Pemuda Brengsek vs. Gadis Ular
Yasril menyaksikan semuanya dari kejauhan. Dia terpaku. Bibirnya mengatup rapat. Pandangannya nanar.
Di sana, di pelaminan, Yafiq sedang menunjukkan afeksi. Dia mengambilkan air minum untuk Yumna. Mengusap keringatnya. Mungkin Yumna kelelahan. Gadis itu tampak linglung.
Hatinya mencelus. Geliat tak nyaman menyusup ke dalam dada. Yasril kecewa.
Yasril tahu diri, tidak sepantasnya dia merasa demikian.
Yumna tidak ingkar janji. Mereka tidak pacaran. Yafiq yang tiba-tiba melamar Yumna. Begitu informasi yang dia dengar dari abangnya.
Wajar bila Yumna luluh. Yafiq punya banyak kelebihan. Meski berat untuk diakui, tetapi laki-laki itu telah mapan. Memenuhi apa yang dibutuhkan setiap perempuan.
Sedang dirinya, sewa apartemen saja masih dibantu orang tua. Gelar advokat belum juga dia dapatkan. Kalah jauh.
Akan tetapi ..., saat menyadari ada cincin tersemat di jari manis Yumna, bagaimana seseorang - yang bukan dirinya, begitu sigap menolong Yumna, dadanya terasa kian sesak.
Semua pemandangan itu, seolah menegaskan bahwa janji masa remaja mereka, hanya tinggal kenangan.
"Hei, kau terlihat sangat patah hati."
Yasril mendongak. Lalu menarik napas kuat. Ekspresinya sontak berubah datar. Dia membuang muka.
"Waw, sambutan yang sangat tidak bersahabat untuk ukuran teman lama."
Yasril mengernyit samar. Dia menoleh. Menatap gadis yang berdiri di seberang meja bundar.
Yusra, di lehernya tergantung sebuah kamera. Dia mengenakan gaun terusan, yang melekat pas di tubuhnya. Perpaduan warna putih keemasan, dengan tambahan manik-manik, membuatnya semakin berkilau. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai.
"Kau jadi fotografer?"
Yusra tersenyum penuh percaya diri. Dia menarik kursi. Duduk di depan Yasril tanpa permisi. "Ya, apa cocok untukku?"
"Penampilanmu terlalu heboh untuk ukuran fotografer. Hampir-hampir menyaingi pengantin."
"Terima kasih. Aku anggap itu pujian," sahut Yusra santai.
Dia memang sengaja mengambil peran sebagai fotografer dadakan. Daripada larut dalam kegalauan, lebih baik dia mencari kesibukan. Lagi pula, kemampuannya mengambil gambar lumayan baik.
Dulu, semasa kuliah, dia sering hangout bersama teman-temannya. Sayang bila wisata Jogja dianggurkan. Jadi, mengutak-atik kamera bukanlah hal asing.
Ya, walau tidak dapat dimungkiri, rasanya agak menyedihkan saat harus memotret pengantin. Tak apa. Paling tidak, dia bebas memandangi wajah Yafiq dari balik lensa. Anggap saja memanfaatkan kesempatan, sebelum benar-benar terlarang.
Yusra sadar dirinya kadang suka berbuat culas, tetapi dia tidak berminat merebut suami orang. Apalagi, iparnya sendiri. Mengerikan. Nama baiknya bisa-bisa tercoreng.
"Kau sendirian di sini?"
"Hm, jika kau tak menganggap dirimu manusia."
"Ck, kau masih saja sinis. Maksudku, di mana keluargamu? Mereka dapat undangan, bukan?"
"Biar kuingatkan, kalau-kalau kau lupa, aku bukan bocah yang harus datang bersama orang tuaku."
"Lalu pacar, mungkin?"
Yasril mengangkat sebelah alisnya. "Kita tidak terlalu akrab untuk membahas hal pribadi."
Yusra mencebik. Yasril memang menyebalkan. Namun, harus diakui, mengobrol dengannya terasa melegakan.
Dia butuh seseorang yang tidak memandang prihatin. Yusra agak jengah menerima sorot kasihan dari tamu lain. Seolah dunia runtuh, dan hidupnya hancur lebur, hanya karena tidak bersanding dengan Yafiq.
Yasril berbeda. Entah karena tak tahu apa-apa, atau tak peduli. Sepertinya opsi kedua lebih masuk akal. Intinya, di saat-saat seperti ini, mengusik Yasril, adalah pengalihan yang bagus. Jadi, dia memilih meneruskan ocehannya.
"Bilang saja kau jomlo. Dari sikapmu, aku tebak kau patah hati karena ditinggal nikah. Sayang sekali, padahal aku berpikir kalian akan bersanding di pelaminan, lho," ejeknya.
Yasril mendengus. Percis seperti karakter Yusra dalam ingatannya. Suka memprovokasi. "Memangnya kau tidak?"
"Hah?"
Yasril menyeringai tipis. "Zaman amat canggih. Aku sempat mendengar rumor tentang cinta segitiga, kau tahu?"
Yusra pura-pura kaget. Dia menutup mulutnya. "Oh, kau jauh-jauh tinggal di Jakarta, hanya untuk jadi tukang gosip rupanya."
Ekspresi Yasril langsung datar. Berbanding terbalik dengan Yusra, yang justru terkekeh puas.
Lalu hening.
Mereka sama-sama menghela napas panjang. Seteru terjeda sesaat. Pandangan beralih ke pelaminan.
Yafiq lagi-lagi menarik perhatian. Dia bertingkah romantis. Seakan ingin menegaskan kepemilikannya atas Yumna. Yafiq tak malu menyanyikan sebuah lagu, dan suaranya enak didengar.
Yasril mengepalkan tangan tanpa sadar. Dadanya terasa panas. Demi apa pun, dia tak rela.
Kisah bersama Yumna belum usai. Tidak seperti ini. Mereka bahkan belum saling menyapa dengan layak setelah enam tahun terpisah.
Apa mungkin hanya dia yang memendam rindu? Dia satu-satunya yang berharap, bahwa mereka akan berujung sebagai pasangan?
Jika demikian, setidaknya Yasril mau hubungan mereka tetap berjalan. Sebagai teman. Tak mengapa, sungguh. Apa daya, mereka memang tidak berjodoh.
"Hei," panggilnya.
Yusra menoleh. Yasril tersentak. Mata gadis itu memerah, jelas menahan tangis. "Jadi, rumornya benar?"
"Bukan urusanmu."
Yasril mengedik tak acuh. "Berikan aku nomor HP Yumna."
Yusra membenahi posisi duduk. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. "Kau tidak tahu? Kupikir kalian bersahabat. Aneh, padahal kau menyimpan nomorku. Ya, walau sebatas viewers WhatsApp story."
"Jangan banyak tanya." Yasril mengeluarkan handphone dari saku celana.
"Tidak, sebelum kau menjawabku."
"Kau sendiri yang menghubungiku pas SMA, ingat? Sedang Yumna, sudah lama kami tidak berkomunikasi. Siklus alami pertemanan, kurasa. Dia juga ganti nomor, 'kan? Semacam itulah."
Yusra mengangguk-angguk. Dia memang pernah menitip dibelikan buku persiapan UN dan tes masuk kampus di Kota Provinsi. Persediaan toko buku di sana lebih lengkap. "Aku tersanjung kau masih menyimpannya. Kupikir, kau membenciku."
"Apa kau menghapus setiap kontak orang yang kau benci? Tindakan yang sangat sesuai usiamu." Sarkasme.
Yusra tak ambil pusing. "Sejak kapan kalian putus komunikasi?"
"Kau terlalu kepo."
"Ya sudah, minta ke orang tua kami kalau kau mau. Oh, atau Kak Yafiq sekalian."
Yasril mendebas. Inilah alasannya malas berurusan dengan Yusra. Minta ke orang tua si kembar, bukanlah pilihan baik. Mereka tentu akan bertanya-tanya. Menambah perkara.
"Mungkin awal tahun kedua kuliah. Cepat berikan nomornya!"
"Kau yakin? Kebetulan sekali. Apa kalian ada masalah?"
"Apa maksudmu?"
"Saat itu, Yumna juga memutuskan untuk tidak pulkam sebelum wisuda. Sayang, kuliahnya molor. Dia baru kembali setahun yang lalu."
"Kenapa bisa? Maksudku, hei, Yumna jago di bidang olahraga. Dia pasti menikmati pendidikannya."
"Bicara apa kau ini? Yumna kuliah di jurusan Akutansi."
Yasril terperangah. Bola matanya membulat. Dia kehilangan kata-kata.
"Dari ekspresimu, sepertinya kau tak tahu apa-apa. Jadi, persahabatan kalian hanya sampai SMA, eh?" ejek Yusra. "Lalu sekarang kau meminta nomornya? Untuk apa? Kau berencana mengganggu istri orang?"
"Kenapa?" bisik Yasril lirih. Dia masih shock.
"Bukan hal penting untuk dibahas."
Yusra bersiap bangkit, tetapi gerakan Yasril lebih cepat. Dia menahan tangan Yusra di atas meja. "Ceritakan lebih lengkap," pintanya.
"Woah, ini pertama kalinya aku melihatmu memohon. Ck, ck, kau benar-benar jatuh cinta padanya, ya?"
"Yusra ...," bisik Yasril rendah, sambil menautkan jemari mereka, disertai tatapan menghanyutkan.
Yusra jadi salah tingkah. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Sadar mereka mulai menarik perhatian beberapa orang, dia berusaha memisahkan diri, tetapi Yasril makin kuat menggenggamnya.
"Iya-iya! Lepaskan dulu," gumamnya tak kalah lirih.
"Tidak banyak yang berubah dariku. Aku masih senekat dulu. Kau mau kuingatkan masa lalu?" Yasril mulai menyusuri punggung tangan Yusra, berhenti sesaat di pergelangan tangannya.
"Kurang ajar! Aku bisa melaporkanmu atas tuduhan pelecehan," desis Yusra.
"Aku baru tahu kalau tindakan pelecehan bisa membuat pipi seorang gadis bersemu."
Yusra memelotot. "Oke, kau menang, puas?"
Yasril mengangguk, lalu menjauhkan tangan. Dia bersedekap.
Yusra berdehem. Kenapa susah sekali melawan laki-laki ini?
Dulu ataupun sekarang, Yusra tak sanggup berkutik di bawah tatapan menghanyutkan Yasril.
Setiap kali dia mengusik ketenangan Yumna, baik di sekolah maupun rumahnya, jika ada Yasril di momen tersebut, maka pemuda itu akan menatapnya dalam-dalam. Membuatnya merasa diawasi.
Kemudian tubuhnya akan kaku secara otomatis, sebelum akhirnya salah tingkah sendiri. Disusul jantung berdebar, dan darah berdesir.
Betapa sial, Yasril tampaknya menyadari fakta tersebut, dan menjadikannya senjata untuk mengintimidasi Yusra. Kurang ajar, memang.
Dan bodohnya, Yusra masih saja terpengaruh, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.
"Halo, aku tidak di sini untuk menyaksikan ekspresi konyolmu."
Lihat? Yasril adalah defenisi mutlak dari permuda brengsek, versi Yusra. Aneh, dia justru berhasil memancing rasa penasaran, sekaligus menyuburkan dendam. Yusra ingin menaklukan Yasril, lalu membuangnya seperti sampah.
"Harus ada pertukaran," tukas Yusra seraya berdiri. Sengaja menjaga jarak.
"Hm?"
"Ajak aku jalan-jalan akhir pekan ini."
Yasril menengadah, menyorot malas. "Aku tidak punya waktu meladeni kegialaanmu."
Yusra mengedik. "Kalau begitu, silakan cari tahu sendiri. Aku masih ada kerjaan," sahutnya enteng.
"Hei! Besok tanggal merah. Aku harus balik ke Jakarta lusa. Kau yang tentukan tempatnya."
Yusra tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Nanti aku hubungi. Bye. Aku harus kembali bertugas. Kalau kau sudah makan, pulang sana. Kau mengakuisisi kursi untuk tamu lain!"
Yasril memandangi punggung Yusra yang perlahan menjauh. Dasar sialan. Apa yang gadis ular itu rencanakan?
-Bersambung.
Yasril x Yusra kayaknya boleh juga, tuh? 🙄
24 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top