Pemuda Penuh Kejutan

"Brengsek!"

Yasril tersentak. Serta-merta memandangi ponselnya aneh. Dia menekan tombol speaker.

"Akhirnya lo angkat telepon."

Pemuda itu memijat pelipisnya. Bangkit dari ranjang. Sepulang dari rumah Yumna, dia langsung memutuskan untuk tidur.

Istirahatnya terganggu karena ponsel terus berbunyi. Ingin hati tak merespon, tetapi khawatir ada informasi penting. Ternyata kata pertama yang terdengar malah umpatan.

"Gue baru bangun. Kenapa, sih?" sahutnya serak. Dia menelungkupkan ponsel di atas nakas. Beralih mengambil air mineral kemasan.

"Apa maksud lo ngomong gitu ke Kania?"

Yasril mendesis. Yang benar saja! Kafka menghubunginya hanya untuk mengonfrontasi perihal Kania?

"Dia cerita apa aja?"

"Semuanya."

"Gitu? Sengaja emang, biar dia mundur."

Kafka mendengus keras. "Gimana kalau dia setuju?"

"Nggak mungkin. Kania cewek cerdas dan punya harga diri tinggi. Lo juga tau itu. Dia nggak bakalan ngorbanin hidupnya buat hubungan yang jelas-jelas cuma bikin hancur."

"Cara lo kelewatan."

Yasril berdiri, melepas pakaian atasnya. Memperlihatkan postur tubuh terlatih. "Gue mau mandi. Nanti aja ngobrolnya."

"Yas, gue pikir, Raza dan gue udah paling brengsek soal cewek. Tapi ternyata, lo lebih parah. Yang kita bahas ini hati manusia, bukan kucing, lho."

Yasril meraih handuknya. "Ya udah, terus lo mau gue gimana?"

Kafka spontan memaki. Menyebut salah satu penghuni kebun binatang. "Bisa nggak, lo niat dikit responnya?"

Yasril mendesah pelan. Sadar sikapnya terlampau santai. Nyatanya, saat ini dia memang tak punya hasrat untuk mengurusi perihal lain. Yumna mengambil alih seluruh perhatiannya.

"Sorry, gue ada masalah di kampung."

"Lo lagi bahas perempuan itu?"

"Namanya Yumna."

"Shit, sekece apa, sih, si Yumna-Yumna itu sampai bikin lo kayak gini? Lo ngelepasin Kania, ninggalin kerjaan, cuma gara-gara dia?! Nggak pernah pacaran, sekalinya bucin auto bego! Sadar, oi! Lo serius ngejar-ngejar janda?"

Rahang Yasril sontak sekaku karang. Dia meraih ponsel dan menggenggamnya kuat. "Gue tutup kalau mulut lo nggak tau adab."

Hening.

"Kerjaan bisa gue tangani via online untuk sementara. Klien gue nggak rewel. Urusan Kania gue anggap tuntas. Nggak ada hubungannya sama Yumna. Kalian nggak tau apa-apa. Jangan asal ngomong," lanjutnya, lalu memutus sambungan.

Yasril duduk di tepi kasur, tertunduk. Termenung agak lama. Emosinya bergejolak mendengar komentar sok tahu tentang dirinya dan Yumna.

Tak seorang pun berhak menghakimi. Dialah pengendali mutlak atas pilihan hidupnya. Yasril yang akan menanggung konsekuensi.

Pemuda itu mendongak. Pandangannya menerawang. Keyakinannya untuk membawa Yumna kian mantap.

Yasril bangkit, berjalan menuju kamar mandi. Dia harus dalam kondisi segar untuk menghadapi keluarganya. Biar bagaimana pun, rencananya mungkin sulit diterima oleh mereka.

Yasril telah siap tiga puluh menit kemudian. Dia melangkah ke luar ruangan, hendak menemui orang tuanya.

"Nak, makan dulu."

Senyumnya merekah. Mamak langsung menyambut begitu dia muncul di dapur. "Bapak di mana?"

"Di bengkel. Bahas kerjaan sama Amzar. Kau duduklah dulu biar Mamak ambilkan makanan."

"Tidak usah, Mak. Aku ambil sendiri. Mamak lagi bikin apa?"

"Sambal goreng untuk kau bawa ke Jakarta. Katanya, kau kangen masakan Mamak."

Yasril menyengir sembari tetap berjalan ke sana-kemari, mengambil nasi dan lauk yang ditempatkan terpisah. "Airin, Mak?"

"Belajar kelompok di rumah temannya."

Yasril menarik kursi. "Minggu siang begini?"

"Kau tahu sendiri, sebentar lagi dia UN. Airin pengen kuliah di kampusmu."

Yasril manggut-manggut. "Bukan cuma cari-cari alasan, ya, Mak?"

"Memangnya kau?!"

Yasril terkekeh. Teringat kenangan masa kecil. Sewaktu SD, dia sering memakai alasan belajar agar diizinkan ke rumah teman-temannya. Dia tidak berdusta. Mereka memang belajar sebentar, lalu bermain seharian penuh.

Yasril mengunyah perlahan seraya memandangi gerakan lincah mamaknya. Hatinya menghangat seketika. Diliputi keharuan.

Wanita itu ..., meski anak-anaknya telah dewasa, kasih sayangnya tidak pernah berkurang.

"Mak," panggil Yasril takzim.

"Ya?"

"Jika diberi kesempatan untuk mewujudkan sesuatu, apa yang paling Mamak inginkan?"

Mamak mendongak. "Melihat kau berkeluarga seperti kedua abangmu," jawabnya kalem.

Yasril bergeming.

Orang tuanya tidak pernah secara ketat mencampuri urusan anak. Mereka memberikan kebebasan untuk menentukan jalan hidup. Bahkan dulu, ketika Amzar memilih masuk SMK dan enggan kuliah karena berencana meneruskan usaha mebel bapak, mereka tak keberatan.

Terus terang, gaya pengasuhan semacam itu, kadang menghadirkan ketakutan tersendiri. Dia baru sadar seiring usianya bertambah. Yasril khawatir keputusannya mengecewakan mereka.

"Kau jarang membahas masalah perempuan. Bukannya Mamak mau ikut campur, tapi, pergaulanmu di Jakarta ... aman, 'kan?"

Yasril mengernyit samar. "Defenisi aman?"

Wanita itu terlihat gelagapan. "Eh ..., apa, ya, Mamak banyak baca berita aneh-aneh belakangan ini."

"Aneh-aneh?"

"Apa istilahnya? Itu lho, yang doyan sesama jenis."

Yasril tersedak. Batuknya cukup keras hingga membuat Mamak panik. Pemuda itu menutup mulutnya.

"Kau tak apa?" Mamak sigap menyerongkan gelas berisi air.

Yasril minum dengan rakus. Lalu membanting gelas di atas meja. Ekspresinya tampak shock. Dia menghela napas dalam-dalam. "Astaga, Mamak juga?"

Mamak kembali ke tempat semula. "Cuma memastikan, Nak. Jangan tersinggung," ungkapnya sambil menyengir bersalah.

Yasril nyaris memutar bola mata bila tak ingat siapa lawan bicaranya. Bahaya, pikirnya. Dia sudah biasa menerima ejekan tentang orientasi seksualnya. Siapa sangka, mamaknya termasuk dalam golongan tersebut.

Memang benar, Yasril malu mengakui ini, tapi dia pernah beberapa kali mendapat ajakan kencan dari laki-laki. Sungguh, memori yang agak mengerikan. Dia tiba-tiba merinding.

"Mak, apa aku terlihat punya ... kelainan?"

"Hush, pikir dulu baru bicara. Mamak cuma tanya. Jangan jawab aneh-aneh, ah."

Yasril mendesah pelan. Padahal, Mamak yang memulai. Kenapa kesannya dia yang bersalah?

"Ya sudah, bagaimana kriteria menantu Mamak? Biar aku carikan."

Mamak spontan terbahak. "Di mana-mana, orang tua yang harusnya bilang begitu. Kau ini ada-ada saja."

"Aku serius, Mak," sahut Yasril kalem. "Sebenarnya, aku sudah punya calon, tapi takutnya Mamak dan Bapak tidak setuju."

"Apaan? Kapan kami pernah menghalang-halangi keinginan kalian?" tukas Mamak santai. "Omong-omong, berarti kami kenal calonmu itu sampai kau berpikir tidak akan disetujui?"

"Kenal baik. Dulu sering main ke sini."

"Hm ..., Mamak lupa-lupa ingat, tapi kayaknya cuma satu orang cewek yang sering main bareng kamu."

"Iya, itu orangnya."

"Siapa, ya?" gumam Mamak, kemudian bola matanya melebar. Ekspresinya berubah serius. "Yumna?!"

Yasril melepaskan sendok. Menatap sang Mamak lurus, sebelum akhirnya satu anggukan mantap hadir sebagai jawaban.

"Ya Allah!"

Siapa sangka, kata tersebut menjadi pembuka kerumitan-kerumitan baru dalam hidupnya. Tepat setelah Mamak mendapatkan kesadaran, Yasril langsung diberondong beribu pertanyaan. Namun pemuda itu, sebagaimana pembawaannya, menghadapi Mamak amat tenang.

Ketika keputusan telah diambil, pantang bagi Yasril untuk mundur. Bahkan jika harus menghadapi sidang dari keluarganya. Sungguh, dia telah siap.

Pukul empat sore, semua orang berkumpul kecuali Yusuf. Laki-laki itu tidak tinggal di kampung. Profesinya sebagai TNI sering kali memaksanya berpindah lokasi.

Orang tuanya, Amzar, bahkan Airin yang tak tahu apa-apa ikut nimbrung. Yasril menduga, gadis itu cuma memenuhi hasrat penasaran. Jarang-jarang keluarga mereka berkumpul diliputi aura misterius begini.

Bapak berdehem, sebagai kepala keluarga, dia merasa bertugas menormalkan suasana.

"Secara garis besar, kami, Bapak dan abangmu, sudah dengar cerita dari Mamak. Kau berencana menikahi Yumna setelah masa iddah-nya selesai, benar?"

"Benar, Pak."

"Kau ingin membawanya ke Jakarta setelah kalian menikah?"

"Iya, Pak."

"Tidak peduli apa pun statusnya, kau menyukai Yumna sejak kecil, begitu? Dia bahkan menjadi alasanmu pulkam saat ini. Bukan karena rindu keluarga, eh?"

"Iya dan tidak, Pak. Benar aku menyukai Yumna sejak kecil, tapi dia bukan semata-mata alasanku untuk pulkam. Aku juga kangen rumah, lho." Yasril menahan senyum. Entah kenapa perkumpulan ini terasa menggelitik.

Bapak menatapnya jenaka, ekspresi Mamak serius bukan main, Amzar memandangnya seolah dirinya orang paling absurd di muka bumi, dan Airin memasang tampang polos.

"Memangnya Yumna mau padamu? Dia baru saja berpisah, kau langsung berencana melamarnya? Sinting, ya?!" seloroh Amzar tak sabaran, menyuarakan kekesalan.

"Bang Amzar, ih, kosa katanya diperhatikan."

"Diam kau bocah!"

Airin langsung tutup mulut sambil sedikit mendelik.

"Pasti mau. Mana ada perempuan yang tidak luluh padaku?" sahut Yasril pongah.

Sejujurnya, dia hanya berusaha menutupi kenyataan. Bukan perkara mudah menceritakan strategi sebenarnya pada orang lain, terutama Yumna.

Khawatir bila rencananya tak berjalan mulus dan berakhir makin membebani Yumna. Biar dirinya yang bersusah payah, perempuan itu cukup menunggu.

"Begini, Nak, kau tidak memikirkan pendapat warga? Bisa-bisa kalian dituduh main api, makanya Yumna dicerai suaminya. Topik tentang mereka sedang senter di kalangan masyarakat. Kau pasti ikut disorot jika terlibat."

"Benar apa kata mamakmu, kami tidak berniat melarang, melainkan memberi pertimbangan selaku orang tuamu. Apalagi, ada kabar kalau mentalnya ... agak terganggu."

Yasril tersenyum. Beban di pundaknya sedikit terangkat. Artinya, orang tuanya hanya butuh diyakinkan.

Dia sudah hafal tentang desas-desus yang beredar. Dugaannya, Yumna ingin meninggalkan desa karena lelah terus menjadi buah bibir.

Mungkin tak ada salahnya membocorkan rencana kepada keluarganya. Berharap mereka bersedia membantu.

"Pertama, aku punya kenalan yang bisa mendampingi Yumna mengurus perceraian secara resmi. Sambil menunggu masa iddah-nya selesai, aku tetap di Jakarta. Menyiapkan tempat tinggal kami, sekaligus mencari tenaga profesional untuk penyembuhan Yumna. Selanjutnya, setelah semua terkondisikan dengan baik, aku akan pulkam lagi. Kami bisa menikah secara diam-diam."

"Nikah siri?!" Amzar nyolot sekali lagi.

"Maksudku, cukup kedua keluarga yang terlibat. Tak usah ramai-ramai. Nanti kalau rumor mereda dan Yumna siap, baru sebar berita."

"Oke, terus? Kau pikir Yumna bisa teleportasi untuk ke Jakarta? Kau tidak berpikir bahwa orang akan bertanya-tanya saat kau menuntun Yumna ke luar dari rumahnya sambil bawa segudang pakaian, begitu? Atau kau berencana membelikan barang-barang baru setiba di Jakarta?"

Yasril tak tahan memutar bola mata. "Warga tidak akan heran jika aku sering main ke rumah Yumna. Aku berteman dengan anak-anak Pak Yahya sedari dulu. Ada pun kekhawatiran Abang itu, gampang. Yusra dan Zaki bisa menemani Yumna ke Kota Provinsi. Kalau-kalau ada warga yang berpapasan di jalan dan bertanya, tinggal jawab saja mau refreshing. Kemudian kami akan bertemu di Bandara. Selesai."

"Ini ceritanya tentang apa? Abang mau bawa kabur anak orang?" timpal Airin polos.

"Heh, enak saja!"

Airin tertawa. "Bercanda, Bang. Aku tahu sedikit ceritanya. Zaki itu adik kelasku dari SD. Kami cukup dekat sampai sekarang."

Yasril mendengus tipis, lalu menoyor kepala Airin. "Anak kecil mau apa nimbrung di sini, hm?"

"Abang paham. Kau rupanya niat sekali sampai punya rencana sedetail ini. Tapi kau melupakan satu hal, bagaimana dengan orang tuanya? Memangnya mereka setuju?"

Senyuman Yasril melebar. Dia menatap bapak dan mamaknya secara bergantian.

"Bapak mencium bau-bau sesuatu," komentar Bapak geli.

Yasril menyeringai. "Kalau sesama orang tua yang bicara, pasti lebih mudah, 'kan? Pakai alasan apa pun, tapi tolong jangan bocorkan rencanaku tadi secara gamblang. Nanti mereka tersinggung dan berprasangka buruk padaku. Semacam perjodohan, mungkin?"

"Tunggu sebentar, bagaimana kalau mereka malah mengajukan kembarannya sebagai calonmu? Dia belum menikah, 'kan?" ujar Mamak. Melihat kesungguhan Yasril, hatinya sukses dibuat luluh.

"Bilang saja, Yasril lebih suka yang berpengalaman."

Mamak sontak memukul lengannya, membuat pemuda itu terkekeh.

"Jika mereka menginginkan pesta?"

Yasril menggeleng. "Yumna pernah menikah. Rasanya agak ganjil bila mengadakan pesta. Aku pikir, untuk pernikahan kedua, orang-orang tidak akan berekspektasi tinggi. Yang penting sah," tuturnya mantap, sebelum sebuah kesadaran besar merasuki kalbu.

"Begitu?" timpal Mamak.

Yasril beringsut mendekati orang tuanya. Mengambil tangan mereka satu per satu, menciumnya secara bergantian. Tingkah tersebut sukses mengundang kebingungan.

"Mak, Pak, mohon restunya, ya. Keputusanku kali ini mungkin akan menyeret nama Mamak dan Bapak. Jika kelak rumor buruk yang beredar, aku benar-benar minta maaf."

"Baru sadar?" komentar Amzar sinis.

"Sudah, sudah. Manusia memang begitu, Nak. Kita dan masyarakat adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Santai saja. Selama yang kalian lakukan tidak melanggar norma, itu sudah cukup bagi kami." Bapak menepuk pundak Yasril.

"Mamak sepakat dengan pendapat Bapak. Asal kau sanggup menerima segala konsekuensinya, silakan saja."

"Terima kasih, Mak, Pak."

"Dasar anak ini! Calon tunggal, huh?"

Yasril menoleh ke kanan. "Maksud Abang?"

"Kau pikir, Abang tidak tahu kau punya buku harian?"

Yasril terbelalak. "Abang pernah masuk ke kamarku diam-diam?!"

"Ya, sudah sangat lama. Abang mau pinjam barang waktu itu. Terus bongkar-bongkar lemari, eh malah ketemu buku tebal usang. Iseng baca." Amzar menyeringai lebar. "Hm ..., coba Abang ingat-ingat. Kayaknya separuh isinya tentang Yumna."

Semua mata tertuju pada Yasril. Pemuda itu gelagapan.

"Ada satu cerita yang paling Abang ingat."

"Apa, apa? Aku mau baca juga!" seru Airin antusias.

"Kalian pasti tidak tahu," Amzar menggantung omongannya, "Yumna ..., aktris dalam mimpi basah pertama Yas."

Mamak dan Bapak menyorot geli. Airin menjerit kesenangan. Amzar terbahak puas.

Muka Yasril langsung merah padam hingga merambat ke leher dan telinga. Tak sanggup berkata-kata. Satu senyuman kecut muncul sebagai penutup.

-Bersambung.

Fun fact.

Agak kedistrak sama respon Yas di bagian akhir. Hampir aja aku munculin scene Yas ngomong gini setelah aibnya dibongkar Amzar, "Abang ...!"

Terus aku nyadar, lah, itu respon cewek (biasanya sambil mukul2 kaan). Masa Yas yang kalau diam kelihatan cool, bereaksi kayak gitu? 😂

Akhirnya aku mikir-mikir lagi, reaksi dia cocoknya kayak gimana, ya? Soalnya aku agak susah sih menempatkan diri sebagai 'cowok'. Dan teringatlah sama adikku. Dia kalau aibnya kebongkar cuma senyum kecut sambil mukanya merah2. Hahah.

-Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top