Siapa Benar, Siapa Salah
Hari-hari selepas Yumna berdamai dengan dirinya, situasi terasa lebih kondusif. Agak canggung pada mulanya, tapi lama-lama Yumna semakin terbiasa. Hal ini tentu melegakan bagi semua pihak.
Intensitas Bu Rosidah mengomel berkurang. Sikapnya lebih bersahabat. Pun Pak Ibrahim, dia semakin terang-terangan menunjukkan kepedulian. Pria itu sering membawa pulang buah-buahan setelah mengatahui bahwa sang menantu suka makan.
Perasaan Yumna berangsur-angsur membaik. Paling tidak, insomnianya mulai jarang kambuh. Betapa tidak, ketika hewan-hewan malam memecah kesunyian, Yafiq akan berada di sisinya. Memeluk dirinya atau mengajaknya mengobrol hingga kantuk menyapa.
Seperti malam ini, misal. Mereka berbaring saling berhadapan. Tak tersisa kecanggungan. Interaksi mereka berjalan sebagaimana mestinya.
"Kak, apa bapak menjual sendiri seluruh hasil kebunnya?"
"Ada yang membantu. Kenapa, Na?"
Yumna menjilat bibir. Dia sudah memikirkan ini matang-matang. Ingin rasanya bekerja. Mencari kesibukan di luar rumah. "Aku bosan di rumah terus. Kadang bingung harus berbuat apa bila tugasku sudah selesai. Kekosongan membuat pikiranku ke mana-mana. Seandainya aku turut membantu, bagaimana?"
"Kau mau berkebun?"
"Apa pun asal aku punya aktivitas di luar rumah. Sejauh ini, baru itu yang terpikirkan."
"Memangnya kau bisa?" tanya Yafiq tanpa indikasi meremehkan. Dia serius ingin tahu.
Yumna memutar bola mata malas. "Kakak lupa, aku anak petani? Dulu sekali aku sering membantu bapakku bercocok tanam. Aku sanggup memanjat pohon kelapa, mengangkut hasil kebun, dan sebagainya. Begini-begini, bisa jadi aku lebih lincah daripada Kakak, lho."
"Benarkah?" goda Yafiq sambil mengulurkan tangan, menyentuh perut sang istri.
Yumna refleks meninju dada Yafiq, membuat lelaki itu mengaduh. "Jangan macam-macam, Kak. Aku sedang serius!"
Yafiq meringis seraya menyisipkan sela-sela jari mereka. "Di mana-mana tinjuan perempuan terkesan manja, bukan dilakukan sekuat tenaga."
"Anggap saja bukti untuk ucapanku tadi," sahut Yumna lempeng.
"Untung sayang, Na."
"Jika tidak?"
"Cuma sayang, tidak ada yang lain."
Tawa kecil bersambut. Yafiq dan segala kata-kata manisnya kadang terdengar menggelitik. Tipikal laki-laki yang tak ragu berterus terang atas perasaannya bila telah menemukan timing yang pas.
Yafiq menarik sudut-sudut bibirnya. Senyum semanis gula sontak tercipta. Dia mengecup punggung tangan istrinya. "Nanti aku tanyakan ke bapak. Lakukan apa pun yang membuatmu senang, Na. Asal kau tetap di sisiku."
Yumna memutar pandangan ke arah lain. Di mana pun, selama bukan wajah Yafiq. Perasaannya mendadak tak keruan. Gelenyar aneh meletup-letup di dadanya. "Tidur, yuk. Besok Kakak harus bekerja."
"Masa langsung tidur?"
"Memangnya mau apa lagi?" tanya Yumna sembari melirik sekilas.
Senyum Yafiq melebar. Matanya berkilat. Yumna paham apa yang lelaki itu harapkan.
Ketika Yafiq merangkak ke atasnya, dia tak menolak. Yumna siap menyambut. Mereka melakukannya lagi dan lagi. Hingga malam merayap, kelelahan menerpa, sebelum mereka jatuh terlelap.
Hari berganti. Subuh menjelang, ayam milik tetangga berkokok bersahut-sahutan. Udara dingin menembus kisi-kisi jendela.
Yumna menggeliat. Yafiq memeluknya. "Kak, bangun."
Lelaki itu membuka mata pelan-pelan. Dia buru-buru menyibak selimut, tapi Yumna spontan menahannya.
Yafiq mengernyit bingung, lalu serta-merta tersenyum jail saat menyadari alasan perempuan itu. "Jangan perlihatkan muka malu-malu begitu. Kalau aku khilaf lagi, panjang urusannya."
Yumna mendengus. Kemudian menarik selimut untuk diri sendiri. Menutupi seluruh tubuh dari kaki hingga kepala. "Mandi, sana!"
Yafiq menahan seringai. Gemas bukan main. Ingin menggoda lebih lanjut, tapi suara takbir yang dikumandangkan muazin telah menyentuh gendang telinga. Terpaksa aksinya harus diakhiri.
"Jangan coba-coba turunkan selimutmu, ya. Kau kan, suka salah tingkah lihat yang aneh-aneh di luar aktivitas begitu-begituan," katanya serak.
"Hah?!"
Yafiq tergelak. Dia segera bangkit. Memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Tujuannya adalah kamar mandi.
"Tolong siapkan pakaian gantiku, Na."
Yumna hanya menggumam asal. Dia menurunkan selimut setelah mendengar bunyi pintu berderit. Lantas menepuk pipi dua kali sebelum beranjak.
Yumna selalu linglung setiap kali menyadari dirinya mau melakukan ini. Menyiapkan pakaian untuk orang lain di waktu subuh benar-benar sesuatu yang baru. Biasanya, bahkan hanya untuk membasuh anggota wudlu saja, dia ogah-ogahan.
Namun kini, Yafiq dan segala keisengannya memberi warna yang lain. Sungguh berbeda. Agak disayangkan karena dia baru bersedia membuka diri belakangan ini.
Pakaian diletakkan di atas meja. Yumna duduk di sisi kasur sembari menunggu urusan Yafiq selesai. Kakinya disilangkan. Tak selang berapa lama, pintu kamar mandi terbuka.
Dia langsung menerobos masuk tanpa aba-aba. Nyaris menabrak Yafiq. Handuk dikalungkan di lehernya.
"Na, kau kenapa?"
Tak ada sahutan. Hanya terdengar bunyi air yang mengalir dan benda-benda saling membentur. Yafiq tersenyum geli. Ada-ada saja, pikirnya.
Yafiq telah berangkat ke masjid tatkala Yumna tuntas berbenah. Dia melaksanakan salat terlebih dahulu, berikut membaca Alquran, barulah meninggalkan kamar untuk mengecek situasi di dapur.
"Mak, ada yang bisa aku bantu?" sapa Yumna kepada Bu Rosidah, yang sedang menggoreng ikan.
"Pindahkan nasi ke bakul, terus kau tata peralatan makan di meja."
Yumna mengikuti instruksi tersebut tanpa banyak bicara. Suasana terasa sunyi. Jendela di dekat wastafel terbuka lebar. Membuat siapa pun bergidik merasakan embusan angin.
Bu Rosidah mematikan kompor. Dia menaruh wadah ikan goreng. Pandangannya tertuju ke arah sang menantu. "Mamak perhatian, akhir-akhir ini kalian makin sering keramas subuh-subuh. Apa sudah ada hasilnya?"
Yumna mengerjap lambat. Dia gelagapan. Mulai lagi, batinnya. Redaksinya beda, intinya sama.
Sikap Bu Rosidah memang jauh lebih bersahabat, tapi dia tetaplah ibu-ibu yang punya segudang rasa ingin tahu. Keluhannya tak pernah habis. Tuntas dengan kemalasan Yumna, kini mereka diteror soal momongan.
Masalahnya, cara Bu Rosidah bertanya terkesan mengintimidasi. Yumna merasa disalahkan karena tak kunjung hamil. Padahal, proses reproduksi melibatkan dua orang. Mungkin saja si suami yang bermasalah.
Yumna menggeleng. Mengutuk pikiran buruknya. Jelas-jelas mereka sudah cek kesehatan. Dokter menyatakan bahwa mereka sehat. Cuma butuh modal doa, usaha, dan tawakal. Sisanya biarlah jadi urusan Tuhan.
Lagi pula, pernikahan mereka baru seumur jagung. Yumna belum lama menerima takdirnya yang sekarang. Mungkin Tuhan menunda memberikan keturunan hingga dirinya benar-benar siap.
"Belum?"
"Minta doanya, Mak," sahut Yumna diplomatis.
"Lama, ya. Padahal, Nur, kakak kedua Yafiq, sudah mau bersalin lagi."
Yumna membuang muka. Mood-nya ambyar. Dia mati-matian menahan dongkol.
Bu Rosidah kerap kali membanding-bandingkan dia dan putri-putrinya. Mereka yang inilah, itulah. Menempatkan Yumna dalam posisi payah.
Mungkin memang nasibnya selalu terlibat dalam keluarga semacam ini. Dulu Yusra, sekarang kakak ipar. Menyedihkan.
"Kau minum jamu-jamu yang Mamak kasih, 'kan?"
"Iya," kecapnya pahit.
"Mamak cuma menginginkan kebahagiaan untuk kalian. Anak dalam rumah tangga adalah pelipur lelah bagi orang tuanya."
"Aku paham, Mak. Terima kasih informasinya."
Bu Rosidah menepuk pundak sang menantu. "Ya sudah, Mamak mau mandi dulu. Tolong bereskan dapur."
Yumna mengangguk kaku. Bibirnya menipis, membentuk satu garis lurus. Dia mendesah kuat-kuat. Mencari kelegaan di antara tekanan yang datang silih berganti.
Tanpa menunggu lama, dia segera melaksanakan titah mamak mertuanya. Dalam aktivitasnya tersebut, Yumna meneruskan renungan. Dia bekerja sambil berpikir serius.
Bagaimana cara untuk terlepas dari imtervensi Bu Rosidah?
Pasalnya, bukan cuma sekali. Wanita itu bertingkah seolah Yumna tak tahu apa-apa. Maksudnya mungkin baik, hendak membimbing, tapi yang dirasa justru sebaliknya.
Yumna memutar keran wastafel. Membasuh mukanya. Dia menarik napas panjang. Lalu berbalik. Tujuannya adalah kembali ke kamar.
Yafiq sedang merapikan tempat tidur saat Yumna masuk. Hatinya sontak menghangat. Segala gundah luruh seketika.
Yumna melangkah cepat-cepat demi menghampiri lelaki itu. Dia memeluk dari belakang, membuat Yafiq sedikit tersentak.
"Sebentar, Na. Aku masih beres-beres."
Yumna justru semakin mengeratkan dekapan. Dia menyandarkan muka pada punggung sang suami. Berusaha mencari kenyamanan.
Dia berandai-andai, jika mereka hanya tinggal berdua, tanpa rongrongan orang lain, akankah muncul sesuatu yang berbeda?
"Kak," panggilnya.
"Ya?"
"Pindah rumah, yuk."
Hening.
Yumna menanti harap-harap cemas. Khawatir ditolak. Lebih parah, Yafiq mungkin berpikir bahwa dia terlalu banyak meminta.
Salahkah bila Yumna ingin memperoleh kebebasan dalam rumah tangganya sendiri?
"Aku belum punya rumah."
"Kita bisa mulai membangunnya. Gubuk tak apa."
Yafiq menyentuh punggung tangan Yumna dan menggenggamnya. Dia berbalik. Kepalanya tertunduk, Yumna mendongak.
"Kau tak nyaman tinggal di sini?"
"Aku berpikir sebaiknya kita mandiri."
"Coba aku bicarakan dulu dengan mamak dan bapak."
Yumna mendengus. Dia beringsut mundur. Memandang Yafiq emosional. "Apa Kakak tidak tahu cara mengambil keputusan?"
"Maksudnya, Na?"
"Kakak sudah 30 tahun. Kepala rumah tangga, tapi apa-apa masih bertanya ke orang tua."
"Kita masih menumpang. Wajar, 'kan?"
"Kredibilitas Kakak sebagai laki-laki patut dipertanyakan!"
Muka Yafiq mendadak kaku. Rahangnya mengeras. "Coba ulangi?" tukasnya rendah.
Yumna mendengus kasar seraya membuang muka.
"Apa yang kulakukan selama ini masih kurang?" ucap Yafiq datar. "Bisa-bisanya kau bicara begitu."
Lengang yang terasa sangat panjang. Mereka saling bertatapan. Terpaku di posisi masing-masing.
Saat itulah, ketika Yafiq mengulum bibir, tersenyum amat tipis, Yumna tertampar oleh kenyataan. Bahwa dia, karena emosi sesaat, telah menyinggung sang suami.
Namun lelaki itu, bahkan setelah mendengar kalimat kasar, kekecewaan yang menghantam, tetap menunjukkan sikap baik. Yafiq menunduk, mengecup dahinya sangat lama. Kemudian meninggalkannya tanpa kata-kata.
-Bersambung.
Siapa benar ... siapa salah, uwooo~
Pada tau lagu ini nggak, yaa 😅
Manisnya secuil, masalahnya muncul teroooss. Lol.
Aku suka banget sikapnya Yafiq T_T. Bila cinta, dia akan perhatian. Bila marah, tak mudah melayangkan tangan. UwU.
Mulai ketebak nggak, nih, kenapa pada akhirnya Yafiq menjatuhkan talak?
16 Juli 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top