Sebuah Pembuktian
Yumna tertawa suram. Mulutnya terbuka, tetapi matanya tak berkerut. Suara yang keluar begitu lirih.
Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dunia benar-benar aneh. Yafiq yang menjatuhkan talak, dirinya yang dicap bodoh karena menyia-nyiakan lelaki itu.
Seluruh kesalahan ditimpakan padanya. Yafiq justru meraih simpati karena menerima penolakan. Betapa tidak adil manusia memperlakukan sesama.
Yumna bergerak gelisah. Dia menggigiti bibirnya. Pandangannya mengitari ruangan.
"Si-siapa pun tolong bawa aku pergi dari sini," gumamnya terbata.
Tak selang berapa lama, air matanya luruh. Menangis tanpa suara. Cairan bening terus mengalir di kedua pipinya.
Yumna tak habis pikir. Dia di sini terluka, sementara keluarganya ribut soal membawanya ke RSJ. Padahal, Yumna tidak gila. Hanya keinginan untuk kabur yang semakin bergelora di dada.
Seandainya dulu dia bekerja, punya tabungan sendiri, Yumna sanggup pergi tanpa bantuan siapa pun. Masalahnya, dia tak punya apa-apa. Yang tersisa di hidupnya adalah kekacauan tak berkesudahan.
Yumna lelah.
Kepada siapa dia harus meminta pertolongan? Adakah yang bersedia membawanya pergi dari kampung ini?
Perempuan itu meringkuk. Memeluk dirinya. Dia menenggelamkan wajah di antara lipatan lutut. "Yasril?" bisiknya linglung.
Bukankah dia berjanji untuk selalu peduli padanya? Akankah Yasril ada untuk dirinya sekali lagi? Haruskah Yumna menghubungi pemuda itu?
Gelengan kuat hadir sebagai jawaban. Yasril tak semestinya terlibat. Dia sudah bahagia di Jakarta.
Yumna meraung rendah. Abai terhadap ketukan di pintu. Tanpa dipersilakan, orang-orang itu pasti masuk.
Kunci kamarnya disita. Mereka khawatir Yumna menyakiti diri sendiri. Privasinya lenyap. Dia diawasi secara berkala.
Matanya dipejamkan erat-erat. Enggan menghadapi siapa pun yang baru saja masuk ke kamarnya. Yumna muak mendengar omong kosong bersifat dukungan moril.
Semuanya bermuka dua. Diam-diam menghakimi Yumna seenaknya. Kepercayaan Yumna hilang, keputusasaan menelannya.
Sialan. Rasanya ingin mati!
Bahu Yumna ditepuk. Siapa pun pelakunya, tentu menginginkan respon. Namun, Yumna semakin menyembunyikan wajah.
"Hei, ini aku."
Suara laki-laki. Tidak asing. Memang terdengar lembut, tapi Yumna memilih masa bodoh. Menolak berbasa-basi.
"Dek, tolong tinggalkan kami? Abang butuh waktu bicara berdua."
"Oke, Bang. Kalau ada apa-apa, aku stay di depan kamar."
Hening beberapa saat. Kasur berderit tanda bertambah beban. Yumna menduga orang itu duduk di dekatnya.
"Katamu, kau percaya bahwa aku selalu peduli padamu. Lihat sekarang, kau bahkan tidak mau menatapku."
Yumna tersentak. Cepat-cepat menengadah. Bola matanya melebar. Tanpa kata, tanpa aba-aba, dia langsung beringsut ke depan. "Tolong aku," katanya gemetar dan berulang-ulang.
Yasril, yang tidak siap mendapat serangan tiba-tiba, secara refleks bertumpu pada kasur menggunakan siku. Setengah merebah, sedangkan Yumna berada di atasnya.
Perempuan itu mencengkeram bagian depan bajunya. Separuh bobot tubuh Yumna menimpanya. Harus diakui, dia jadi kesulitan bertahan.
Benar saja, sekian detik berlalu, mereka langsung ambruk. Yasril mendadak serba salah. Pasrah bercampur kikuk.
Yasril sadar, tidak sepantasnya berpikir macam-macam di saat seperti ini. Namun apa daya, posisi mereka amat rentan memancing kesalahpahaman. Bisa-bisa Yasril disangka memanfaatkan keadaan.
Yumna menyandarkan dahi di dadanya. Yasril mati-matian mengabaikan degup jantungnya yang menggila tanpa peduli situasi.
"Bangun! Aku jadi sesak napas!" pintanya mencari alasan. Berusaha mendorong pelan bahu Yumna.
"Tolong aku," sahut Yumna, makin mengeratkan cengkeramannya di baju Yasril.
"Kita bicarakan baik-baik. Ayo bangun. Jangan begini."
Yumna mendongak. Tatapannya amat memelas. Hati Yasril sontak mencelus dibuatnya.
Apa yang dia alami hingga tampak begitu menyedihkan?
"Bawa aku pergi."
"Kenapa?" kecap Yasril pahit. Tak lagi ambil pusing terhadap posisi absurd. Yumna menyedot seluruh atensinya. "Aku memintamu tertawa, tapi kau malah seperti ini."
Yumna menggeleng kuat. Air matanya kian deras. "Pergi ... pergi ... pergi. Aku mau pergi dari kampung ini. Tolong aku, Yas."
Yasril menghela napas. Matanya terasa perih. Sesak menyergap kala melihat kerapuhan Yumna.
Perempuan itu jauh lebih kurus dibanding sosok yang tercetak dalam ingatan. Tulang pipi menonjol, kantung mata tebal. Bibir pucat terkelupas, kulit kusam. Tubuhnya seolah menyusut.
"Cuma kau yang bisa menolongku. Aku mohon. Aku janji akan ikut ke mana pun kau pergi."
Yasril memejamkan mata. Kepalanya berdenyut-denyut. Tak tahu harus merespon bagaimana.
Terlalu membingungkan. Tak satu pun perkara yang dia mengerti. Ternyata jauh lebih rumit dari yang dia kira.
Yumna mengalami guncangan emosional. Kata-katanya sarat keputusasaan. Entah apa sebabnya, tapi Yasril mampu merasakan betapa besar keinginan Yumna untuk meninggalkan kampung halaman mereka.
Bagaimana cara membawa Yumna bersamanya?
Yasril tak punya kuasa, baik secara hukum negara maupun agama terhadap diri Yumna. Mereka sebatas sahabat. Kabur diam-diam tentu menambah masalah.
Yasril membuka mata. Pandangan mereka bertemu. Lama. Keheningan panjang melingkupi sepasang sahabat itu.
Mereka seakan hendak menyalami pikiran masing-masing. Yumna menanti pertolongan, Yasril sedang dilema.
"Kapan tepatnya kau ditalak?" ungkapnya hati-hati.
"Tiga minggu yang lalu, sebelum akhirnya semua kacau-balau dalam sekejap." Meski bingung, Yumna tetap menyahut. Punya kepercayaan tinggi terhadap Yasril. Terbukti, pemuda itu muncul di depannya kini.
"Kau punya ide agar ... bisa meninggalkan rumah?"
Yumna termenung sejenak, lantas menggeleng lemah. Tangannya menekan dada Yasril demi bisa bangkit. Dia menjauh, kembali duduk.
Yasril mendesah lega. Dia mengusap wajah kemudian berusaha bangun. Mereka berhadap-hadapan.
Yumna memajukan kepala, Yasril menatap waspada. Perempuan itu menoleh ke kiri dan kanan, seolah menyembunyikan sesuatu. "Tengah malam. Kau mau menjemputku ke sini? Aku akan lewat jendela," bisiknya.
Yasril mengernyit samar. Semakin yakin kalau mental Yumna sedang terguncang. "Kau pikir ..., kabur dengan cara itu, mampu membebaskanmu dari masalah? Yang ada kita dicap kriminal."
"Kau mau menolongku, 'kan?"
"Tidak pakai cara ekstrem. Aku bisa saja membawamu ke Jakarta bila kau mau bekerja sama."
Bola mata Yumna berbinar seketika. "Jakarta, tempat yang seperti apa? Aku akan menemukan kebebasan saat tinggal di sana?"
Yasril tersenyum sedih. "Alasanmu pergi demi memperoleh ... kebebasan?"
Yumna mengangguk kuat-kuat. "Kau tahu ... di sini terlalu banyak penjahat. Haha, kau bercita-cita jadi pahlawan waktu kecil, bukan? Aku adalah korban. Kau bertugas menyelamatkanku!"
Yasril mengatupkan bibir. Matanya memerah. Jantungnya terasa bagai ditusuk benda tajam. Nyeri. "Pahlawan dan korban harus sejalan kalau mau menuntaskan misi."
Yumna meraih kedua tangan Yasril, membawanya ke depan dagu. "Katakan, apa tugasku?"
"Sampai masa iddah-mu selesai, jangan ke mana-mana. Jangan sakiti dirimu. Jangan bicara sendiri. Jangan tertawa dan menangis di waktu bersamaan. Jangan bikin aku khawatir."
"Bayak larangan!"
Yasril melepaskan genggaman mereka. Dia meraih sisi wajah Yumna. Menatapnya dalam-dalam. "Kau ingat cara rahasia kita untuk berkomunikasi semasa kecil?"
"Menulis di kertas?"
"Lakukan itu. Tulis apa pun yang membuatmu terbebani dalam sebuah buku. Aku ingin membacanya di lain waktu."
"Banyak. Kau yakin?"
"Ya. Semua orang akan menghalangi rencana kita bila kau tetap seperti ini. Jadi, walaupun hatimu terluka, bahkan keputusasaan terasa sedekat nadi, tolong bertahan sebentar saja. Tunjukan bahwa perpisahan kalian tidak memengaruhimu secara signifikan." Yasril menyatukan dahi mereka. Rasa berdosa melingkupi diri, tetapi hanya langkah tersebut yang terbersit di benaknya untuk meyakinkan perempuan itu. "Kau adalah Yumna yang aku kenal sejak kecil. Tidak berubah sama sekali. Aku akan membawamu ikut denganku. Pasti."
Yumna serta-merta tersenyum amat tipis. Dia berkedip dua kali. Paham.
"Kalian sudah mengurus perceraian di pengadilan?"
Yumna menggeleng.
"Aku akan meminta seseorang membantumu. Aku harus balik ke Jakarta untuk mengurus beberapa hal. Hingga saat itu tiba, bersabarlah menungguku, oke?"
"Oke."
"Aku mungkin menghubungimu sesekali waktu. Pastikan ponselmu selalu aktif."
"Iya."
"Kau bersedia menuruti apa pun ideku? Jangan bertanya sampai aku sendiri yang menjelaskannya."
Yumna mengangguk yakin. "Aku percaya padamu."
Yasril menghela napas berat. Dia mundur, mencipta jarak. "Jaga dirimu baik-baik."
-Bersambung.
Hiyaa, kira-kira Yasril mau ngapain, tuh?
5 Agustus 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top