Sisi Lain yang Tak Diketahui

Warning: Terdapat kata-kata kasar dan frontal. Bukan untuk ditiru, dimodifikasi, apalagi dibenarkan.

*
*
*

Pantai Meleura yang menjadi tujuan wisata Yasril dan Yusra, berada di Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna. Letaknya kurang lebih 15 km dari ibu kota Kabupaten Muna, Raha.

Sepanjang perjalanan dari Raha, mata akan dimanjakan oleh formasi batu kapur yang indah. Dikelilingi perbukitan, tempat penduduk bercocok tanam, menanam jagung dan aneka sayuran.

Rumah-rumah tradisional berpagar batu kapur setinggi kira-kira 30 cm menambah kesan pedesaan. Jalan yang ditempuh berkelok-kelok, dengan lebar sekitar dua meter, dinaungi pepohonan rindang.

Sebelum sampai di Pantai Meleura, wisatawan akan menemui Gua Terapung. Letaknya kira-kira 350 meter sebelum pantai nan memesona itu.

Pengunjung harus berjalan kaki untuk mengakses gua tersebut, dikarenakan medan yang amat terjal, dan terhimpit di antara batu karang.

Hamparan laut berwarna biru kehijauan tampak menyejukan mata. Betapa bening dan bersih airnya, hingga pengunjung dapat memandang dasar lautan dengan mata telanjang. Merekam kawanan ikan hingga pasir putih yang membentang.

Fasilitas yang tersedia pun cukup beragam. Hotel, mushala, parkiran, warung makan, kamar mandi, gazebo, dermaga kayu, sewa pelampung, alat pancing, bahkan sampan dengan harga terjangkau.

Garis pantai cukup dangkal, ditambah ombaknya yang tenang, terasa cocok sebagai lokasi bermain. Pohon-pohon kelapa tampak menjulang di kejauhan. Angin berembus hangat dan nyaman, memberi kesan relaksasi yang sempurna.

Tak berlebihan jika tempat ini disebut-sebut sebagai Raja Ampat versi Muna.

Yasril dan Yusra, mereka telah tiba sejak lima belas menit yang lalu. Hal pertama yang dilakukan setelah memarkirkan motor, adalah berganti pakaian.

Yusra mengenakan denim hot pants, tank top dilapisi kemeja motif garis vertikal, dilengkapi topi lebar. Yasril memakai kaos putih polos berlengan pendek, celana denim selutut, serta tambahan kaca mata hitam.

Setelah menitipkan barang di pos penjaga, mereka memutuskan untuk menyusuri garis pantai. Namun, sudah hampir lima menit mereka berjalan, tak kunjung ada yang membuka mulut.

Yasril melirik Yusra. Gadis itu tak banyak bicara. Dia hanya mengatakan sesuatu yang penting. Tidak seperti biasa. Sorot matanya juga tampak sayu, padahal dia yang memaksa ke sini.

"Kau tidak takut kulitmu rusak?" pancing Yasril.

"Aku pakai sunblock."

Yasril menghela napas sesaat. Sepertinya Yusra benar-benar tersinggung karena pernyataannya. Dia berubah pendiam tepat setelah mereka meninggalkan rumah. Yasril sebetulnya tidak mengerti.

Bukankah mereka sudah sering berbicara dengan nada sarkastis? Kenapa baru sekarang Yusra bereaksi begini?

Di masa lalu, dirinya bahkan pernah melakukan yang lebih parah. Bukan sekadar serangan verbal, tetapi disertai sentuhan fisik. Yasril tidak mungkin lupa kejadian kala itu. Bagaimana Yusra menangis, lalu marah-marah setelahnya.

Ah, sudahlah.

Terserah Yusra hendak bersikap seperti apa. Tujuan Yasril ke sini bukan jalan-jalan, melainkan mencari tahu tentang Yumna.

"Aku tidak paham apa masalahmu, tapi kau harus penuhi janjimu."

Yusra tiba-tiba berhenti. Dia menoleh ke arah Yasril, menatap nyalang. Kemudian tertawa sinis. "Bodoh sekali karena aku sempat berharap kau akan minta maaf. Kau cuma peduli tentang Yumna, 'kan? Baik. Ayo cari tempat yang lebih enak untuk mengobrol, lalu kita pulang. Dan lupakan bahwa kita pernah saling mengenal."

Yasril mengernyit dalam. Dia buru-buru menahan pergelangan tangan kiri Yusra, ketika sang empunya hendak melanjutkan perjalanan.

Alangkah tak terduga, Yusra berbalik, dan langsung melayangkan tamparan keras ke pipi Yasril. "Jangan sentuh aku!"

Tautan tangan mereka terlepas. Yasril terbeliak. Lidahnya kaku. Mukanya merah padam. Perih.

"Cuma karena aku pernah keliru semasa remaja, apa pantas bagimu untuk memandangku seperti gadis murahan? Kau bebas menatapku, menyentuhku, lalu menghinaku sepuasanya, begitu?" tutur Yusra getir. Pandangannya nanar. "Seenaknya membuatku deg-degan, salah tingkah, lalu menertawakanku. Tak kusangka, serendah itu nilaiku di matamu."

"Apa ...."

"Diam! Aku peduli padamu, tapi kau malah menuduhku yang bukan-bukan. Ujung-ujungnya kau sendiri yang memindahkan ranselmu untuk menutupi dada. Coba ingat, apa aku menempel padamu?" Yusra menunduk. Air matanya berjatuhan. Menciptakan riak kecil di permukaan laut. "Kau adalah laki-laki paling brengsek yang pernah aku temui."

Lengang beberapa saat. Yasril masih belum berkutik. Dia terlalu kaget menerima serangan mendadak.

"Padahal, kau yang menyadarkanku. Tapi, kau juga yang berakhir mempermainkanku. Dulu, aku belum paham kenapa kau tampak membenciku. Sekarang, setelah kita bertemu lagi, aku rasa alasanmu demi melindungi Yumna. Kau benar, aku tukang gosip, bermuka dua, dan suka menjahili Yumna. Namun, apa kau pernah bertanya apa alasanku?"

Yusra berusaha menghapus air mata, tapi sial, masih saja bercucuran, bahkan semakin deras.

"Asal kau tahu, selain Mamak, kurasa tak ada yang benar-benar menyayangiku. Keluarga besarku selalu menyalahkan aku sebagai penyebab Yumna diabaikan. Padahal, aku tidak pernah meminta untuk terlahir dengan kondisi fisik lemah. Ayah sibuk bekerja, dan Zaki masih terlalu kecil untuk mengerti.

"Apa salah berjuang mati-matian untuk mempertahankan perhatian Mamak? Apa salah berusaha keras menjadi seperti yang orang lain harapkan? Jika aku diam saja, akankah keluarga besarku berhenti bertingkah, dan membiarkan kami hidup damai?

"Orang lain, bahkan dirinya sendiri, boleh beranggapan bahwa Yumna amat suram. Dia seperti kehilangan harapan. Namun, sejujurnya, bagiku, dia terlihat bebas. Dia berani melepaskan diri dari tuntutan masyarakat. Tak ragu tampil apa adanya. Aku benar-benar iri. Dulu, dia punya kau di sisinya, dan sekarang Kak Yafiq. Sedang aku, seperti yang kau bilang, orang-orang memuji kecerdasan dan fisikku. Lalu aku mulai bertanya-tanya, jika aku kehilangan dua hal ini, masikah ada yang peduli? Atau mungkin, aku akan dilupakan dan terbuang.

"Kau mungkin takkan mengerti, tapi ilusi kesepian, sangatlah menakutkan. Dikelilingi oleh orang-orang, berada di tengah keramaian, tapi merasa sendiri. Asing. Lucunya, meski muak, aku tidak bisa lepas. Karena memiliki orang yang dapat diajak bicara, masih lebih baik dibanding terjebak kesepian secara nyata."

Yusra menarik napas dalam-dalam. Dia menengadah. Memandang Yasril lurus.

"Ah, aku malah curhat. Kau pasti menganggapku gadis aneh. Kasihan sekali aku ini, sudahlah dianggap murahan, ditambah aneh pula," tukasnya seraya tertawa hambar. "Ayo balik ke dermaga. Sambil makan, aku ceritakan tentang Yumna. Aku berharap hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Jika tak sengaja berpapasan di jalan, tak perlu saling menyapa. Aku tidak mengenal seseorang bernama Yasril, begitu pun sebaliknya."

Yusra berjalan melewati Yasril. Kaki-kaki jenjangnya menerobos air. Dia menggigit bibir kuat-kuat, hanya agar tidak menangis lagi.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Bahkan hingga mereka selesai mengambil barang di tempat penitipan, kemudian duduk berhadapan di dermaga kayu, Yasril  tak kunjung bersuara.

Yusra tersenyum miris. Sungguh akhir yang sangat buruk. Dia mengeluarkan dua buah kotak makan dari tote bag.

"Makanlah. Walau murahan, aku pintar masak, lho. Nasi goreng. Semoga kau suka."

Tak lupa, Yusra menyodorkan sendok yang sudah dibersihkan pakai tisu basah, juga air mineral kemasan.

"Oh, ada kue bolu bakar juga. Mungkin Mamak yang menyelipkannya di sini. Sisa pesta kemarin."

Yusra mulai mencicipi bekal, pun Yasril. "Bagaimana? Enak, 'kan?"

Senyap.

Yusra mengangguk-angguk. "Mungkin karena dimasak oleh gadis murahan, makanya tak sesuai seleramu. Eh, tapi jangan dibuang, ya. Cukup aku saja yang direndahkan, jangan hasil karyaku."

"Berhenti."

"Apa?"

"Berhenti menyebut dirimu gadis murahan," desis Yasril.

"Kau sendiri yang bilang dulu. Kau menghargai Yumna, makanya kau tidak menyentuhnya, seperti kau memperlakukanku. Jika aku mengajakmu ciuman, kau tidak berminat. Hm, apa lagi, ya? Kau juga tidak sudi aku menempel padamu. Terus ...."

"Kau serius mau dianggap murahan?" ujar Yasril datar. Dia melepaskan kaca matanya. "Jadi, berapa tarifmu? Kau tipe pemain seperti apa? Mumpung kita masih liburan, sepertinya di sini ada hotel, mau check in sekarang? Atau, kau mau ikut aku ke Jakarta? Apartemenku terlalu luas untuk ditinggali sendirian. Aku memenuhi kebutuhanmu, dan kau melayaniku selayaknya pelacur, bagaimana?"

Yusra bergeming. Matanya berkaca-kaca, lagi.

"Kenapa diam? Ayo, jawab! Kita ML sebelum pulang. Kau beruntung karena aku masih perjaka. Lupakan saja dosa, yang penting enak. Kemudian anggap tidak ada yang terjadi. Sampai jumpa di neraka."

Yusra menunduk. Tangisnya tumpah. Dia kesulitan menelan makanan.

"Lihat, aku belum melakukan apa-apa, tapi kau sudah mewek. Memangnya ada gadis murahan model begitu? Payah."

Yasril menarik napas sesaat. Ternyata mencerocos tanpa henti cukup melelahkan. Namun, dia harus meneruskan obrolan absurd ini. Sedikit lagi, pikirnya.

"Aku tidak akan repot-repot berdebat soal posisi ransel dengan gadis yang aku anggap murahan. Justru kesempatan bagus bisa merasakan yang empuk-empuk secara gratis. Aku tidak sudi mengingatkan orang yang aku benci. Biarkan saja dia terjerumus. Aku tidak akan mengelak soal alasanku demi melindungi Yumna. Begitulah faktanya. Kau memang menyebalkan, dulu ataupun sekarang. Kau yang mengataiku brengsek, menamparku, tapi anehnya justru kau yang menangis. Harusnya kau sadar, jika semua dugaanmu benar, sudah sejak tadi aku membalas perbuatanmu. Pipiku masih perih, kau tahu."

Bukannya berhenti, tangisan Yusra makin kencang. Padahal, niat Yasril untuk mengklarifikasi. Yasril hendak menepuk bahu gadis itu, tapi takut kena tampar lagi. Serba salah.

"Hei, diam. Kau mulai menarik perhatian wisatawan lain. Aku serius tidak mengerti kenapa tingkahmu aneh. Apa kau PMS? Adikku biasanya begitu."

"Minta maaf!"

"Hm, apa salahku?"

Yusra mengusap air matanya. "Berkata kasar, menyentuhku sembarangan, membuatku salah tingkah, dan lain-lain."

"Tidak terdengar seperti orang yang niat mengajukan protes. Kalau kau keberatan, harusnya jangan tunjukkan ekspresi malu-malu mau."

"Yasril ...!"

Pemuda itu mendengus geli. Bagaimana cara mengatakannya, sejujurnya mengganggu Yusra menjadi hiburan tersendiri. Gadis itu sangat ekspresif. Cuma bersama Yusra, dia bebas melontarkan kata-kata kasar. Tanpa filter, tanpa khawatir pihak lawan tersinggung.

Tumben sekali Yusra bereaksi berlebihan. Berarti ucapannya memang keterlaluan.

"Maaf."

"Apa?"

"Kita impas. Jangan menangis dramatis seperti tadi. Kau terlihat aneh. Tidak perlu iri pada siapa pun. Kau dan ambisimu, Yumna dan perubahannya, aku dan gaya bicaraku. Bebas, asal kita siap menanggung seluruh konsekuensi, seberat apa pun. Walau aku agak tidak menyukaimu, bukan benci, tapi aku mau jadi temanmu, tak sekadar lawan debat. Kau bisa mengajakku gosip selama topiknya tentang Yumna. Tak perlu khawatir aku meninggalkanmu jika kau berubah bodoh dan jelek, soalnya aku sangat yakin dengan kecerdasan dan kegantenganku. Terakhir, aku akan menjaga sikapku padamu, sebagai gantinya kau perlakukan Yumna dengan baik, bagaimana?"

Yusra melongo. Pertama kali mendengar Yasril berbicara seperti kereta.

"Oi, jawab kalau ditanya. Oh, tambahan, kita tetap bertemu jika ada kesempatan. Aku tidak mungkin lupa punya kenalan sepertimu, karena kau gadis paling menyebalkan yang terlahir ke bumi."

Yusra memelotot. "Apa-apaan!"

"Ayo teruskan makannya. Kita bersenang-senang seharian. Sayang jika tour wisata dibatalkan. Kita pulang lewat jonson Kecamatan Wakorsel, pukul empat sore. Kau juga belum memenuhi janjimu."

"Jadi, kita berdamai?"

Yasril menggumam asal. Dia mulai fokus menyantap bekal.

"Kalau boleh tahu, apa rencanamu setelah hari ini?"

"Aku balik ke Jakarta. Meneruskan hidupku, apa lagi?"

"Lalu Yumna?"

"Kami tetap berteman, kuharap. Aku mungkin akan menghubunginya untuk menyampaikan beberapa hal. Kau sendiri, bagaimana?"

"Aku akan hidup seperti biasa."

"Hm, apa kau pernah mencoba mendekati Yumna? Maksudku, berbicara sebagaimana kembar pada umumnya."

Yusra menggeleng. "Kami dibesarkan sebagai rival, ingat?"

"Kenapa kau tidak mencoba menerobos batasan itu? Kau tahu, sama sepertimu, Yumna juga merasa iri, sekaligus kagum padamu. Dulu, aku tak tahu yang sekarang. Intinya, kalian bisa membangun keakraban, lalu hadapi semuanya bersama-sama. Banyak pilihan dalam algoritma kehidupan, tinggal kita mau mengambil yang mana."

"Yas ..., boleh aku panggil begitu? Kita sekarang berteman."

"Hm."

"Kau tahu, aku sebenarnya gagal paham dengan karaktermu."

"Maksudmu?"

"Kau ini ..., aslinya baik atau brengsek? Kau bisa sesekali berkata bijak, di lain waktu hobi memakai sarkasme, tak jarang juga bersikap cuek, seolah punya dunia sendiri. Aku jadi bingung, harus membencimu atau menyukaimu."

Yasril memutar bola mata. "Terserah kau. Asal jangan jatuh cinta, soalnya aku tidak tertarik menjalin hubungan romantis denganmu."

"Memangnya aku mau?!"

-Bersambung.

Pada puas nggak nih, Yasril kena gampar? 😅

Gimana pandanganmu tentang Yusra di chapter ini?

3 Juli 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top