Satu Desa Terguncang
Pasir Putih adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Luas wilayah 89,53 km^2 dan merupakan salah satu kecamatan di kawasan Muna Timur. Beriklim tropis dengan suhu rata-rata antara 25ºC – 27ºC.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Wakorumba Selatan. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Buton Utara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pasikolaga. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Buton.
Kecamatan Pasir Putih merupakan pemekaran dari Kecamatan Wakorumba Selatan yang terdiri dari 6 desa 12 Dusun dan 14 RT.
Di salah satu desa itulah, Yumna dan keluarganya menjalani hidup. Lebih spesifik, mereka tinggal di Ibukota Kecamatan.
Luas wilayah Ibukota Kecamatan 17,48 km^2, jumlah penduduk 1.591 jiwa dengan kepadatan 91 jiwa/km^2. Berbatasan dengan laut di sebelah Barat, kawasan hutan di Timur dan Utara, serta desa tetangga di bagian Selatan.
Fasilitas umum yang tersedia cukup lengkap. Di bidang pendidikan, terdapat sebuah sekolah Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar Negeri, Sekolah Menengah Pertama Negeri, dan Sekolah Menengah Atas Negeri. Di bidang kesehatan, ada Puskesmas. Di bidang ekonomi, ada pasar yang dibuka tiga kali sepekan; Rabu, Jumat, dan Minggu.
Akan tetapi, seperti pesolok pada umumnya, kondisi jalur transportasi cukup memprihatinkan. Di jalur darat, jalan desa sangat licin saat musim penghujan. Air meranggas di antara bebatuan. Sebaliknya, kerikil bertebaran saat musim kemarau. Kurang bersahabat dengan pengendara motor.
Di jalur laut, sebuah kapal kayu, yang disebut jonson oleh masyarakat setempat, merupakan satu-satunya kendaraan. Melayani penyeberangan ke Kota Kabupaten setiap hari. Berangkat pukul tujuh pagi, lalu pulang pukul dua belas siang. Kapal itu bermuatan sekitar 100 orang. Sebuah bangku yang sangat panjang berada di di sisi kiri dan kanan. Penumpang bisa memilih berada di bagian dalam atau di atap kapal.
Dengan demikian, atas situasi dan kondisi wilayah yang mendukung, tidak mengherankan bila kabar sekecil apa pun sangat mudah tersebar ke seantero desa. Penduduk setempat saling mengetahui antara satu dengan yang lain. Begitu dekat. Semua dianggap kerabat.
"Sampai kapan kau bertahan dengan keputusanmu itu? Kau mau jadi perawan tua? Lelaki mana yang mau menikahimu, huh?"
Yumna mendesah pelan. Kupingnya berdengung. Kepalanya berdenyut.
Pagi hari, sepulang dari pasar Jumat, Mamak langsung mencecarnya dengan beragam keluhan. Lagi. Hanya saja, kali ini suasananya lebih panas. Menantang.
Semua merujuk pada aksi penolakannya terhadap lamaran Pak Dokter.
Tentang ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Yumna. Gadis-gadis yang mengatai Yumna tolol. Bapak-bapak yang ikut meramaikan cerita dengan mendeskripsikan perbandingan antara Yumna dan Yusra.
Dan saterusnya. Dan sejenisnya.
Topik yang diangkat sangat menjual. Penuh variasi. Sarat ungkapan provokatif. Disebarkan dari mulut ke mulut.
Jangan tanya siapa yang berperan sebagai narasumber. Apakah benar atau salah. Akurat atau tidak. Masyarakat hanya butuh sesuatu untuk dikomentari.
Dalam waktu relatif singkat, Yumna telah menjadi buah bibir.
Dia ..., yang hadirnya tidak diperhitungkan, disepelekan, dipandang sebelah mata, telah berhasil mengguncang satu desa.
"Yumna!"
"Ya, Mak?"
"Kau! Katakanlah sesuatu! Jangan cuma diam!"
"Aku harus bagaimana?" jawab Yumna malas.
Tidak ada yang dapat dia lakukan. Kabar sudah beredar. Orang-orang telanjur bergosip.
"Menikahlah dengan Yafiq. Kau gadis beruntung karena dilirik oleh laki-laki sepertinya. Kau ...."
"Tenanglah, Mak." Yumna sengaja memotong perkataan mamaknya. Tahu betul akan bermuara ke mana. Dia bosan. Terlalu sering diulang-ulang.
"Tenang bagaimana? Kau enak! Jarang keluar! Mendekam terus di kamar! Malu hati Mamak disindir Bu Rosidah."
"Iya. Mamak sudah cerita soal itu juga tadi."
"Pokoknya Mamak tak mau tahu! Kau harus menikah! Pergi kau dari rumah ini! Dasar anak tak berguna! Kapan kau mau balas jasa pada orang tuamu, hah?!" geramnya dengan mata memelotot.
Yumna tertegun. Hatinya mencelus. Sebuah benda tajam seakan mengiris dadanya secara perlahan.
Yumna paham, Mamak tertekan. Lelah diteror warga desa. Mamak tidak bermaksud demikian. Pasti begitu.
Iya, 'kan?
Gadis itu melengos. Bibirnya mengatup rapat. Tangannya mengepal erat. Agak lama.
Yumna lalu memandang mamaknya. Berusaha tersenyum, tetapi susah. Bibirnya enggan bergerak. Kaku. Bola matanya perih. Mukanya panas.
"Nak, maksud Mamak ...."
Yumna mengangguk cepat. Tak apa. Dia cukup lega saat melihat sorot penyesalan di bola mata Mamak. Itu cukup.
Ya, cukup untuk menyakinkan dirinya tentang arti sebuah keluarga. Bahwa dia masih diinginkan. Bahwa Yumna tidak sendirian. Dia punya tempat untuk pulang.
Iya, 'kan?
"Aku janjian bertemu dengan Pak Yafiq. Kami mau membicarakan masalah ini. Sekarang, aku boleh ke kamar?" tuturnya getir.
Yumna segera bangkit. Dia enggan berlama-lama di sini. Tidak boleh. Mamak mungkin merasa bersalah kalau dia menangis.
Iya, 'kan?
Gadis itu melangkah panjang-panjang. Pura-pura tuli. Tidak peduli pada seruan Mamak.
Keputusannya tepat. Walau tidak berguna, hidup hanya jadi beban, Yumna perlu menjaga nama baik keluarga.
Begitukah?
Tak apa dia terluka. Berdarah-darah. Terserak. Asal harga diri orang lain tetap aman.
Benar. Tidak semestinya Yumna sakit hati. Dia hanya seonggok sampah masyarakat. Pengangguran. Sang Pemangku Kegagalan.
Lihat saja, ketika kakak dan ayahnya sibuk bekerja, adiknya sekolah, ibunya mengurus rumah, dia asyik tidur-tiduran.
Yumna menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia duduk di tepi kasur. Termenung.
Apakah Mamak terbebani dengan keberadaan Yumna? Itukah alasan Mamak memaksanya menikah? Agar Yumna berhenti merepotkan?
Apakah Bapak juga punya pemikiran yang sama? Itukah alasan bapaknya menerima permintaan Yafiq? Agar tanggung jawab atas dirinya terbebaskan?
Oh, kasihan sekali. Di usia senja, mereka harus menanggung derita karena punya keturunan sepertinya.
Yumna mengerjap. Dia menyentuh mata kiri. Perih.
Eh, cairan apa yang mendesak di kelopak matanya?
Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Semakin lama semakin deras.
Mula-mula hening, kemudian isak terdengar. Sesak. Pedih. Nyeri.
Yumna menekuk kaki. Dia lantas meringkuk. Tergugu.
Dia pikir, walau harapan lenyap, doa tak lagi melangit, angan telah dihentikan, selalu ada tempat untuk pulang; rumah.
Dia pikir, hatinya cukup kuat. Tak gentar. Tak ada lagi tempat untuk kesedihan. Sesak tak apa. Sekadar rutinitas. Layaknya ombak yang menghantam batu karang. Terus-menerus. Namun, tetap kukuh dan keras.
Sayang ..., tampaknya Yumna lupa diri. Kesakitannya mungkin belum terlalu parah. Kepingan dirinya masih tersisa. Hatinya belum hancur lebur. Tak heran pola pikirnya bisa senaif itu.
Dia butuh lebih banyak luka. Sayatan. Kepedihan. Hingga hatinya benar-benar mati. Sampai kelenjar air matanya tandus. Agar dia, manusia tak tahu balas budi ini, dapat bertahan hidup bagai robot.
Bila memang demikian, Yumna bersedia. Sudah waktunya dia berhenti. Suaranya tak berarti. Eksistensinya sia-sia. Percuma.
Dengan tangan bergetar, pandangan nanar, gadis itu mencari-cari ponselnya. Tekadnya sudah bulat.
Lupakan soal motif Yafiq. Abaikan segala keanehan. Lenyapkan pertanyaan yang menggerogoti otak. Tak masalah. Bahkan jika lelaki itu berniat buruk padanya, Yumna harus siap.
Mohon maaf atas perlakuan kurang ajar saya akhir-akhir ini. Tolong lupakan saja pertanyaan saya sebelumnya. Saya bersedia menikah. Kalau-kalau Anda belum berubah pikiran.
Kini, bukan cuma satu desa yang terguncang akibat lamaran Yafiq, mental Yumna pun turut dipertaruhkan karenanya.
-Bersambung
12 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top