Sebuah Penerimaan
Yumna gelisah tanpa alasan. Hatinya tak nyaman. Ingin rasanya segera mengakhiri sesi sarapan pagi ini. Namun, Yasril tentu akan bertanya-tanya jika dia menyisakan makanan. Di sisi lain, Yumna tak mau membuat sang suami khawatir.
Dia memandang ke depan dalam diam. Lelaki itu tampak menikmati hidangan. Setelan jas sudah terpasang rapi di badannya. Semakin hari Yasril semakin gagah saja.
Yumna mendesah berat. Sampai kapan dia harus bergelut dengan bayang-bayang kekalutan? Mood-nya mudah berubah-ubah. Pada suatu waktu, dadanya terasa dipenuhi letupan semangat. Tak lama kemudian, serangan cemas seolah tumpah ruah dalam kepalanya. Betapa sial, itu semua kadang terjadi tanpa alasan yang jelas.
Yumna tersentak ketika Yasril tiba-tiba mendongak, menatapnya bingung. "Kenapa?"
"Hah? Ah, bukan apa-apa. Teruskan sarapanmu."
"Katakan itu pada dirimu sendiri."
Yumna meringis. Tanpa berkata-kata lagi, dia menunduk meneruskan aktivitas yang sempat terjeda.
"Hei," panggil Yasril.
"Ya?"
"Segera beri tahu aku kalau kau punya keluhan. Jangan disimpan sendiri."
Yumna hanya mengangguk. Tak yakin bisa memenuhi arahan tersebut. Keluh kesah miliknya berkaitan erat dengan gangguan psikologis. Orang-orang normal seperti Yasril susah untuk mengerti.
Bukan berarti dia meragukan perhatian sang suami. Hanya saja, Yumna bertekad akan mengatasi rasa sakitnya dengan bantuan psikiater. Dia masih bergantung pada obat-obatan sampai sekarang. Tidak mudah menyembuhkan depresi yang telah menggerogoti selama sekian tahun.
"Oh, apa aku sudah mengatakannya padamu?"
"Tentang apa?"
"Pagi ini akan ada tamu. Aku harap kau bersedia menemui mereka." Yasril terlihat berucap hati-hati.
"Dengan kau?"
Lelaki itu menggeleng. "Aku harus berangkat ke kantor, ingat?"
Yumna mengeratkan genggaman pada sendok. Tumben Yasril menyuruh demikian. Ketika Raza yang datang ke sini sekalipun, murni inisiatifnya sendiri untuk menjamu.
Siapa mereka? Pasti bukan Raza. Lagi pula, lelaki itu mungkin belum kembali ke Jakarta. Yumna tak tahu pasti perkembangan pernikahan Yusra. Setelah sepakat akan menghadiri resepsi di Jakarta, Yasril tak pernah lagi membahas kelanjutannya.
Asumsi Yumna, memang belum tiba waktunya. Entah kapan pasangan pengantin baru itu akan meninggalkan kampung.
Setelah kejadian nahas terakhir kali, Yumna belum pernah lagi berkomunikasi dengan keluarganya. Dia bahkan sengaja mengganti kontak. Meminta Yasril untuk tidak memberi akses bagi mereka.
"Aku berangkat, ya?"
Yumna mengerjap pelan. Terlalu asyik melamun, tahu-tahu saja Yasril sudah menuntaskan sesi sarapan. "Tunggu, siapa mereka?"
Yasril bangkit dari kursi sembari tersenyum simpul. Berjalan ke arahnya, lantas menunduk hingga wajah mereka berhadapan. "Kau akan tahu nanti."
"Tidak, katakan sekarang."
Yasril mengecup dahinya singkat. "Biar jadi kejutan. Aku berangkat sekarang."
"Yasril!"
"Kau percaya padaku, 'kan?"
Yumna tertunduk agak lama. "Ta-tapi ...."
"Percayalah, kau pasti baik-baik saja. Segera hubungi aku kalau ada masalah. Untuk kali ini, tolong kabulkan permintaanku tanpa protes."
Yumna menelan ludah payah. Mulutnya seketika terkunci rapat. Kalau sudah begini, dia bisa apa?
Yasril melirik arloji yang melingkar di tangan kiri. "Harusnya mereka sudah ada di sekitar sini."
Yumna memandang cemas. "Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?"
"Anggaplah kejutan. Mereka yang meminta seperti itu."
"Dan kau ..., mengizinkan begitu saja?"
"Tentu tidak. Namun, aku pikir, ada hal yang harus kalian selesaikan. Ingat kesepakatan kita terakhir kali?"
Saat itulah, tatkala Yasril menatapnya sedemikian intens, satu kemungkinan terbersit di benaknya.
Ya Tuhan!
"Jangan bilang ..., keluargaku?"
"Ayo habiskan dulu makananmu."
Yasril jelas menghindar. Semakin memperkuat prasangkanya. Memang tidak ada lagi orang lain yang mungkin jadi tamunya.
Alasan mengapa Yasril baru memberitahu pagi ini, memberi izin tanpa konfirmasi padanya, sudah pasti karena dia akan menolak andai sadar lebih awal.
Seketika, Yumna merasa dikhianati. "Padahal, kau yang paling tahu bagaimana perasaanku."
Yasril mendesah pelan. Dia menarik kursi ke dekat sang istri. Meraih jari-jemari Yumna. "Justru karena paling tahu, makanya aku menyetujui permintaan mereka. Mungkin bukan sekarang, namun akan ada masanya kita menengok kembali masa lalu. Bukankah semakin cepat diselesaikan, hatimu semakin lega? Selain itu, bukankah kita sepakat ke pesta? Walau Mamak dan Bapak sudah lanjut usia, tidak mungkin melewatkan momen ini begitu saja. Semua keluargamu turut serta. Bagaimana kau akan menghadapi mereka tanpa persiapan?"
Yumna terdiam seribu bahasa. Memang benar demikian. Namun, dia belum siap. Ingin kabur dan melupakan masa lalu begitu saja. Terlalu banyak hal menyakitkan. Dia tidak akan pernah siap.
"Paling tidak, cukuplah rasa percayamu padaku jadi jaminan," tukas Yasril berat, "bisa, 'kan?"
Dan Yumna, tidak ada lagi peluang untuk berdalih. Terlebih, ketika bunyi bel apartemen segera memisahkan mereka.
Tanpa kata, Yasril menarik tangannya, menuntunnya menuju pintu utama. Sudah terlambat untuk menghindar. Ketika kayu berbentuk persegi itu terbuka, di sanalah dia menemukan wajah-wajah yang telah lama tak dijumpainya.
Yumna terpaku, sedangkan Yasril sibuk beramah-tama. Badan Yumna bergetar, seluruh kecemasannya memuncak.
"Pergi!" teriaknya kencang, mengundang seluruh pasang mata.
"Yumna!" sentak Yasril.
Mata Yumna memerah nyalang. Bibirnya terkatup rapat, kedua tangan sontak mengepal erat.
Hening sekian detik terasa amat panjang. Hingga Mamak maju satu langkah, mengikis jarak di antara mereka.
Yumna mundur. "Jangan mendekat!"
"Maaf, maafkan Mamak."
Yumna menggeleng. Terkejut mendengar pernyataan tersebut, namun belum cukup kuat untuk menenangkannya. "Mamak pikir kata maaf bisa memperbaiki hidupku? Menebus semua rasa sakit yang kualami bertahun-tahun?" tuturnya getir.
"Maaf," Mamak menatap lurus. Sorot matanya tak setegas dulu.
"Kenapa minta maaf?" Yumna menelan ludah payah. "Ke mana Mamak saat aku kesulitan? Saat aku kehilangan bayiku? Saat aku hampir mati karena depresi? Dulu ataupun sekarang, aku tahu Mamak tidak pernah sekalipun menyayangiku. Cuma Yusra yang ada di pikiran Mamak!"
"Maaf karena membuat kau merasa seperti itu, merawat kalian dengan persaingan, sering meremehkanmu. Maaf karena cara mendidik Mamak menyakitimu, memaksamu menikah dengan orang yang tidak kau cintai, diam saja walau tahu kau dirundung mantan mertuamu. Untuk semua kesalahan yang terjadi sampai detik ini, Mamak benar-benar minta maaf."
"Aku juga," tambah Yusra. Bola mata perempuan itu berkaca-kaca. "Maaf karena kehadiranku membuatmu merasa terabaikan."
"Zaki juga. Maaf karena sering merepotkan Kakak."
Hening. Yumna menahan napas. Dadanya terasa amat sesak. Kilasan masa lalu bergerak cepat di kepalanya. Tahun-tahun penuh rasa sakit, tekanan, dan penderitaan.
"Bapak juga. Maaf karena terlalu sibuk bekerja dan kurang memperhatikan perkembangan kalian. Ini semua kesalahan Bapak. Kalau ada yang harus bertanggung jawab, Bapaklah yang pantas kau tuntut."
"Mamak menyayangi kalian, baik kau, Yusra, ataupun Zaki. Mamak sungguh menyayangimu. Maaf karena membuat kau merasa tersisih."
Dan Yumna, tak mampu lagi menahan perasaannya. Dia jatuh berlutut. Tangisnya tumpah.
Mamak sungguh menyayangimu.
Hanya tiga kata, namun mampu mengacaukan hati, meruntuhkan tembok yang dia bangun sendiri. Kalimat yang paling ingin Yumna dengar sepanjang hidupnya.
Yusra maju lebih dulu, berinisiatif memeluk sang kembaran. Kemudian yang lain menyusul. Menyisakan dua lelaki dewasa yang berperan sebagai menantu dalam keluarga mereka.
Yumna menangis amat kencang. Seperti seorang anak yang kehilangan mainan. Tergugu hingga napasnya putus-putus.
Akhirnya setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan, baru kali ini Yumna merasa keberadaannya diakui.
Bahwa dia, meski seorang penderita gangguan psikologis, ternyata masih dicintai. Tetaplah bagian dari keluarga.
Akhirnya, Yumna pun tahu, Mamak menyayanginya.
Yumna tak butuh lagi perkataan lain, pengakuan Mamak berhasil membungkamnya telak.
Meski berusaha menutup hati dan mengelak, ternyata dia masih mengharapkan perhatian dari mereka.
Tepat di umur yang mendekati kepala tiga, untuk pertama kali Yumna mendapatkan pelukan hangat dari seluruh keluarganya.
Perasaan menggigil, cemas, ketakutan, dingin, kesepian, semua afirmasi negatif melebur bersama tangisnya kala itu.
Hanya satu pelukan, diiringi air mata penuh makna, rasanya sudah mampu menebus seluruh kesepian dan keterasingan yang senantiasa mengekor di balik punggungnya.
Atas serbuan kecemasan yang menerpa hingga beberapa detik lalu, Yumna akhirnya menemukan tumpuan.
Meski tangisnya terdengar menyedihkan, namun pada waktu bersamaan berhasil memicu lega yang mengalir ke dalam dada.
Yumna tak pernah mengira, akan ada suatu momen ketika dia benar-benar merasakan kebebasan. Hatinya berangsur lapang, sekaligus menumbuhkan keyakinan bahwa dia masih punya harapan.
Bukan kesiapan yang dia butuhkan, melainkan keterbukaan untuk menghadapi masa lalu.
Sejak depresi perlahan menggerogoti kewarasan, untuk kali pertama, tak sedikitpun terlintas dalam benak Yumna kalau dirinya adalah Sang Pemangku Kegagalan.
Setiap manusia berhak untuk terus hidup, lantas berdamai dengan masa lalu. Tidak terkecuali dia.
Mungkin, mungkin saja, inilah yang orang-orang katakan sebagai ... sebuah penerimaan.
Bersambung.
10 April 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top