Sebelum Kita Menikah

Aktivitas Yusra belakangan ini semakin padat saja. Rasanya banyak energi yang terkuras. Selain bekerja dari pagi hingga siang, dia harus menyiapkan pernikahan.

Tidak berhenti sampai di situ, dia juga perlu merapikan barang-barang yang kelak akan dibawanya ke Jakarta. Tidak lama lagi Yusra harus meninggalkan kampung halaman.

Sejujurnya, Yusra masih tidak menyangka sebentar lagi akan menyandang status sebagai istri orang. Terlebih pertemuan mereka sungguh di luar bayangan. Ketika pertama kali berinteraksi, di kepalanya hanya ada segumpal keresahan.

Namun, kejadian ini membuatnya menyadari satu hal. Semua ada masanya, pun demikian perihal jodoh. Tak perlu khawatir terlalu berlebihan. Pada akhirnya, manusia akan menemukan kecocokan hati di waktu yang tepat.

"Gimana kondisi di sana?"

Risiko memiliki pasangan beda provinsi. Mereka sangat bergantung pada alat komunikasi digital. Bahkan, berkas personal Raza untuk keperluan pengajuan surat nikah dikirim secara daring.

Yusra meniup udara di atas kepalanya. Mereka teleponan secara berkala untuk memastikan setiap detail persiapan. Pernikahan ini dilaksanakan mengikuti adat Muna, tempat tinggalnya.

Mahar ditentukan berdasarkan kedudukan ayah mempelai wanita di mata adat. Dikenal pula yang namanya uang panaik, sejumlah biaya yang diberikan pria kepada keluarga wanita. Uang tersebut kerap dimanfaatkan untuk kesuksesan acara.

Terdapat serangkaian adat yang harus dilewati sejak sebelum hari H hingga selesai. Berhubung domisili calon mempelai pria terlalu jauh, beberapa hal terpaksa disederhanakan. Terus terang, Yusra sebetulnya tak peduli soal itu.

Andai bisa, dia malah berharap pernikahannya dibuat seminimalis mungkin. Hanya saja, orang tuanya tak setuju. Pertimbangan mereka pun tidak jauh-jauh dari omongan warga.

Insiden Yumna beberapa waktu lalu telah menjadi sejarah. Akan terus dikenang entah sampai kapan. Beginilah realitas hidup di pedesaan. Yusra tidak bisa menyalahkan orang tuanya yang terikat oleh aturan sosial.

Pada kenyataannya, warga juga mengambil peran penting dalam membantu persiapan. Di tengah keterbatasan fasilitas, mereka hadir berbondong-bondong menutupi setiap celah. Memasang tenda, mengolah aneka bahan makanan, menyebar undangan, dan masih banyak lagi. Selama beberapa waktu ini, kediaman mereka ramai oleh tenaga bantuan.

"Aman, ada koneksi. Berkas udah disetorin ke KUA setempat. Semoga jadi sebelum hari H."

Selain urusan administrasi, orang tua Yusra juga membantu membicarakan lokasi menginap yang nantinya digunakan oleh rombongan pihak laki-laki. Di sini tidak ada hotel atau sejenisnya. Lalu dicarilah alternatif lain.

Merujuk pada kebiasaan masyarakat, calon mempelai yang datang dari jauh biasanya meminjam rumah salah satu kerabat perempuan. Mengingat Raza bersahabat baik dengan Yasril, maka kediaman Pak Razak menjadi pilihan.

Rencananya, mereka akan datang tiga hari sebelum acara. Calon pengantin tidak diperkenankan bertemu selama masa penantian tersebut. Barulah ketika jatuh tempo, rombongan pria datang ke rumah mempelai wanita. Lalu setelah melewati proses pembicaraan di antara sesama tetua adat, akad pun dilangsungkan.

Ada jeda sejenak bagi pasangan yang telah resmi untuk istirahat. Biasanya dibarengi dengan salat dan makan. Setelahnya, resepsi diadakan pada pukul 13.00-17.00 WITA.

"Kok, kamu kedengaran lemas?"

"Nggak pa-pa. Jadi, siapa aja yang bakal ikutan?"

"Cuma keluarga inti. Lagian, kita juga bakal ngadain pesta di sini."

Yusra menghela napas. Calon mertuanya tentu tak ingin ketinggalan. Sebagai anak tengah sekaligus putra tunggal dari tiga bersaudara, pernikahan Raza pasti digelar secara besar-besaran.

Dia meringis saat membayangkan sebanyak apa biaya yang dikeluarkan kekasihnya untuk mendanai penyelenggaraan pesta. Belum lagi, ongkos perjalanan dari Jakarta ke kampung ini tidak bisa dibilang murah. Tiba-tiba saja Yusra khawatir mengenai kondisi finansial mereka di kemudian hari.

"Kamu benaran nggak pa-pa?"

Yusra mengerjap. "He'em."

"Jangan bohong. Aku tadi manggil berkali-kali, lho, kamu baru nyahut."

Yusra mendesah. Tidak jarang kepekaan sang kekasih berubah menyebalkan di saat-saat seperti ini. Raza seolah tahu betul apa yang Yusra pikirkan. Mau tidak mau, dia harus bercerita jika tak ingin mendengar pertanyaan berulang.

"Aku ngerti, tapi, bukannya aku udah pernah bilang, ya?"

"Apa?"

"Insyaallah semua kebutuhanmu terjamin selama jadi istriku."

Yusra mendengus kecil. Tentu saja dia tidak meragukan kredibilitas Raza sebagai calon suami potensial. Pemuda ini memang berasal dari keluarga berada. Di samping itu, orang tua Raza juga baik hati.

Hanya saja, dia tetap merasa khawatir. Padahal, pernikahan mereka tinggal menghitung minggu. Kurang dari sebulan, mereka akan bertemu kembali. 

Beginikah yang kerap dialami oleh calon pengantin menjelang hari H?
Rasanya bayang-bayang buruk mengintai dari segala penjuru. Dia dirundung resah di waktu-waktu tertentu.

Yusra memijat pelipis menggunakan tangannya yang bebas. Berusaha mengusir penat. Mungkin dia butuh istirahat segera, tetapi matanya masih menyala terang.

"Za, ceritain sesuatu dong."

"Cerita apaan?"

"Terserah."

"Benaran terserah aku, nih?"

"He'em."

Sejujurnya tidak ada lagi hal penting yang harus mereka bicarakan sekarang. Laporan perkembangan sudah dibahas seluruhnya. Yusra hanya ingin terus mendengarkan suara sang kekasih.

Dalam rangka melenyapkan keraguan yang tiba-tiba mendera, dia butuh meyakinkan diri atas eksistensi Raza. Bahwa pemuda itu, ada di sini, bersamanya. Bahwa Raza, bersedia menuruti permintaannya walau terkesan absurd.

"Oke, kemarin aku dihubungin teman. Kami kenal dari zaman kuliah, sih. Dia curhat gara-gara pacarnya selingkuh. Em, sebenarnya dia mantanku."

"Hah?! Kenapa malah bahas mantan?" sentak Yusra. Belum pudar  keraguannya sempurna, Raza sudah memancing emosi baru.

"Lho, tadi katanya terserah aku mau cerita apa?"

"Ya, nggak mantan juga, kali!"

"Terus maunya apa?"

"Terserah!"

Sial, bukannya merasa bersalah, tawa kecil justru terdengar dari seberang telepon. "Kamu ngeremehin aku?"

"Emang pernah aku kayak gitu?"

"Lah, barusan kamu ketawa. Aku lagi serius gini, kamu malah ketawa."

Yusra tidak berhenti sampai di situ. Ocehannya merambat ke banyak perkara. Dia mengeluarkan segala ganjalan di hati. Di lain pihak, Raza tidak menyela sama sekali hingga dirinya selesai.

"Kamu lucu, ya, pas lagi ngomel."

"Kamu pikir aku badut?!"

"Nggak dong. Kan, kamu perempuan paling cantik yang pernah aku kenal."

"Lebih cantik dari mantan-mantanmu?"

"Kok, malah balik ke mantan lagi?"

"Tadi kamu yang bahas duluan!"

"Canda, Sayang. Itu tadi aku cuma ngarang. Mana sempat aku ngeladenin curhatan perempuan lain."

Yusra menggeram, makin sebal. "Terus kenapa kamu ngarang cerita kayak gitu?"

"Ya, biar kamu terhibur?"

"Hah?!"

"Coba cek sekarang, masih kepikiran masalah pernikahan?"

Yusra bungkam. Matanya berkedip cepat. Seketika dia melongo.

Pemuda itu sengaja menyebut perempuan lain untuk mengalihkan kekhawatirannya. Cara yang agak ekstrem, tetapi benar-benar ampuh. Terang saja, sekarang dia sudah tidak galau soal persiapan nikah karena atensinya beralih pada masa lalu sang kekasih.

"Eh ..., nggak lagi, sih. Tapi kan, nggak harus bawa-bawa mantan!"

"Iya, iya, maaf. Sama kayak kamu, aku juga repot di sini. Sekarang udah lega, 'kan? Udah keluar semua uneg-unegnya? Puas ngomel-ngomel, nih? Kalau aku nggak bahas mantan, kamu pasti bakal diam-diam aja."

Yusra mencibir. Tidak bisa mengelak, perkataan Raza tepat sasaran. Buktinya sekarang dia merasa lebih lega. "He'em, makasih."

"Kedengaran nggak ikhlas."

"Makasih, Za."

"Belum, tuh? Ada yang kurang."

Yusra mendengus kecil, menahan sudut bibirnya terangkat. "Makasih, Sayang."

"Nah, gitu dong. Sama-sama. Yaudah, tidur, gih. Tutup, ya?"

Yusra menjauhkan ponsel dari telinga demi mengecek jam. Baru pukul sembilan lebih sedikit. "Cepat banget."

"Katanya, kamu capek? Istirahat, sana. Oh, aku punya sesuatu biar mimpimu indah, nih."

"Apaan?"

"Tutup dulu. Nanti aku kirim lewat chat."

Tak lama setelahnya, sambungan terputus. Yusra masih memandangi layar ponselnya. Sebuah pesan muncul setelahnya.

Astaga!

Yusra sontak tertawa kecil.

Si Raza itu ..., dasar narsis! Untung wajahnya tampan. Bisa-bisanya dia masih terlihat segar pada waktu-waktu malam begini.

Yusra jadi mesem-mesem sendiri.
Malam itu, dia asyik memandangi wajah kekasihnya hingga kantuk menyapa.

Raza yang berpose finger heart sambil tersenyum lebar, sukses merapikan mood-nya.

Raza mempunyai kualifikasi sempurna untuk membuatnya cinta sejatuh-jatuhnya.

Sial, harusnya dia tidak luluh semudah ini.

Bersambung.

Scene apaan ini, woi, wakakaka.

3 Maret 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top