Pelukan Pertama
Hai, bukannya aku mau ikut campur, tapi kelakuan kembaranmu sudah keterlaluan. Kau rela melihat Yusra terus mendekati suamimu?
- Erna.
*
Pagi-pagi sekali, Yumna memutuskan bertandang ke rumah orang tuanya sendirian. Yafiq sempat menawarkan diri untuk mengantar, tetapi dia menolak keras. Berusaha berkelit dengan mengatakan bahwa dia tak akan lama.
Semalam sebuah pesan disertai lampiran foto dikirimkan padanya. Foto tersebut menampilkan kebersamaan Yusra dan Yafiq. Yafiq yang sedang menyerahkan kotak makan, mereka duduk berhadapan sambil tertawa, bahkan keduanya yang tampak masuk ke sebuah ruangan.
Yumna sempat berpikir untuk abai. Mereka memang satu instansi, wajar bila sering berinteraksi. Namun, saat melihat kotak makan yang dipegang Yafiq, Yumna mengubah keputusannya.
Bukankah kotak makan berwarna merah itu, merupakan kesayangan Yusra? Dia bahkan melarang siapa pun meminjamnya. Kenapa tiba-tiba ada pada Yafiq?
Kecurigaan Yumna mencuat ke permukaan, maka menemui Yusra adalah pilihan yang tepat.
*
Terima kasih informasinya. Perasaanku saja atau kalimat yang kau gunakan memang provokatif? Beginikah cara sahabat-sahabat Yusra membicarakan satu sama lain?
*
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?"
Yumna menyodorkan ponselnya tanpa pikir panjang.
Mereka kini berada di kamar Yusra. Sebelumnya, Yumna telah menghubungi sang kakak untuk bertemu demi mengonfirmasi sesuatu. Syukurlah Yusra tak keberatan.
"Bisa kau jelaskan?"
Yusra mendongak. "Bagian mana yang harus kujelaskan?"
"Menurutmu?"
Yusra mencebik pelan. "Kau tidak marah?"
Yumna menyorot malas. "Kau mau aku caci-maki?"
"Ck, kebiasaan. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."
"Aku malas menambah daftar kecemasan dalam hidupku. Jadi, cepat jelaskan kondisi sebenarnya di balik foto itu."
Yusra mendengus tipis. Dia mengembalikan ponsel Yumna. Pandangannya menerawang.
"Hubunganku dan Erna sudah lama memburuk. Dia yang mulai menjauh karena merasa cowok incarannya selalu suka padaku. Tak kusangka dia meminta nomormu dan menjadikan interaksi kami sebagai bahan adu domba. Dua di antaranya tak perlu aku konfirmasi karena itu sesuatu yang umum.
"Kau bukan perempuan posesif yang akan marah saat pasanganmu bercanda dengan rekan kerja, 'kan? Kau juga buka perempuan bodoh yang harus menyelidiki kenapa seorang dokter dan perawat masuk ke ruangan yang sama. Ada pun foto ketiga, aku sengaja membuatkan bekal untuk Kak Yafiq atas namamu."
"Kenapa?" potong Yumna. "Kau mau cari perhatian?"
*
Terserah kau! Semoga kau belum lupa tentang perasaan kembaranmu. Jangan salah, aku tidak punya sahabat sepertinya!
*
"Aku selalu jadi pusat perhatian. Buang pikiran konyolmu tentangku," desis Yusra. "Seharusnya kau berterima kasih karena aku bersedia menolongmu!"
"Menolong dengan cara memperhatikan suami orang lain? Aku kagum!"
Yusra mendelik. Dia mengatupkan mulut rapat-rapat. Berusaha mengendalikan rasa dongkol yang bergejolak dalam dada. Gagal.
"Kau juga suka memakai sarkasme saat berbicara pada suamimu? Hebat! Aku tidak heran jika suatu hari dia ketahuan selingkuh!"
Yumna langsung beringsut maju. Amarahnya meledak. Kepalanya berdenyut-denyut. Dia memegang kerah baju gadis itu kuat-kuat.
Akhi-akhir ini, emosinya tak stabil. Suatu waktu dia bisa merasa bersemangat, sebelum kemudian terpuruk hebat. Dia menjadi mudah marah seiring pengendalian diri yang melemah.
"Jaga ucapanmu," bisiknya rendah. "Jika benar demikian, maka kau yang paling berpotensi jadi selingkuhan."
Yusra memberontak, tapi sial, tenaga Yumna sulit dikalahkan. Padahal, ukuran tubuhnya lebih ideal. "Le-lepas," ucapnya tak ingin mati tercekik.
Yumna menjauh. Rasa bersalah menyelusup ketika mendapati mata Yusra berkaca-kaca. "Maaf."
"Kau gila!" tukas Yusra. Napasnya sedikit terengah.
"Maaf."
"Aku serius, kalau sifatmu terus begini, jangan heran Kak Yafiq meninggalkanmu suatu hari nanti! Kau tidak tahu berapa banyak rekan kerja yang menyukainya, hah? Aku sengaja mendekat untuk menegaskan statusku sebagai ipar! Bahwa mereka tidak boleh berbuat macam-macam karena aku mengawasi!
"Apa kau tahu tentang keluhan mertuamu? Dia menyampaikannya langsung kepada mamak. Aku tidak sengaja mendengar obrolan mereka. Menurutmu ..., apa mungkin Bu Rosidah hanya bercerita pada mamak? Kau yang malas bersosialisasi, suka mengurung diri di kamar, mana mau update informasi di luar?
"Kau pikir, dengan diam di rumah, jarang berkunjung kemari, kau terbebas dari omongan orang? Jangan naif!"
Yumna bergeming. Dia memandang Yusra yang tengah berapi-api. Dadanya terasa disayat. Tak menyangka Bu Rosidah tega membocorkan rahasia rumah tangga mereka.
"Aku sengaja memasak bekal dan menuliskan permintaan maaf. Semua demi menjaga nama baikmu. Sejak berdamai dengan Yasril, Aku ingin memperbaiki hubungan kita. Sayang, kau menutup diri. Aku berusaha semampuku. Lalu kau ..., kau justru membalasku seperti tadi."
Yusra menarik napas berat. Niat baiknya disalahartikan. Rasanya begitu mengecewakan.
"Maaf, a-aku ... argh!"
Yumna tiba-tiba menjerit. Napasnya tercekat. Kesakitan yang mendera hatinya menjalar ke seluruh tubuh. Berkumpul dan berputar di area perut. Dia mengepalkan tangan sangat erat. Sebiji keringat menyembul di dahi.
"Hei, ada apa?" Yusra refleks mendekat. Dia menyentuh bahu sang adik. "Kau sangat pucat!"
"Argh ..., se-sepertinya aku datang bulan," ucapnya lirih ketika menyadari sesuatu mengalir di bagian bawahnya.
Yusra mendengus tipis. "Kau membuatku khawatir. Tunggu sebentar, aku ambilkan air hangat. Kau berbaring dulu di kasur."
Tanpa menunda lama, Yumna segera bangkit. Perutnya seperti ditusuk-tusuk. Lumrah bagi perempuan untuk merasa kepayahan di hari pertama menstruasi, tapi ada yang aneh.
"Tunggu!"
Tangan Yusra berhenti di atas kenop pintu. Sontak menoleh ke belakang. "Apa?"
Yumna menunduk. Mengangkat sisi kanan celana kulotnya. Dia terbeliak. Cairan kental dan merah mengalir di betisnya.
"Astaga!" Yusra berseru kaget. Berbalik menghampiri Yumna lagi. "Kau yakin sedang menstruasi?"
"I-iya," jawab Yumna linglung. "Setelah dua bulan terakhir berhenti."
Yusra memicing. "Maksudmu ..., kau tidak menstruasi selama dua bulan?"
Yumna mengangguk ragu. Dia kembali duduk. "Yus, aku baik-baik saja, 'kan? Aku pernah mengalaminya dulu. Siklusku memang tidak lancar.
Yusra mendesah. Dia membentangkan selimut di atas kasur. "Berbaringlah di sini," perintahnya. "Kau pernah memeriksakan diri ke dokter?"
"Sehat. Dokter cuma memberikan saran agar tidak terlalu banyak pikiran, rajin olahraga, dan menjaga pola makan."
"Oh, begitu? Lalu keanehan apa yang kau rasakan selama dua bulan ini?"
Yumna meringis. Perutnya makin bereaksi. "Maksudmu?"
"Mual? Pusing?" tanyanya tanpa memandang Yumna. Dia sibuk mengutak-atik ponselnya.
"Mungkin pusing saat capek. Aku tidak yakin," sahutnya pelan. "Siapa yang kau coba hubungi?"
"Dokter."
"Kak Yafiq?"
Yusra berdiri. Dia meninggalkan ruangan.
Yumna mendesah berat. Tangannya menyentuh perut. Mungkin karena dua bulan berhenti, makanya darah yang keluar cukup banyak. Walau terasa ganjil, Yumna menolak anggapan bahwa dirinya hamil.
Kata orang, ibu hamil kerap kali mual dan muntah. Dia tak mengalaminya. Perutnya tetap sedikit buncit dan terlihat datar dari luar pakaian. Normal. Ada pun kelabilan emosi, menurutnya karena tekanan yang ada kian menghimpit. Stres menghadapi intervensi Bu Rosidah.
"Aku mau menyiapkan pakaianmu. Kau masih menyimpan beberapa setel di lemarimu, bukan?"
Yumna menoleh. Terlalu asyik melamun sampai tak menyadari kehadiran orang lain. "Untuk apa?"
"Sebentar lagi petugas kesehatan datang. Kita ke rumah sakit Bau-Bau. Peralatan di sana lebih lengkap."
"Hei, apa maksudmu? Memangnya aku kenapa?"
Yusra menggenggam tangan saudarinya tanpa aba-aba. "Kita perlu ke rumah sakit biar sama-sama tahu. Tenang, Kak Yafiq siaga menemanimu."
"Kau tidak berpikir kalau aku keguguran, 'kan?"
Yusra membuang muka. Genggamannya di telapak tangan Yumna menguat. "Istirahatlah. Kita butuh waktu tiga jam menggunakan mobil untuk tiba di kota tetangga."
"Kau menghindar! Apa begini sikap petugas kesehatan? Kau harus memberikan informasi kepada pasien!"
"Sekarang, anggap saja aku berperan sebagai kakakmu."
Yumna menggeleng. Ketakutan menyerangnya dari pelbagai sisi. Sejalan dengan rasa sakit di perutnya yang kian menjadi, dia menitikkan air mata. "Tidak, tidak. Aku tidak hamil. Aku tidak mau ke rumah sakit! Aku sehat!"
Yusra meneguk ludah susah payah. Dia menunduk demi memeluk kembarannya yang tampak amat rapuh.
Untuk pertama kali, Yusra mau meruntuhkan seluruh egonya. Sepanjang hidup, baru sekarang dia benar-benar memahami arti sorot mata Yumna. Ketakutan, kesepian, putus asa, semua bercampur menjadi satu.
"A-ku ... tidak mungkin keguguran, 'kan? Tuhan tidak jahat untuk mencabut nyawa janin yang sangat dinantikan orang tuanya." Yumna terkekeh lemah. "Memangnya bisa keguguran kalau tidak hamil? Jawab aku! Aku sehat! Iya, 'kan?"
Dan Yusra, dia tak mampu menahan laju air matanya tatkala merasakan tubuh saudarinya yang menggigil.
-Bersambung.
24 Juli 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top