Senyum, Salam, Sapa
"Kenapa kesiangan? Meski suka malas-malasan, tapi biasanya Kak Yumna bangun pas azan. Bang Yafiq juga, tumben tidak ke masjid. Kita sering ketemu kalau subuhan."
Zaki, bocah itu menyuarakan kebingungan. Murni dorongan rasa ingin tahu, tapi memberikan efek tidak biasa bagi yang ditanya.
Yafiq mengusap tengkuk sambil tersenyum kikuk. Yumna pura-pura tidak mendengar, asyik mengunyah makanan. Sedang para tetua, menatap mereka jenaka.
Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Zaki disuruh oleh Mamak untuk mengecek kondisi kakak dan iparnya. Sampai lelah dia mengetuk pintu, tak kunjung ada jawaban. Begitu muncul respon, Yumna malah berseru bahwa mereka akan salat terlebih dahulu.
Wajar bila Zaki penasaran. Ini fenomena langka. Jadi, dia tetap melanjutkan sesi interogasi.
"Apa karena kelelahan?" gumamnya.
Sungguh, kalimat yang terdengar ambigu ketika sampai di telinga orang dewasa. Tak heran, Yafiq buru-buru menyahut, "Maksudnya bagaimana, Zak?"
"Kemarin kan, pesta besar-besaran. Aku saja capek disuruh bolak-balik mengambil piring kotor."
"Hei, bocah! Habiskan makananmu. Jangan banyak tanya." Yusra yang sedari tadi hanya menyimak, mendadak gerah sendiri.
Zaki merengut. "Suka-suka aku, Kak."
Yusra bersiap membuka mulut, tapi langsung dihalangi oleh Bu Hajar. "Sudah, sudah. Kalian ini, apa tidak malu dilihat orang?"
"Biasa, Bu. Anak-anak memang suka begitu. Yafiq juga kadang bertengkar sama kakak-kakaknya."
"Mamak ...," protes Yafiq, yang langsung disambut senyum geli oleh para tetua lain.
"Omong-omong, Nak Yusra rapi sekali," imbuh Bu Rosidah.
"Saya mau jalan bareng teman, Tante. Mumpung sempat, karena besok dia akan balik ke Jakarta."
"Yusra, ya begini, Bu. Pergaulannya luas. Suka bersosialisasi," sambung Bu Hajar, sarat kebanggaan.
"Ck, paling mau pergi sama pacarnya, cowok yang kemarin itu," cibir Zaki.
Yusra mendelik. "Jangan sok tahu. Kakak tidak punya pacar."
"Kalau bukan pacar, terus apa? Kakak pikir aku tak lihat kalian pegang-pegangan?"
"Tunggu, siapa yang kau maksud, Nak?"
Pak Yahya ikut penasaran. Walau sibuk bekerja, dia masih memantau perkembangan anak-anak lewat sang istri. Sepengetahuannya, Yusra memang digandrungi banyak lelaki. Namun, anak tertuanya itu tak punya hubungan spesial dengan siapa pun.
"Abang yang tinggi, putih, rambutnya cokelat agak berantakan. Ganteng, lah, Pak. Aku jadi pengen kayak dia pas besar nanti."
"Yasril."
Semua mata kontan tertuju pada Yumna. Gadis itu meneguk air putih. "Aku juga sempat lihat kalian mengobrol," ujarnya seraya menoleh ke arah Yusra.
"Semalam kau tidak bilang kalau temanmu itu Yasril, Nak?" Bu Hajar memandang putri sulungnya.
"Mamak tidak tanya."
"Kalian mau naik apa ke Meleura?" sahut Pak Yahya.
"Motor, Pak. Yasril yang bawa. Sebentar lagi dia jemput."
"Kau ajak dia mampir. Sudah lama kami tidak mengobrol akrab. Kemarin hanya sepintas lalu."
"Nanti kami ketinggalan jonson, Mak."
"Belum jam tujuh ini."
"Yasril putranya Bu Murni dan Pak Razak?"
"Iya, Tante."
Pak Yahya mengangguk. "Oh, ya sudah. Kau jaga diri baik-baik. Kasih tahu Yasril, bawa motornya pelan-pelan."
"Jadi, namanya Bang Yasril. Kak, kenalkan aku, ya?"
"Buat apa?"
"Dia kenal kau, Dek," timpal Yumna lempeng.
"Eh, yang benar, Kak?"
"Yasril teman Kakak. Kami kadang ajak kau main ke pelabuhan waktu SMA. Wajar kau tak ingat, masih kecil."
Ekspresi Zaki tampak girang. Yasril sudah menarik perhatiannya sejak awal. Kemarin, saat dia sedang bolak-balik mengangkut piring kotor, tanpa sengaja melihat kakaknya menghampiri seorang laki-laki. Dia penasaran. Lalu memutuskan mengamati dari jauh, sambil tetap memastikan agar Yusra tak menyadari keberadaannya.
Zaki tidak tahu apa tepatnya yang mereka bicarakan. Namun, dia lumayan kaget ketika mendapati Yusra tak berkutik. Zaki tak tahu cara mendefenisikannya, tapi ekspresi Yusra kala itu, baru pertama kali dia lihat.
Bagi Zaki, seseorang yang sanggup membuat Yusra demikian, patut dijadikan panutan. Pasalnya, Yusra sering mengganggunya. Seperti penjajah, suka memerintah. Mentang-mentang terlahir sebagai kakak.
Selain itu, penampilan Yasril, sedikit banyak mengingatkannya pada cowok-cowok idola para cewek di sekolah.
Singkat kata, Zaki ingin belajar jadi cowok keren dari Yasril.
"Kakak harus mengenalkan kami, atau aku tidak mau lagi disuruh-suruh!" putusnya.
Kekukuhan Zaki, dan bagaimana dia begitu antusias, membuat para tetua geleng-geleng kepala.
"Iya, nanti Mamak sekalian yang kenalkan kau. Sekarang, habiskan nasimu."
Zaki mengacungkan jempol. Lalu melanjutkan aktivitasnya dengan semangat.
Tak selang berapa lama, ketukan pintu terdengar, lalu disusul ucapan salam dari luar. Ada yang datang.
"Kayaknya itu Yasril," ujar Yusra seraya bangkit. Dia segera meninggalkan dapur, menuju pintu bagian depan. Ternyata benar.
"Kau sudah siap?" tanya pemuda itu to the point.
"Ayo, mampir dulu. Keluargaku ingin bertemu kau."
"Hm?"
"Kau tidak berencana membawa anak gadis, tanpa seizin orang tuanya, 'kan?"
Yasril memutar bola mata. "Terdengar seperti aku yang memang menginginkan ini," komentarnya, tapi tak urung jua berjalan di sisi Yusra.
"Adikku ingin berkenalan denganmu."
"Zaki?"
"Ya, kemarin dia melihat kita mengobrol. Dan katanya, kau ganteng."
"Hm, dia punya penilaian yang bagus."
"Ck, narsis!"
"Menurutmu, pendapat Zaki salah?"
"Tentu!"
"Oh, ya? Aku pikir, melihat jejakmu pas SMP, dan seleramu yang sekarang, kau tak mungkin mengajakku jalan bila pendapat Zaki salah."
"Astaga," desah Yusra.
Yasril mengedik tak acuh. Pandangannya kembali fokus ke depan. "Hei, mereka di sini?"
"Yumna dan Kak Yafiq?"
Yasril menggumam asal.
"Sekadar informasi, mereka bangun terlambat pagi ini, dengan penampilan kusut, percis orang yang kelelahan. Bertingkah malu-malu kucing, dan sejenisnya. Ya, aku yakin kau tahu maksudku. Khas pengantin baru, tentu saja."
"Apa kamarmu dan Yumna masih bersebelahan seperti dulu?"
Yusra mengerutkan dahi. Meski bingung, dia tetap menjawab, "Ya, Bapak hanya terus merenovasi rumah, tapi kamar kami selalu bersisian."
"Pantas."
"Apa?"
"Pantas kau sudah mengomel sepagi ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya tidur sendirian, sedang di sisi lain tembok ada pengantin baru," kata Yasril. Dia menunduk, berbisik di dekat telinga Yusra. "Kau pasti panas karena memikirkan apa yang mereka lakukan semalaman."
"Sialan!" Yusra meninju pundak Yasril kesal, membuat sang empunya menyeringai tipis.
"Ah, kau tahu aku belum pernah ke Meleura. Kau bilang, signal menuju ke sana juga kurang bagus. Jadi, pastikan kau tetap fokus selama perjalanan agar kita tak tersesat."
"Tenang. Aku pemandu yang andal."
Mereka tidak lagi mengobrol hingga mencapai dapur.
Yusra diam-diam mengamati interaksi yang tercipta. Yasril disambut baik oleh orang tuanya. Pemuda itu bersikap sangat sopan. Tidak seperti manusia brengsek, yang suka berbicara sarkasme padanya.
Yasril lancar menyalami tetua satu per satu. Namun, sedikit berubah saat menyapa Yumna.
"Hai, senang bertemu lagi."
Yusra menyadari sesuatu yang berbeda dalam pandangan mereka. Entah apa tepatnya. Yasril jelas menyukai Yumna, tapi apakah berlaku sebaliknya, dia tak tahu.
Yusra juga cukup salut melihat kedewasaan Yasril, bagaimana dia tetap tenang dan percaya diri dalam menghadapi Yafiq.
"Halo, Bang. Salam dari Bang Amzar. Katanya, mainlah ke rumah, dan ajak istri Abang."
"Kapan-kapan, insya Allah. Mungkin dia kesepian karena sering ditinggal istrinya."
Yasril tersenyum simpul. Istri Amzar memang bekerja sebagai karyawan perbankan di Kota Kabupaten, Raha.
"Bang, Abang tinggal di Jakarta, ya?" Zaki tiba-tiba menginterupsi percakapan. Dia menarik lengan baju Yasril.
"Zaki ..., santai, Nak." Bu Hajar menepuk jidat.
Yasril menoleh. "Tak apa, Tante," katanya sambil menunduk. Dia menepuk kepala Zaki. "Hei, kau sudah besar rupanya."
Zaki menengadah. "Abang sungguh kenal aku?"
"Tentu saja. Kau dulu sering kencing sembarangan di pakaianku."
"Eh?!"
"Dia benar. Kau suka menangis, dan suaramu sangat kencang. Kau rajin sekali merengek minta digendong. Kami terpaksa mengajakmu jalan-jalan."
"Kak Yumna bohong! Iya, 'kan, Mak, Pak?" Zaki mencari pembelaan.
Bu Hajar mengelus dagu. "Seingat Mamak, mereka benar. Nak Yasril sampai harus memakai baju Bapak jika kau berulah."
"Mana mungkin!" protes Zaki.
"Kau memang begitu," goda Yumna dan Yasril seraya mengacak rambut Zaki, bersamaan.
Mereka tertegun sesaat, lalu saling menatap. Agak lama, sebelum sama-sama berpaling.
Yasril berdehem. "Ya sudah, Om, Tante, kami pamit dulu. Takutnya tertinggal jonson," ujarnya, lalu berjalan mendekati Yusra.
"Kalian hati-hati. Kalau capek berkendara, istirahat. Jangan lupa makan."
"Iya, Mamak. Kami pamit. Assalamu'alaikum."
Sepasang muda-mudi itu pun berlalu. Setiba di pinggir jalan, tempat Yasril memarkirkan motor, mereka kembali berdebat.
"Singkirkan tasmu! Kau mengurangi tempat dudukku!" protes Yusra saat Yasril tak melepaskan ransel miliknya.
"Naik. Jangan banyak protes. Memangnya ukuran pantatmu sebesar apa?"
"Tetap saja mengganggu! Kau tidak lihat aku juga bawa barang, huh?" Yusra mengangkat tas selempang, serta tote bag.
Yasril mendesah malas. Dia mengulurkan tangan. "Sini, biar aku yang pegang tote bag-mu."
"Tidak, bagaimana jika kau menjatuhkannya?"
"Apa maumu?"
"Tempatkan ranselmu di depan."
"Boleh, asal kau mau duduk menyamping sepanjang jalan"
"Astaga, kau membuatku terkesan seperti ingin menempel padamu."
"Kau sendiri, bagaimana? Menyuruhku memindahkan ransel ini. Membiarkanmu duduk di belakangku tanpa penghalang. Kalau-kalau kita melewati jalanan rusak, motor akan terguncang, lalu kau rela dadamu menyentuh punggungku, begitu? Kau punya otak atau tidak? Aku berusaha menjaga privasimu, dan kau malah minta dilecehkan!"
Yusra tersentak. Hatinya mencelus. "Kau ..., kata-katamu keterlaluan."
Yasril mendengus. "Naiklah."
Yusra tak mengajukan protes lagi. Terus terang, tuduhan Yasril terlampau menyakitkan. Padahal, dia hanya ingin berbuat baik.
Dia sengaja meminta Yasril menempatkan ransel di depan, untuk menutupi dada, demi menghalau angin. Sebab, walau Yasril sudah memakai jaket, perjalanan yang akan mereka tempuh, cukup jauh.
Yusra menelan ludah tatkala satu pemikiran melintas di benaknya. Dia memang pernah pacaran, dan sedikit menyimpang. Namun, tak sampai melewati batas, lantas mengorbankan mahkota seorang gadis.
Yasril yang berperan besar menyadarkan kesalahannya kala itu.
Apa mungkin, karena kejadian di masa lalu, Yasril kini memandangnya sebagai gadis penggoda?
Yusra mendekap tote bag erat, ketika sebuah pisau tak kasat mata, seolah menikam jantungnya. Telak.
-Bersambung.
Clue for next chapter: ada adegan baku hantam, gaes!
Aku segera update kalau vote nyampe 915 (total seluruh chapter). Kalau enggak, mundur satu minggu (sampai ketemu Jumat depan).
Cus, ramaikan. Bagi yang udah baca sampai sini, tapi lupa/sengaja nggak vote, ayo-ayo pencet bintangnya dari awal. Gratis, kok.
Aku berikan bacaan sesuai seleramu, lalu kamu berikan aku vote dan komen. (Sesekali pamrih gapapa dong) ✌
26 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top