Sebuah Idealisme

Ada satu fenomena yang lazim ditemui di tengah masyarakat akhir-akhir ini, yaitu perihal hubungan antara lawan jenis. Status begitu diagungkan. Topik tentang cinta-cintaan sangat laku di pasaran.

Jika dikelompokkan secara sederhana, berdasarkan pengamatan melalui media sosial, ada beberapa tipe manusia dalam menanggapi topik tersebut.

Pertama, mereka yang mendorong agar menyegerakan pernikahan, tetapi tidak melalui hubungan semu semacam pacaran. Mereka yang berada di kelompok ini biasanya orang-orang agamis. Sarat nuansa religius. Pendukung gerakan nikah muda.

Kedua, mereka yang mendorong kebebasan mengekspresikan cinta. Biasanya agak-agak liberal. Boleh berbuat seenak hati asal sama-sama suka. Cenderung menolak gerakan nikah muda.

Ketiga, mereka yang menjadikan cinta sebagai komoditas dagang. Tidak penting mereka ini jomlo atau bukan, pro atau kontra dengan nikah muda, fokusnya hanya menjual sesuatu berbau romantisme. Biasanya yang berkecimpung dalam industri sastra dan seni. Penulis, produser film, dan sebagainya.

Walau demikian, tidak sedikit pula yang memilih abai. Mereka pada umumnya adalah jomlo. Alasannya pun beragam. Ada yang fokus meniti karir, efek traumatis, terlahir apatis, tidak punya modal, tak laku, dan lain-lain.

Setidaknya begitulah yang dialami oleh Yasril, pemuda berusia 25 tahun. Belum menikah dan tidak punya pengalaman soal pacaran.

Yasril kerap kali diledek oleh teman-teman tongkrongannya. Kuno, manusia setengah ustaz, orang suci, bahkan ada yang tak segan mengatainya pengidap kelainan seksual.

Bagaimana tidak, jika ada suatu perkumpulan umum, Yasril mungkin menjadi satu-satunya yang tampak sendirian. Tak punya pasangan. Dia juga membatasi diri terhadap segala jenis perhatian berbau pengharapan dari para gadis.

Belum lagi, ketika tengah bermain dengan teman sesama laki-laki, di saat yang lain asyik memamerkan hubungan dengan pacar mereka, Yasril hanya tersenyum dan menyimak. Dia bersuara bila dibutuhkan.

Seperti malam ini, misal. Yasril sudah terbiasa menerima tamu di apartemennya. Apabila sedang tak punya kerjaan, teman-teman karibnya suka mengacau di sini.

"Sial!" umpat Kafka, pemuda berwajah oriental, sambil membanting sebuah konsol game.

"Oi, bego! Lo kalau kalah nggak usah ngerusakin barang orang!" ketus pemuda lain yang duduk di sebelah kanan Kafka, Raza.

Mereka sedang menghadap layar LED berukuran 40 inch. Punggung bersandar pada pinggiran dipan. Mereka duduk bersila di atas karpet. Di depan mereka berhamburan aneka camilan.

"Lo sengaja ngajak gue ngobrol, 'kan? Biar gue nggak fokus. Ngaku lo!" tuding Kafka, masih tak terima dikalahkan setelah bermain tiga putaran.

"Emang dasar lo payah."

"Ck, ayo tanding ulang!"

"Ogah. Paling lo kalah lagi. Ya, nggak, Yas?"

Hening. Tak ada respon. Padahal, jelas-jelas seseorang sedang rebahan di atas kasur.

"Ealah, nih cowok satu, serius banget baca novel. Lo nggak bosan?" Raza melemparkan kulit kacang ke arah Yasril. Sukses mengenai punggung tangan pemuda itu.

Yasril yang merasa terganggu seketika menurunkan bukunya. Dia terbangun. Lantas memandang kedua temannya. "Apaan?"

"Mulut gue pahit. Boleh ngerokok, nggak?"

"Gue harap, lo belum lupa aturan main di apartemen gue. Sampai Jakarta turun salju, juga nggak bakalan gue izinin."

Kafka menyenggol bahu Raza. "Lo pake pura-pura nanya segala. Susah temanan sama orang bersih, Bro. Jangankan rokok, nyentuh cewek aja dia nggak berani."

Yasril memutar bola mata. Lagi-lagi menyerempet ke pembahasan itu. Dia bosan mendengarnya.

"Emangnya lo, tiap minggu ganti gandengan."

"Emang lo, nggak?" Kafka mengernyitkan dahi.

"Enggak dong. Gue udah insaf. Ganti sebulan sekali."

"Kampret!"

Raza terbahak, sedangkan Yasril hanya geleng-geleng kepala. Saling mengenal sejak berstatus maba, tak membuat Yasril maklum. Dia kadang masih tak habis pikir akan tingkah mereka.

"Serius, Yas. Banyak kenalan gue yang cakep. Kalau lo mau, gue bisa bantu." Kafka tampaknya belum menyerah memprovokasi Yasril.

"Betul, tuh. Masa usia 25, lo masih betah jomlo? Nggak kesepian apa? Apartemen ini terlalu luas buat lo tinggali sendirian."

Yasril mendebas. Ditanggapi makin panjang, tak ditanggapi bikin kuping pengang. Serba salah. "Harusnya kalian bersyukur. Mumpung gue masih single, puas-puasin main. Kalau gue udah punya istri, jangan harap bakal gue izinin ngerusuh di sini."

"Ck, emang, ya. Teman kita yang satu ini, beda level. Kita ngomongin pacar, dia langsung mikir punya istri. Visioner, Bro." Kafka berdecak sambil memasukkan sebutir kacang ke dalam mulutnya.

"Emang."

"Lo nggak ada niatan ngedekatin si Kania? Mukanya mirip bule, kulitnya bening, apa lagi bodinya, beuh." Raza menambahkan. Teringat senior mereka semasa kuliah.

"Nggak minat."

"Selera lo yang gimana, sih?"

"Kenapa? Lo pengen daftar?"

"Najis!"

Yasril terkekeh. Dia lalu turun dari kasur. Bergabung dengan teman-temannya di lantai. "Omong-omong, kalian belum salat Isya," gumamnya rendah.

"Asem. Mode ustaz lo kambuh lagi!" seru Kafka dan Raza kompak. Meski sempat mengajukan protes, mereka serta-merta menuruti peringatan Yasril. Malas mendengar siraman rohani dadakan.

Jangan heran, gelar manusia setengah ustaz, disematkan kepadanya. Walau Yasril salat, anti rokok, jomlo abadi, dia tidak lantas masuk kategori alim. Kadang-kadang, Yasril juga mau diajak berbuat serong.

"Yas, oi, Yasril!"

"Hm?"

"Posisi imam, kiri atau kanan?"

Yasril mengangkat sebelah alisnya. "Kiri."

"Noh, dengarin! Apa gue bilang. Lo yang jadi imam," ujar Raza puas.

Kafka menyengir, sedang Yasril hanya mendengus kecil melihat tingkah mereka.

Selagi menunggu temannya menyelesaikan salat, Yasril melanjutkan perenungan.

Sesungguhnya dia punya alasan kuat untuk menghindari rokok dan menjomlo sampai detik ini. Bukannya Yasril tidak tertarik, dia hanya berusaha teguh terhadap komitmen.

***

Orang bilang, masa-masa SMA adalah momen paling indah. Belum tepat bila dikatakan dewasa, tetapi sudah tak pantas disebut anak-anak. Kesalahan yang terjadi semasa remaja, sering kali dimaklumi. Akibatnya, tak sedikit para siswa yang mencoba untuk nakal. Entah karena penasaran, efek stres, atau pengaruh lingkungan.

Yasril adalah salah satunya.

Kala itu, tahun kedua di SMA. Yasril rutin pulang kampung setiap libur semester. Di saat-saat begini, biasanya Yasril akan mengunjungi sahabatnya.

Sore ini, selepas salat Ashar, Yasril langsung meluncur ke kediaman Pak Yahya. Dia sudah mengenal baik  keluarga itu. Si Tuan Rumah tak lagi heran bila menemukan dirinya di sana.

Yasril memang tinggal di desa tetangga, tetapi jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Sebab, posisi rumah Yasril ada di dekat perbatasan. Pun, dengan Yumna. Rumahnya terletak di sisi paling Selatan Ibukota Kecamatan. Ada areal perkebunan, sungai kecil, juga jalan setapak yang membentang di antara kedua desa tersebut.

Yasril mengajak Yumna ke pelabuhan Ibukota Kecamatan. Memang tidak ada yang istimewa di sana, tetapi pemandangan yang disajikan cukup memukau.

Laut berwarna biru terhampar di depan mata. Pegunungan hijau berbaris di sisi Utara. Pulau-pula kecil berdiri kokoh di kejauhan. Bias keemasan merayap di angakasa.

Tak heran, meski serba sederhana, pelabuhan ini menjadi spot favorit penduduk untuk melepas penat atau sekadar jalan-jalan di penghujung hari.

Pelabuhan itu berbentuk persegi panjang, yang salah satu sisinya langsung terhubung dengan dermaga. Sedang di sisi lain, lautan mengelilingi. Di keempat sudut diisi oleh sebuah pasak besi yang  menembus beton dari dasar laut. Berfungsi untuk mengaitkan jangkar bila ada kapal asing mampir kemari. Namun, karena hal itu sangat jarang terjadi, kebetulan bagian atas pasak dibuat rata, maka oleh warga dialihfungsukan sebagai alas duduk.

Yasril dan Yumna menempati pojokan. Duduk menghadap ke tempat terbenamnya matahari. Kaki mereka sengaja diselonjorkan ke bawah. Menggantung di tepi pelabuhan.

"Yas," panggil Yumna. Dia menoleh ke kiri. Memandang Yasril, yang tengah asyik menghisap batang nikotin.

Yasril melirik sekilas seraya mengembuskan asap ke udara.

"Aku yakin bisa menang melawanmu dalam lomba renang."

Yasril mematikan sisa rokok. Dahinya mengernyit. Kenapa tiba-tiba bahas begituan, pakai nada menantang pula, pikirnya. "Aku tahu kemampuan matematikamu standar, tapi harusnya tidak separah ini."

Yumna menonjok bahu Yasril. "Tidak ada hubungannya!"

Yasril bergeser ke kanan. Memangkas jarak di antara mereka. "Perbandingannya begini, kau sudah dua kali bergerak, aku baru sekali. Waktu dan tenaga yang kau butuhkan lebih banyak dibanding aku. Jadi, simpulkan sendiri!" tukasnya sambil mendorong jidat Yumna.

Cewek itu cemberut. "Bagaimana kalau kita buktikan?"

Yasril mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena paru-paruku sehat, sedangkan kau tidak."

"Hm?"

"Kau merokok, Yas."

Yasril memutar bola mata. Tahu betul ke mana arah pembicaraan mereka. "Kau mulai lagi."

"Ya sudah, tinggal kita buktikan saja. Masalah selesai."

"Apa untungnya?"

Yumna mengelus dagu. "Kalau aku menang, kau berhenti merokok."

"Kalau kau kalah?"

"Tak apa. Kau tidak rugi."

"Tidak. Bagi seorang perokok, berhenti adalah kerugian, paham? Harus ada jaminan lain jika kau yang kalah."

"Terserah apa maumu."

"Maksudmu?"

"Aku tidak punya ide. Jangan menyuruhku berhenti mengingatkanmu. Itu mustahil. Jadi, jika aku kalah, kau sendiri yang tentukan hukumannya. Bagaimana?"

Yasril menyeringai tipis. "Bebas?"

"Asal jangan aneh-aneh."

"Defenisi aneh-aneh?"

"Sesuatu yang memalukan, melanggar norma, merugikan aku."

"Contohnya?"

"Yasril!"

Cowok itu tertawa kecil. Dia lalu mengulurkan tangan. "Deal, ya?"

"Deal!"

Mereka bangkit. Meninggalkan pelabuhan menuju dermaga. Ada tangga beton yang menjorok ke laut.

"Dari tangga ini sampai pasak di ujung sana. Terus balik lagi. Satu putaran," tutur Yumna, dibalas deheman oleh Yasril.

Sepasang sahabat itu berdiri bersisian. Mereka mengambil ancang-ancang. Dalam hitungan ketiga, mereka meluncur ke dalam air.

Yumna berjuang sekuat tenaga. Enggan menyia-nyiakan kesempatan. Entah bagaimana pergaulan Yasril di Kota Provinsi, tahu-tahu dia telah merokok. Yumna tak ingin sahabatnya terkena penyakit.

Yumna agak kewalahan, dia telah mengerahkan seluruh tenaga. Kaki dan tangannya bergerak, memelesat secepat mungkin. Walau air liurnya terasa asin, matanya perih, napasnya mulai kepayahan, dia tak berhenti.

Kiri-kanan. Menyelam-berenang. Tarik napas-embuskan. Terus bergerak. Yumna menggunakan segala cara agar menang.

Atas usaha tersebut, Yumna berhasil menyentuh garis finish lebih awal. Tak selang beberapa detik, Yasril sudah tiba di sisinya.

Cewek itu langsung berpegangan pada tembok bebatuan yang menahan daratan agar tidak anjlok. Dia mengatur napas. Mukanya memerah. Setelah merasa agak baikan, Yumna berusaha naik. Dia duduk di undakan tangga. Setengah tubuhnya masih berada dalam air.

"Aku menang!" serunya girang.

Yasril berdecak. Dia menatap Yumna dari bawah. Kedua lengannya bertumpu pada tangga. Sial. Dia terlalu meremehkan cewek itu.

"Kau harus berhenti," tukas Yumna puas.

Yasril hanya menggumam malas-malasan. Dia belum terima dikalahkan. Keki bukan main.

"Asap rokok perlahan merusak paru-paru, tahu. Kau seperti membakar organ tubuhmu. Bahaya. Bukan hanya kau, tapi juga orang di sekitarmu bisa kena efeknya."

Yasril mengernyit dalam. Urat di dahinya menyembul. Ternyata Yumna sama seperti cewek pada umumnya. Walau gayanya tomboy, dia tetap suka mengomel di saat-saat begini.

"Janji harus ditepati, lho!"

Yasril lagi-lagi memutar bola mata. Dasar cewek. Makin didiamkan, makin berisik. Dia perlu memikirkan cara agar Yumna tutup mulut.

Yasril mengerjap. Sebuah ide melintas di benaknya. Memang agak kurang ajar, tetapi patut dicoba, batinnya. "Hitam."

"Apa?"

"Pakaian dalammu kelihatan."

Yumna refleks menunduk. Matanya terbelalak. Dia menyilangkan lengan di depan dada. "Hei, jangan lihat!" serunya panik.

Yasril menahan senyum. Dia sengaja menghadapkan mukanya ke arah Yumna, tetapi bola matanya bergulir ke bawah. Berusaha untuk tidak melanggar privasi cewek itu. Ternyata susah. "Santai. Lagi sepi ini."

Yumna pelan-pelan masuk ke dalam air. Dia berpijak pada fondasi dermaga, tepat di sebelah Yasril. "Aku harus bagaimana?"

"Biasa saja. Kecil juga."

"Hah?!"

Yasril tertawa lirih. Menutupi rasa kikuk yang sebenarnya bergejolak di dalam hati. Juga, gelenyar aneh yang mulai merambati dada dan punggungnya. "Bodoh, cuma kau yang berenang pakai kaos putih."

"Ini tidak terencana. Bantu aku," bisik Yumna sambil menahan malu.

Yasril berdehem. Senjata makan tuan. Bukannya menutup mulut Yumna, justru dirinya yang ketar-ketir. Tak ingin hilang kontrol, Yasril merangkak naik. Menggantikan posisi Yumna tadi. Dia lantas melepas kaos tanpa banyak bicara.

Yumna menyorot ngeri. "Mau apa kau?"

"Pakai itu."

"Kau yakin? Bagaimana denganmu? Kau nyaman berpenampilan begitu?"

Yasril membuang muka. Telinganya agak kemerahan. "Tidak ada yang tertarik melihat dada cowok. Ayo pulang!"

"Eh, iya. Terima kasih." Yumna buru-buru memakai kaos hitam pemberian Yasril. "Mau mampir ke rumahku? Aneh sekali kalau kau pulang tanpa atasan dan basah-basahan. Aku bisa meminta pakaian bapakku," imbuhnya.

"Boleh. Asal kau mau menjelaskan jika mereka bertanya macam-macam."

"Contohnya?"

"Kenapa kau tiba-tiba pulang sambil membawa cowok setengah telanjang, mungkin?"

"Lalu kita akan dinikahkan."

Mereka tergelak. Yasril mengulurkan tangan. Yumna langsung menyambutnya.

Mereka bisa tenang. Tak perlu khawatir rumor buruk akan beredar. Sebab, adalah pemandangan lumrah, bagi penduduk untuk kembali dari berenang, dalam kondisi demikian.

-Bersambug

Nggak nyangka aku bisa bikin adegan sweet ala-ala remaja. Walau mainstream, sih. Wakaka.

Yasril sama Yumna renang dg pakaian lengkap, emang gak berat? Berat dikit, tapi udah biasa. Aku aja renang pakai gamis. 😆

Ini pertama kali aku pakai kata ganti "lo-gue". Sering baca sih, tapi pas ditaruh di ceritaku sendiri, kok agak kikuk. Semoga gak aneh. Lol.

Kalian punya teman macam Yasril, nggak? Gak merokok, jomlo, suka ceramah, tapi pas diajak bandel (sesekali), dia mau2 aja 😂

20 Juni 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top