Perjumpaan Usai Perpisahan

Lelaki itu cukup terkesima saat memandang hotel megah di hadapannya. Tampak menonjol di antara deretan gedung tinggi. Ditemani lampu-lampu kota sehingga semakin berkilauan.

Ternyata kabar tentang kekayaan suami Yusra bukan sekadar isapan jempol belaka. Sebelumnya, dia tidak bisa menghadiri resepsi di rumah mempelai wanita. Yusra lalu mengirimkan undangan resepsi dari keluarga mempelai pria. Kebetulan sekarang mereka sedang tinggal di wilayah yang sama.

Lelaki itu, Yafiq, tengah merantau di Jakarta. Melanjutkan studi demi meraih gelar Sp.OG di salah satu kampus ternama negeri ini.

Insiden keguguran yang pernah dialami istrinya dulu, semakin memantapkan niat untuk mengambil spesialis di bidang Obstetri dan Ginekologi. Luka di hati pun berangsur memudar. Hingga kini, dia merasa sudah siap jika sewaktu-waktu bertemu dengan wanita masa lalunya tanpa sengaja.

Yafiq menarik napas sekali lagi. Udara malam sedikit menusuk kulit. Kebanyakan tamu datang membawa gandengan. Sepertinya hanya dia yang sendirian.

Tanpa menunda lebih lama, Yafiq segera memperlihatkan undangan kepada petugas keamanan. Dengan percaya diri, dia mendekati hotel itu.

Namun, langkahnya terhenti ketika melewati pintu masuk. Rasanya sedikit canggung karena harus ke sana-kemari seorang diri. Yafiq memutar pandangan guna memindai sekitar.

Venue pernikahan ini lebih mengagumkan daripada yang dia kira. Semua tamu undangan juga tampak berkelas. Andai harta bisa mewakili seluruh kehidupan, Yusra tentu tak butuh apa-apa lagi.

Yafiq tersenyum tipis. Turut berbahagia untuk perempuan itu. Mungkin sebaiknya dia menyalami mempelai terlebih dahulu sebelum menyantap hidangan.

*

Yumna menggenggam tangan sang suami lumayan erat. Terus terang, dia belum terbiasa dengan keramaian. Jantungnya berdegup kencang.

"Mau pulang?"

"Hah?"

"Lebih baik kita pulang kalau kau tidak nyaman."

Yumna menggeleng cepat. "Masih sanggup kuatasi. Lagi pula, kita baru saja tiba."

Yasril berhenti melangkah. Memiringkan tubuh ke kiri, menghadap sang istri. "Salaman sama mempelai, terus pulang?"

"Tidak ada orang yang ingin kau sapa di sini?"

Dia yakin pasti banyak teman kuliah maupun rekan kerja Raza yang diundang. Itu artinya termasuk circle Yasril juga.

Sudah waktunya Yumna berhenti membatasi diri. Setelah berdamai dengan masa lalu, tekadnya untuk sembuh semakin kuat. Dia akan berusaha walau harus tertatih. Ada Yasril, juga keluarga yang siap mendukung.

"Kak, Abang, ayo jalan, kenapa berhenti?"

Yumna meringis karena sesaat telah melupakan keberadaan Zaki. Pemuda tanggung itu mengekori mereka sejak berangkat dari apartemen. Sementara mamak dan bapak sibuk mendampingi Yusra.

"Lapar, Dek?"

Zaki cengengesan begitu mendengar gurauan Yasril. "Kita makan dulu?"

Tanpa membuang waktu, mereka segera meluncur ke titik perjamuan. Empat buah kursi melingkari setiap meja berbentuk bundar. Aneka hidangan ditata sedemikian apik. Tampak menggiurkan, seolah memanggil para tamu untuk mencicipinya.

*

"Terima kasih sudah datang, Kak."

Yafiq memekarkan senyuman. "Harusnya aku yang berterima kasih karena kau berkenan mengundangku."

Yusra sangat cantik dengan gaun bernuansa putih. Kebahagiaan terlukis jelas di wajahnya. Terlihat cocok dengan sang mempelai pria.

"Sendirian?"

"Begitulah," tutur Yafiq, lalu segera menyalami para tuan acara. Ketika berhadapan dengan Pak Yahya, mantan mertuanya, dia serta-merta menerima pelukan hangat.

"Lama tak jumpa, Nak."

Yafiq membalas pelukan tersebut. Merasa bersyukur karena sikap pria paruh baya ini tak berubah. Awalnya sedikit canggung, namun perlahan berangsur membaik.

"Bagaimana kabarmu?"

"Sehat-sehat, alhamdulillah. Bapak dan keluarga?"

"Seperti yang kau lihat. Kami semua sehat."

Yafiq mengangguk singkat sembari pamit undur diri. Sadar telah membuat tamu lain mengantre. Dia meninggalkan pelaminan dan memutar haluan menuju titik perjamuan.

Dia segera memutar otak. Aneh sekali jika makan seorang diri di meja seluas itu. Apa dia harus mencari kenalan dadakan?

Tidak, ide tersebut justru jauh lebih konyol. Dia pun mengitarkan pandangan sekali lagi. Langkahnya dibuat sepelan mungkin.

Terus terang, Yafiq berharap menemukan satu atau dua orang yang dikenalnya. Mengingat ini pesta pernikahan Yusra, besar kemungkinan Yumna dan Yasril turut hadir.

Dia sebenarnya mengharapkan perjumpaan tanpa sengaja. Namun, tampaknya unsur kebetulan tidak merestui keinginan tersebut. Kalau begitu, dia sendiri yang harus inisiatif mencari.

Seramai apa pun situasi saat ini, pasti akan ada jalan jika mereka memang ditakdirkan bertemu kembali. Bukan apa-apa, dia hanya teringat dengan surat Yumna beberapa waktu lalu. Yafiq cukup penasaran terhadap kondisi sang mantan kini.

Rasa bersalah masih tersisa di dada. Sampai Yafiq bisa memastikan Yumna berada dalam kondisi terbaik, agaknya perasaan ini sulit untuk dimusnahkan. Dia hanya ingin membuat semuanya jelas, tidak lebih.

*

Yumna memutar bola mata ketika mendapati Zaki mengambil lauk cukup banyak. "Hei, jangan bikin malu."

Yasril sontak menyentuh bahu sang istri, memberi isyarat agar diam saja. "Biasalah, namanya juga masa pertumbuhan."

"Benar, Bang. Kak Yumna protes terus dari tadi. Bilang kalau mau. Apa perlu saya yang ambilkan?"

Yumna menyipitkan mata saat mendengar cara bicara si bungsu. "Dari mana kau belajar bicara model begitu?"

"Kakak sama Abang," sahut Zaki polos. Tak ayal, membuat pasangan suami istri itu mendengus kecil.

"Kau terlalu menuruti keinginannya," bisik Yumna di dekat telinga sang suami.

"Tak apa, bikin orang lain senang bisa jadi pahala."

"Sejak kapan kau peduli soal pahala dan dosa?"

"Hm, maksud kau?"

Yumna terkekeh amat tipis. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak bercanda tanpa juntrungan semacam ini. Ada desir hangat yang diam-diam merasuk ke dalam dada.

Mungkin, mungkin saja, kehidupan mereka bisa berangsur normal. Perlahan tapi pasti, Yumna akan mengembalikan hari-hari bermakna yang pernah melingkupi mereka berpuluh tahun silam. Bukan masalah walau tak sepenuhnya sama.

Hidup memang begini, amat dinamis. Terus berkembang seiring waktu berlalu. Namun, paling tidak Yumna berharap mampu memudarkan luka yang pernah hadir di hati sang lelaki karena kebodohannya.

"Yas?"

Lelaki itu menoleh ke kiri sambil tetap mengunyah. Menatap Yumna penuh perhatian. "Ya?"

"Kau tahu kan, kalau aku ..., sayang padamu?"

Yasril tersedak kecil. Buru-buru menyeruput minuman. Dia lantas berdehem beberapa kali. "Kenapa tiba-tiba? Kau ada masalah? Kau butuh sesuatu?"

Yumna meringis. Respon yang tidak terlalu mengejutkan. Wajar saja bila mengingat sikapnya selama ini. Yasril pasti menduga dia sedang tidak baik-baik saja. "Tidak, tidak, aku oke. Aku hanya merasa, uhm, perlu mengatakan isi hatiku padamu lebih sering?"

Yasril menyorot penuh selidik. Namun, ketika tak mendapati kebohongan dari raut wajah Yumna, dia pun memutuskan untuk percaya. "Terima kasih."

"Kenapa kau berterima kasih?"

Yasril lantas menopang dagu, menatap lamat-lamat tepat ke bola mata Yumna. Serta-merta membuat perempuan itu salah tingkah.

"Apa?"

"Terima kasih karena sudah menyayangiku. Namun, kau harus tahu, perasaanku selalu lebih besar darimu."

"Astaga, lebay!" Tentu, yang menyahut demikian bukan Yumna, melainkan Zaki. "Memangnya kalian lagi syuting drama?"

Pasangan itu menoleh ke arah si bungsu bersamaan. "Bocah mana paham."

Zaki sontak bersungut-sungut. Aksi saling ledek mereka terus berlanjut hingga seseorang datang menginterupsi. Tak pelak, membuat mereka terkejut.

"Bang Yafiq?!" Zaki yang bereaksi lebih dulu.

"Halo, Zak. Em, maaf mengganggu kesenangan kalian, boleh gabung di sini? Tidak ada orang lain yang aku kenal."

Seluruh pasang mata segera tertuju ke arah Yumna. Seolah sama-sama sepakat bahwa keputusan terletak padanya. Lebih dari siapa pun, kemungkinan besar perempuan itu yang paling merasa tidak nyaman.

Raut Yumna mendadak berubah. Keceriaan di wajahnya tadi lenyap seketika. Kehadiran Yafiq terlalu tiba-tiba. Dia sama sekali belum siap menghadapi lelaki ini.

Namun, usapan di punggung tangannya berhasil mengalirkan ketenangan. Yumna melirik sekilas, lalu disambut segaris senyum simpul oleh Yasril.

Ah, kenapa harus begini khawatir? Bukankah dia tak sendiri?

Lagi pula, dalam surat terakhirnya kala itu, dia sudah merelakan masa lalu bersama Yafiq. Bahkan, turut mendoakan kebahagiaan sang mantan. Sesuai tekadnya, Yumna ingin berbenah.

Dan hubungan dengan Yafiq, adalah salah satu aspek yang perlu diperbaiki. Bukan untuk kembali, melainkan belajar menerima setiap duka. Bagaimanapun juga, mereka pernah berbagi kisah yang sama.

"Si-silakan," cicit Yumna.

"Terima kasih."

"Kenapa Abang bisa ada di sini?"

"Lanjut studi spesialis di kota ini. Terus, dapat undangan dari kakakmu."

Zaki mengangguk-angguk, tak lagi bicara. Dia kembali menyantap makanan. Pura-pura abai terhadap aura aneh di antara tiga orang dewasa yang bersamanya.

"Sudah lama di Jakarta, Bang?" tukas Yasril.

"Belum cukup satu tahun. Kalian ... apa kabar?" sahut Yafiq sambil melirik satu-satunya perempuan di sana.

Rasanya beruntung bisa menemukan rombongan ini di tengah keramaian. Tanpa pikir panjang, dia langsung mendekat. Respon Yumna tak jauh berbeda dengan perkiraan. Namun, syukurlah tidak terjadi penolakan.

Yafiq sebenarnya sudah mampu menebak kabar mantan istirnya itu dalam sekali pandang. Ekspresi Yumna terlihat lebih cerah dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Hanya saja, dia ingin memastikan langsung lewat lisannya.

"Baik, alhamdulillah, kami oke. Bagaimana dengan Kakak?"

Dan demi apa pun, itu adalah kalimat paling melegakan yang pernah Yafiq dengar.

Lebih dari sekadar basa-basi, pertanyaan klise tersebut merupakan sebentuk perdamaian bagi mereka.

Dengan ini, tuntas sudah salah satu sumber kemelut yang kerap menggerogoti dada.

Baik Yafiq maupun Yumna, masing-masing telah belajar makna kerelaan.

Tiga tahun pernikahan mereka cukuplah jadi pelajaran, bahwa setiap manusia berhak menentukan arah hidup sendiri. Sebuah rumah tangga akan tetap kokoh selama memiliki kebebasan. Tatkala intervensi pihak lain dipaksa masuk, maka hanya soal waktu sebelum menyambut datangnya keruntuhan.

Siapa yang mengira, setelah berpisah, mereka justru sama-sama merasa jauh lebih bahagia.

Benarlah apa kata sang bijak, waktu adalah obat terbaik yang bisa diperoleh manusia secara gratis.

-TAMAT-

13 April 2021
Sang Pemangku Kegagalan
a story by Umul Amalia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top