaha menyimak.
"Tidak."
"Bagaimana kalau kita makan siang di sana? Warung terkenal. Kau pasti suka."
"Iya."
Astaga!
Mulut Hamida mengatup rapat. Dia menyorot tajam lewat kaca spion. Pandangannya bertemu dengan manik milik Yafiq. Pemuda itu masih mempertahankan senyuman.
Fo-kus.
Begitu gerak bibir Yafiq memperingatkannya. Hamida menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan.
Gadis seperti Yumna, bagaimana dia akan mendampingi Yafiq?
Demi apa pun, Hamida mendadak kesal mengetahui kenyataan bahwa mereka akan menikah.
"Dek," pancing Hamida.
Barulah Yumna mau mengalihkan tatapannya dari jendela. Dia menengadah, membalas pantulan mata Hamida. "Kakak memanggilku?"
Hamida mengukir senyum tawar. Membenahi posisi duduknya. Otot-ototnya terasa kaku. Dia berusaha untuk relax. "Kenapa mau sama Yafiq? Dia bau pesing waktu kecil, lho."
"Kak!" seru Yafiq. Kenapa tiba-tiba membahas kenangan memalukan, batinnya.
"Kerjaannya menangis. Ingusan. Manja bukan main. Kalau kalian menikah, kau akan mengurus bayi besar."
"Aku tidak seperti itu, hei. Kakak jangan memfitnah!"
Hamida tertawa pelan. Dia sengaja mengatakan hal ini. Ingin tahu respon Yumna. Ternyata perasaan puas saat mengganggu Yafiq masih tersisa. Dia jadi merindukan masa kecil.
"Tak apa, Kak. Sekarang, Kak Yafiq sudah wangi. Semua bayi pernah sangat berbau tak sedap pada masanya," sahut Yumna lempeng
Aroma parfum Yafiq memang menyegarkan. Sensasi menggelitik menyentuh relung hati bila berada di dekatnya. Reaksi alamiah tubuh saat menemukan kenyamanan. Bikin betah.
Yumna hanya menyuarakan kebenaran, tetapi efeknya luar biasa untuk lelaki di sebelahnya. Yafiq mendadak salah tingkah. "Eh, terima kasih."
Hamida memicing. Lantas menggeleng prihatin. Memang salah Yafiq, yang tergila-gila pada Yumna.
"Jadi, kau tertarik karena Yafiq wangi?"
Yumna terdiam sejenak. Menebak-nebak apa sekiranya yang diinginkan sang calon ipar. Yumna sadar, Hamida memandangnya tak suka sedari tadi. Dia hanya pura-pura tak tahu.
Lagi pula, apa yang bisa diharapkan?
Jangankan Hamida, Bu Rosidah saja tak menaruh perhatian padanya. Yusra yang mereka inginkan sebagai menantu. Sayang, keinginan Yafiq sulit dibantah.
Yumna pada akhirnya tetap bersikap biasa. Menjaga sopan santun di depan para tetua. Sesekali, bernada sarkasme bila berdua dengan Yafiq.
"Halo?"
"Ah, maaf. Aku ... suka semuanya," gumam Yumna ragu.
Yafiq dalam pandangan Yumna adalah sosok sempurna. Terlepas dari obsesi miliknya, yang dia klaim sebagai cinta. Bagi Yumna, menikahi Yafiq seperti memainkan drama Cinderella.
Dia yang malang, dipertemukan dengan sang pangeran.
Ending-nya? Mudah ditebak. Ngenes. Sebab, sekali lagi, ini cuma fiksi.
Rumit? Sederhananya begini, Yumna memposisikan diri sebagai sebuah novel, dengan Yafiq sebagai pembaca. Suatu hari, entah kapan, Yafiq akan mencapai titik jenuh. Lalu perlahan mulai meninggalkannya.
Dalam contoh lain, Yumna menganggap dirinya bagaikan permainan tradisonal. Begitu dikagumi pada masanya. Sebelum hilang ditelan zaman.
Yafiq boleh mengukuhkan perasaannya sebagai cinta. Terserah dia. Namun, Yumna menolak percaya.
Cinta identik dengan pengharapan. Orang-orang yang saling mencintai akan berusaha membahagiakan satu sama lain. Sedang bagi Yumna, kebahagiaan adalah imaji. Sesuatu yang sifatnya tak pasti, hanya menghasilkan lelah.
Yumna menyadari, ketertarikan terhadap lawan jenis, adalah sesuatu yang mutlak. Dorongan seksual merupakan fitrah setiap insan. Oleh karena itu, Yumna sempat berpikir, Yafiq mungkin mengalami kecenderungan serupa padanya. Namun, bila ditelaah kembali, tampaknya agak mustahil. Karena ditinjau dari sisi manapun, Yumna sama sekali tak menarik secara fisik.
Enggan mengakui keberadaan cinta dan segala omong kosongnya, Yumna mencari tahu alasan Yafiq. Lalu dia menemukan istilah yang tepat, obsesi.
Ini seperti kau menemukan barang impianmu sedari kecil. Kau diberi kesempatan untuk memilikinya.
Paham? Begitulah perasaan Yafiq terhadap Yumna.
Jadi, apa yang dapat dibanggakan?
Yumna hanya perlu menunggu waktu, sebelum Yafiq benar-benar membuangnya.
Sampai saat itu terjadi, dia hanya perlu mengikuti arus, bukan?
"Sudahlah. Kakak terlalu kepo," tutup Yafiq. Dia menyadari ketidaknyamanan Yumna, juga keterpaksaan di balik ucapannya.
Tahu betul bahwa Yumna berbohong. Jika memang menyukai semua yang melekat padanya, dia tak mungkin terpikir untuk menolak.
Yafiq mulai membiasakan diri menerima kepribadian Yumna yang demikian. Dia yang kukuh menawarkan pernikahan. Artinya, segala konsekuensi biarlah menjadi tanggungannya.
Dia tak ingin lagi menyinggung masa lalu mereka. Pun, meminta sang gadis memahami perasaannya. Keberadaan Yumna di sisinya, sudah lebih dari cukup.
Sekarang, tugasnya adalah mengembalikan senyuman tulus gadis itu.
Dengan harapan, kelak, entah kapan, Yumna akan berubah.
Ingat? Yafiq selalu percaya keajaiban doa. Dia punya Tuhan, yang membolak-balikkan hati manusia.
"Wajar. Kalian tidak pacaran. Kakak penasaran," sahut Hamida kesal.
"Masih jauh, Kak? Sepulang dari penjahit, kita mampir ke warung bakso dulu."
"Iya," timpal Hamida, sebelum dia menutup mulut rapat-rapat.
Diam-diam, Yumna mengembuskan napas lega. Tadi, tanpa diundang, perasaan sesak dan muak lagi-lagi menghampirinya. Namun kini, dia bisa tenang. Yafiq mengambil alih obrolan.
Dalam hening, Yumna membisikkan kata serupa apresiasi untuk laki-laki itu. Suara yang tak bisa didengar oleh seorang pun.
Sebuah ungkapan terima kasih karena tidak memaksanya berbicara lebih jauh.
-Bersambung.
Apa kalian agak-agak kesal ke Yumna setelah baca ini? Heuheu~
22 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top