Sahabat Selamanya

Hai.

Aku bingung harus memulai dari mana. Banyak hal yang ingin kutanyakan padamu.

Aku harap kita bisa bertemu secara langsung, tapi rasanya tidak mungkin. Jika kau tak keberatan, apa aku bisa menghubungimu via telepon?

Ah, jangan khawatir. Kau bisa ajak Bang Yafiq untuk ikut mendengarkan.

- Yasril.

*

Pukul sebelas siang. Sinar matahari terasa menggigit kulit, desau angin mengembuskan hawa panas, bau garam menusuk hidung.

Sepasang manusia berdiri di sisi selatan geladak kapal. Lantai dua, di dekat pagar pembatas. Hening melingkupi mereka.

Tak banyak manusia hilir-mudik di sana. Terlalu malas melawan keganasan sang surya. Di sisi barat, di seberang kemudi kapal. Kursi-kursi berderet rapi dari depan ke belakang.

Bapak-bapak yang tengah bermain kartu, sekawanan gadis muda tertawa ria, kumpulan pemuda tanggung asyik menonton televisi.

Tampaknya, di antara belasan penumpang, lelaki berusia 30-an, bermata teduh, bibir berwarna mencolok, adalah satu-satunya yang mengamati sepasang manusia itu.

Agaknya, mereka tak terpengaruh dengan semua itu. Yasril dan Yumna, mereka seolah memisahkan diri dari situasi sekitar.

Sekarang, di bawah naungan langit biru cerah, di atas kapal yang tengah berlayar, hanya ada gejolak aneka rasa bercokol dalam dada masing-masing.

*

Aku mengerti. Ayo bertemu langsung. Kak Yafiq akan mengawasi dari jauh.

Kapal siang dalam pelayaran menuju Kota Provinsi.

Sampai jumpa, Yas.

*

Tatapan lurus ke depan. Berdiri bersisian. Kedua tangan memegang pagar besi.

Yasril menghela napas dalam. Sebagai orang yang menghubungi duluan, dia sadar harus memulai percakapan. Apa daya, semua tak semudah yang dibayangkan.

Bagi sepasang sahabat yang pernah berjanji untuk menikah, sebelum hilang kontak hampir enam tahun, pertemuan semacam ini ..., benar-benar terasa ganjil.

"Terima kasih untuk menyempatkan waktu bertemu denganku," gumam Yasril kelu.

"Tidak, akulah yang berterima kasih karena kau tetap mencariku setelah apa yang aku lakukan."

"Kenapa ..., kenapa kau bohong soal kuliahmu?"

"Soal aku yang mengaku bergelut di bidang olahraga?" kata Yumna pelan. "Maaf."

Yasril menoleh. Dia mengatupkan mulut, menanti penjelasan lebih lanjut.

Yumna turut menoleh. Pandangan mereka bertemu. Saling berhadapan. "Setiap kali mengingat impian masa kanak-kanak kita, aku merasa marah. Saat kau menembus jurusan dan kampus impianmu, aku tidak bisa bahagia. Tapi, aku harus tetap mendukungmu. Aku frustrasi. Kenapa cuma kau yang berhasil? Kenapa kau punya orang tua yang open minded? Kenapa kau bebas menentukan pilihan, sedang aku terkekang?

"Lalu aku mulai berpikir buruk tentangmu. Kau mungkin akan mencelaku, memandangku kasihan sebagaimana orang lain. Puncaknya, kau akan benar-benar pergi dari hidupku. Aku sadar bahwa kecemasanku tak berguna. Kau ada untukku, bukan? Kau sendiri yang bilang begitu, dan aku selalu percaya padamu. Namun, aku menghancurkannya dengan membuat kebohongan hanya untuk memenuhi egoku. Aku menipumu untuk tetap terlihat pantas di sisimu. Semakin lama, perasaan bersalah makin menggerogotiku. Aku tersiksa dengan perasaan busuk itu. Aku tak sanggup. Pada akhirnya, aku memilih berhenti, menutup semua kenangan kita, termasuk mendorongmu keluar dari hidupku. Maaf, maafkan aku."

Senyap. Yasril bergeming. Pemuda itu hanya terus menatapnya lamat-lamat.

"Apanya yang jadi Menpora? Apanya yang atlet profesional? Apanya yang sukses bersama? Nyatanya, aku cuma pengecut. Aku tidak bisa menanggung beban perasaan. Aku sudah mencoba ikhlas terhadap keputusan mamakku, tapi sulit. Aku mengacaukan kuliahku. Gagal beradaptasi dengan beban studi. Hasilnya, bisa kau tebak, aku terlambat lulus, dan sekarang jadi pengangguran. Aku pernah mencoba peruntungan melamar di perbankan sewaktu di Makassar, ditolak."

"Kenapa kau ingin terlihat pantas untukku?"

Yumna menunduk. Matanya memerah. Sesak menghantam dada.
"Aku ..., jauh di dalam hati, di bawah batas kesadaranku, bahkan setelah seluruh kebodohan yang kulakukan, aku masih berharap bahwa janji terakhir kita akan terpenuhi. Sayang, itu pun gagal."

"Kau yang membatalkannya. Kau menikahi orang lain." Yasril mengepalkan tangan erat.

Air mata Yumna menetes. Rasa bersalah menggerogoti batinnya. "Maaf, aku minta maaf. Untuk semuanya, untuk kebohongan, untuk mengacaukan rencana masa depan kita."

"Tidak, akulah yang harusnya minta maaf."

Yumna menengadah. Dia mengerjap, menghalau cairan bening yang menumpuk di sudut mata. Sorotnya tampak bingung.

"Aku terlalu antusias dengan kuliahku, hingga terus memamerkan diri padamu, menjadi sebab kau bertindak implusif. Ada pun janji terakhir kita, kau tidak bersalah. Saat itu, kita masih sangat muda. Lagi pula, kau tidak berkhianat. Bang Yafiq yang langsung melamarmu, 'kan? Wajar jika kau menerimanya. Aku bisa memahami kebutuhanmu sebagai perempuan dewasa. Ini berbeda dengan angan-angan masa kecil. Kau butuh kepastian. Bersamanya kau akan bahagia. Sedang aku ..., aku bahkan belum menyelesaikan magang, masih menyusahkan orang tuaku. Bagaimana mungkin aku membahagiakanmu? Lihat, bukan cuma kau, aku pun gagal. Jadi, kita seimbang."

Yumna tersentak. Yasril salah paham. "Tidak, bukan begitu ...."

Yasril membuang muka. "Sudahlah. Telanjur. Aku cukup senang untuk mengetahui, bahwa aku tidak berharap dan menunggu sendirian. Apa daya, kita memang hanya ditakdirkan menjadi teman."

Hening untuk yang kesekian kali.

Mereka sama-sama menarik napas kuat. Lalu berganti posisi. Memandang hamparan laut yang berkilauan.

"Tidak seorang pun mampu menebak masa depan. Apa yang telah terjadi, biarlah berjalan sebagaimana mestinya. Ada hal-hal yang berada di luar kuasa kita. Jangan menangis lagi. Jangan perlihatkan air matamu. Kata Yusra, kau berubah drastis. Karena itu, mulai sekarang, tertawalah, tersenyum selepas dulu. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Mari rayakan kegagalan kita dengan terus berjuang. Kau dan pernikahamu, aku dan karirku. Hm, mungkin aku perlu mencari pendamping secepatnya. Kau harus datang ke pestaku, oke?"

"Kau belum berubah, ya?"

"Hm?"

"Kau selalu tahu apa yang harus dilakukan."

Yasril menyeringai tipis. "Menurutmu begitu?"

"Tentu. Kau percaya diri, dewasa, tahu bagaimana menyikapi masalah. Aku kagum padamu."

Yasril berdehem. Dia menyugar rambutnya. "Hei," panggilnya. Yumna menoleh. "Jangan memuji laki-laki lain, di saat kau sendiri sudah bersuami, bodoh. Kalau aku salah paham, bagaimana?"

Yumna mengernyit samar, sebelum mendengus geli, disusul tawa kecil saat Yasril mengelus-elus dagu layaknya pria hidung belang. "Kau aneh!"

"Tapi, kau suka, 'kan?"

"Kau mau aku panggilkan suamiku?"

Mereka lalu tergelak kompak. Yumna merasa lega, sungguh. Hatinya ringan. Beban di pundaknya seolah terangkat. Segala sesak dan muak yang sempat menghantuinya perlahan menguap.

"Terima kasih karena telah kembali dan membuatku tertawa lagi," ujarnya tulus.

Yasril tersenyum simpul. "Apa pun untukmu. Dulu, sekarang, bahkan di masa depan, aku selalu peduli padamu, ingat?"

Yumna mengambil tangan kanan Yasril, menggenggamnya kuat. Rasa haru menyeruak dalam dada. "Aku tahu ini egois, tapi ..., apa boleh jika kita bersahabat lagi?"

"Oh? Sekarang, kau mencoba merayuku? Kau belajar dari mana, eh?"

"Aku serius!"

"Ya, ya, aku paham. Kita adalah sahabat, walau hubungan kita tak bisa seperti dulu lagi. Selain karena berbeda lokasi, kau sekarang punya penjaga. Dan aku yakin, dia akan segera ke sini kalau kau tak melepaskan genggamanmu. Kalau-kalau kau lupa, dia mengawasi di ujung sana."

Yumna mengerjap, mendadak salah tingkah. Dia buru-buru melepaskan pemuda itu.

Yasril memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Menahan diri untuk tidak melakukan kontak fisik dalam bentuk apa pun. Yumna sudah menikah, pikirnya berulang.

"Aku berharap kita masih terus berbincang. Namun, matahari makin brutal, aku mulai lapar dan gerah. Sebaiknya kita akhiri saja. Sini, aku antarkan kau ke sana."

Yasril memutuskan untuk berhenti. Dia tidak yakin bisa mengontrol diri lebih lama bila mereka tetap berduaan. Sejak awal berhadapan, dia susah payah menahan keinginannya untuk memeluk gadis ini.

Yumna mengangguk. Mereka melangkah berdampingan. Tak jauh dari sana, tampaknya Yafiq telah lama menunggu. Terbukti, ketika mereka mencapai deretan bangku, Yafiq langsung bangkit, dan menarik Yumna di sisinya.

"Kau tidak apa-apa?" kata Yafiq sambil mengelus pipi sang istri.

Yasril berdehem keras. "Terima kasih atas waktunya, Bang."

"Masalah kalian sudah beres?"

Yasril mengangguk. "Aku turut bahagia atas pernikahan kalian. Sampai jumpa di lain waktu. Aku permisi," ucapnya, tak berniat berlama-lama di sana. Dia harus segera pergi sebelum ekspresinya berubah menyedihkan.

"Yasril!"

Pemuda itu berhenti sesaat, menoleh ke belakang. "Ya?"

"Mulai sekarang, aku yang bertugas melindunginya! Semoga kau segera menemukan pendamping!"

Jangan ganggu istriku, kira-kira begitu makna tersembunyi yang ditangkap Yasril.

Pemuda itu mendengus tipis. Setiap laki-laki memang punya naluri untuk mendeteksi bahaya berkaitan dengan pasangannya. Mungkin Yafiq merasakan adanya ancaman, padahal Yasril tak punya niatan buruk.

Baiklah. Wajar. Memang sepantasnya begini.

Yasril melanjutkan langkah. Dia mendesah panjang.

Masa lalu mereka hanya tinggal kenangan. Tak ada masa depan sebagaimana yang telah direncanakan. Semuanya telah usai.

Dia harus melanjutkan mimpi-mimpinya, sendirian tanpa menghadirkan Yumna di sisi.

"Sahabat selamanya, ya?" gumam Yasril getir.

-Bersambung.

6 Juli 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top